Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 26

21 April 2017   23:14 Diperbarui: 25 April 2017   04:00 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PEWARIS PERGURUAN AWAN

Pemahamanku menjadi lebih jelas berkali-kali lipat setelah mendengar penjelasan kakek tua dan sekaligus melihat demonstrasi "menyatukan" dua batu di telapak tangan kanannya. Sekat-sekat pengetahuan yang dahulu samar dan bahkan tertutup kini sudah mulai terang benderang. Pada tahap tertentu aku bisa melakukan apa yang diajarkan oleh ayah. Bahkan bisa kulakukan dengan penilaian sangat baik. Namun pada satu titik aku merasa ada hal-hal yang masih samar dan belum terbuka dengan jelas. Samarnya pengetahuan ini membuatku menjadi terhenti dan belum bisa masuk pada tahap-tahap lanjutan keilmuan yang diajari ayah kepadaku.

Ketika aku bertanya kepada ayah mengenai kendala-kendala ini, ayah hanya mengatakan kalau semua kendala ini akan terbuka dengan sendirinya ketika aku melakukan pengembaraan keilmuan. Bertemu dengan banyak orang, diajari banyak orang, dan mau belajar pada banyak orang. Bahkan lebih lanjut ayahku mengatakan agar belajarlah tidak hanya pada orang melainkan juga pada alam, pada angin, pada air, pada api, pada kayu, pohon, daun, dan lain sebagainya. Ketika mendengar itu, memoriku teringat pada penjelasan salah satu sahabatku dulu yang menguasai silat Minang bahwa "alam terkembang menjadi guru". Dalam khasanah Jawa, alam terbagi menjadi dua yakni alam kecil atau "jagad alit" dan alam besar atau "jagad gedhe". Meski terpisah jarak, antara Jawa dan Minang memiliki kesamaan mendasar pada filosofi apa dan bagaimana seseorang belajar dari "guru". Hal ini membuatku menjadi sangat bersemangat.

Tanpa sadar aku memejamkan mata. Mengatur napas, lalu memulai menjalankan pemahaman baruku mengenai "penyatuan dua batu". Mendadak titik pusat getaran di bawah pusarku menghangat, lalu perlahan dadaku menghangat, dan kemudian kepalaku menghangat, hingga seluruh tubuhku menghangat. Masing-masing dengan rasa hangat yang khas. Seakan ada "tungku" yang sedang aktif di beberapa bagian tubuhku. Rasa seperti ini akan sulit dipahami bagi yang tidak melatihnya. Seringkali dianggap tidak dipercaya dan merupakan psikologi efek saja. Dianggap bukan sesuatu yang nyata. Padahal, ketika latihannya dilakukan dengan rutin dan sungguh-sungguh maka hal itu tidaklah demikian adanya.

Aku semakin tenggelam pada rasa ini dan berusaha mengenali bahwa setiap bagian "tungku" yang kurasakan adalah "batu" yang berbeda yang harus bisa "kusatukan" dengan cara yang khas. Cara itulah yang sebenarnya diajarkan secara turun temurun sebagai sebuah metode tradisional yang khas atau yang mungkin bisa didapat dengan pengembaraan keilmuan. Perlahan aku mulai mengerti. Pada suatu titik puncak rasa, naluriku berkata bahwa kini saatnya "menyatukan" dan "melebur" semua "tungku" tersebut menjadi satu dan menghasilkan jenis tenaga baru.

Perlahan aku membuka mata.

Luar biasa. Semua yang kulihat didepanku menjadi begitu jelas. Tidak, bahkan sangat jelas. Tidak hanya itu, seluruh rasa yang ada di tubuhku juga mengembang sedemikian rupa. Ujung-ujung rambut yang ada di seluruh permukaan tubuhku seolah bisa kurasakan. Hembusan angin yang menyentuh kulitku menjadi sedemikian terasa.

Tanpa sadar aku menengokkan kepalaku ke arah kiri. Telingaku tiba-tiba menjadi sangat peka. Aku bahkan bisa mendengar hembusan napas halus Aji, gerakkan tulang dadanya ketika napasnya keluar dan masuk paru-paru. Suara langkah kaki Dewi beserta dua orang laki-laki yang menyertainya terdengar seakan begitu dekat. Daun-daun yang terkena angin, daun-daun yang jatuh, yang terinjak, bahkan hingga suara hembusan angin diatas padepokan ini juga bisa kurasakan. Tarikan napas Aji dan gurunya juga bisa kubedakan dengan jelas.

Aku pejamkam mata sekali lagi. Kufokuskan untuk mendengarkan napas Dewi dan dua orang laki-laki yang menyertainya. Ya, semakin jelas dan bisa kubedakan. Aku bahkan bisa memperkirakan jarak dan lokasi Dewi yang sambil berjalan ia selalu berjalan dengan irama kaki yang tidak menentu karena riangnya. Kaki kanan, kaki kiri, kaki kanan, kaki kiri.

Aku paham betul, menjelaskan rasa seperti ini kepada orang umum kebanyakan tidaklah mudah. Dan yang tidak merasakannya tidak akan bisa mengerti. Ini benar-benar sebuah pengalaman subyektif yang akan berbeda antara satu subyek dengan subyek yang lain.

Perlahan aku kembali membuka mata. "Tungku" itu masih begitu terasa saling terhubung. Masing-masing dengan rasa yang berbeda. Tanpa sadar aku memandang kedua mata kakek tua didepanku yang merupakan guru padepokan ini. Seakan mengerti maksudku, kakek tua itu tersenyum sambil mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun