Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 11

21 Juli 2016   10:23 Diperbarui: 21 Juli 2016   10:46 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SEGA JAMBLANG MENJELANG PERTEMPURAN

Sore itu ayah mengajakku untuk menuju gubuk di sebuah sawah di kampung sebelah. Ayah bilang kalau suasana di tengah sawah itu sangat membahagiakan. Melihat hijaunya padi, semilirnya angin, bau-bauan khas tanah, serta suara gemericik dan burung-burung yang sesekali sering hinggap diatas gubuk. Rasanya, semua hiruk pikuk kota besar hilang dan tergantikan dengan sebuah suasana baru.

Dengan menaiki sepeda ontel model lama, ayah mengayuh sepeda itu dengan kecepatan rendah menuju kampung sebelah. Ayah membawa sebuah bungkusan yang diletakkan di bahu kanannya. Jarak antara kampung kami dengan kampung sebelah kurang lebih dua kilometer. Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menitan untuk sampai disana dengan mengendarai sepeda. Setelah sampai pada kampung yang dimaksud, ayah memarkirkan sepedanya di dekat tiang listrik pinggir sawah. Terlihat dari kejauhan sebuah gubuk yang cukup besar di tengah sawah. Jarak dari tempat kami dengan gubuk itu kurang lebih dua ratus meter.

"Ayo kita menuju gubuk itu...", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Kami berjalan bersama menyusuri pematang sawah. Pematang sawah ini lebarnya kira-kira empat puluh sentimeter. Hanya cukup bagi satu orang untuk melewatinya. Jalanan di pematang sawah ini nampak sedikit licin karena pengaruh air hujan yang turun kemarin dan belum kering dengan sempurna. Ayah berjalan di depan sementara aku berjalan di belakang. Aku mencoba berhati-hati. Kira-kira sepuluh langkah, aku terkejut. Jarakku dengan ayah menjadi lumayan jauh. Padahal tadi kami hanya berjarak kurang dari dua meter.

"Ce.. cepat sekali ayah melangkahnya... padahal tanah ini cukup licin...", ucapku dalam hati.

"Ayo... sini... cepat...", ucap ayah yang terdengar sangat nyaring di telingaku.

"Iya yah...", jawabku dengan cepat. Aku lalu bergegas mempercepat langkah.

"Awh...!", teriakku tiba-tiba. Kaki kananku terperosok jatuh. Untungnya reflekku masih bagus sehingga tubuhku tidak jatuh terjengkang di sawah. Kalau sampai terjadi, ini sangat memalukan. Aku hanya jatuh terduduk dengan tetap menjaga tubuh agar tidak jatuh kebelakang. Kakiku 'menancap' di tanah sawah sedalam mata kaki. Langsung saja aku cabut dan kembali berdiri untuk berjalan lebih hati-hati. Entah kenapa firasatku jadi merasa kurang enak. Dari jauh kulihat ayah sudah sampai pada gubuk yang dimaksud. Dengan berjalan perlahan, akhirnya aku sampai juga.

Didekat gubuk itu terdapat sebuah gentong berisi air. Aku langsung mengambil air di gentong tersebut untuk mencuci sendal dan sebagian kaki kananku yang terkena lumpur sawah. Tidak berapa lama kakiku kembali bersih dan aku segera masuk ke dalam gubuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun