Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 17

23 Agustus 2016   13:36 Diperbarui: 23 Agustus 2016   13:38 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PERTEMUAN SAMUDRO

"Buang napaaas... Tahaaan... Tariiik!"

Suara seorang laki-laki terdengar lantang dari kejauhan. Nampaknya diteriakkan dengan segenap tenaga. Aku berjalan tergopoh-gopoh. Keinginanku untuk bertemu Padepokan Samudro rupanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Sudah lebih dari seminggu aku bertanya kepada masyarakat di sekitar Sragen dimana letak Padepokan Samudro. Semua menggeleng. Bahkan aku ditunjukkan ke Gunung Kemukus dimana disana terdapat petilasan Pangeran Samudro. Namun setelah kudatangi, nampaknya itu hanya petilasan biasa dan bukan merupakan sebuah padepokan sebagaimana halnya orang menimba ilmu silat. Ketika kutanyakan dimana Padepokan Samudro pada juru kunci petilasan, beliau juga menggeleng. Entah apakah beliau menutupi atau memang benar-benar tidak tahu. Lokasi Padepokan Samudro kudapatkan dari seorang penjual minuman aren yang pada saat itu lewat. Saat itu aku benar-benar kehausan karena berjalan kesana-kemari menembus hutan dan pepohonan. Pada suatu daerah yang rindang dan ditutupi beberapa pepohonan besar, aku beristirahat. Tenggorokanku rasanya sangat haus. Meskipun cadangan uang yang kubawa masih cukup, namun disekitar tempatku berada tidak ada warung sementara air minum kemasan yang kubawa hanya tinggal seteguk saja.

Untuk mengurangi rasa haus, aku duduk dibawah sebuah pohon yang agak besar. Pohon itu sepelukan orang dewasa lebarnya. Akar-akar pohon menghunjam dengan kuat ke tanah. Daunnya sangat rimbun dan membuat adem siapapun yang duduk dibawahnya. Aku bersila, memejamkan mata, dan mengatur napas untuk mulai menenangkan diri. Tidak berapa lama, aku mendengar sebuah langkah kaki. Mula-mula terdengar jauh, kemudian makin jelas dan makin mendekat ke arahku. Aku membuka mata perlahan. Kurang lebih lima meter didepanku ada seorang kakek-kakek yang memanggul dua buah bambu sedang berjalan. Meskipun sudah kakek-kakek, namun aku masih melihat otot-ototnya tidak kendor sama sekali. Bentuk wajahnya agak kotak, namun memiliki garis dagu yang keras, sorot matanya teduh namun tajam, punya kharisma tinggi yang sulit kukatakan. Aku langsung berdiri. Kakek itu berjalan dengan santai ke arahku.

"Nira den?", ucap kakek tua itu dengan perlahan. Jarak kami kurang lebih sekitar dua meteran.

Aku merasa sangat senang karena tenggorokanku yang kering bisa kubasahi dengan air nira yang manis. Sudah terbayang betapa nikmatnya tenggorokan ini dimasuki air nira yang manis, dingin, dan menyegarkan.

"Iya kek, aku mau beli air Nira nya...", jawabku langsung saja.

Aku melihat kakek tua itu menggeser panggulan bambu dibahunya. Pada ujung bambu dilingkarkan beberapa gelas yang terbuat dari bambu juga. Kakek itu mengambil salah satu gelas bambu, kemudian diturunkannya perlahan ujung salah satu bambu yang berisi air nira itu ke lalu didekatkan ke mulut gelas. Ketika air nira itu keluar dari ujung bambu, aku bisa mencium bau wangi nira. Air liurku tanpa sadar langsung mengisi mulutku. Nira ini mesti enak Sekali.

"Silahkan den...", ucap kakek tua itu sambil menyodorkan gelas bambu berisi air nira.

"Terima kasih kek...", jawabku sambil kuterima gelas bambu itu dengan tangan kanan. Aku berjalan sedikit kesamping kanan kakek tua dimana terdapat salah satu akar yang menjulang dan membentuk seperti dudukan. Kemudian aku duduk disitu.

"Bismillahirrahmaanirrahiim...", kuteguk gelas bambu berisi air nira itu. Segar sekali rasanya. Tidak begitu lama, air nira dalam gelas bambu itu sudah ludes kuminum. Aku berdiri dan berjalan menuju kakek penjual air nira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun