Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sejarah, Intelektual, dan Pemuda

24 Juli 2020   15:14 Diperbarui: 28 Juli 2020   15:52 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: penainfo.com

Teknologi memberikan kemudahan sekaligus hampir membunuh nalar intelektual generasi muda. Internet memberikan berbagai kemudahan sekaligus membunuh sejarah. 

Kemudahannya, kita bisa mendapatkan apa saja. Semua sudah terbuka tinggal clik saja. Namun kita justru kehilangan sesuatu yaitu hampir matinya nalar intelektualisme dan sejarah.

Baru saja saya mendapatkan sebuah buku pdf. Seperti mendapatkan harta emas permata Buku dalam bentuk pdf ini berjudul 'Muhammad Husni Thamrin, terbitan tahun 1985 penulisnya Anhar Gonggong. Buku yang ditulis sebelum saya lahir masih dapat ditemukan saat ini. 

Jaman itu belum ada internet bagaimana intelektual mereka dibangun sedemikian tinggi? Buku ini diterbitkan oleh Dapartemen Pendidikan dan Kebudayan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Jakarta.

Buku tentu akan melintasi sejarah, generasi, dan bangsa. Sayapun tidak mengenal atau bertemu M. Husni Thamrin dan Anhar Gonggong. Tapi saya bisa mengagumi intelektualisme mereka. Menggunakan catatan atau buku sejarah inilah saya kemudian mengenalnya. 

Saya tidak tahu apakah Generasi Millenial, Generasi Z, dan Generasi Y masih mengenal Muhamad Husni Thamrin ataupun Anhar Gonggong. Pertanyaan lebih jauh apakah mereka mengenal sejarah tokoh-tokoh nasional bangsanya? Hasilnya tentu  harus dijawab dengan riset yang panjang. Jika hanya opini seperti tulisan saya ini, hasilnya tidak akan objektif.

Hipotesa saya mengatakan media sosial telah menggeser pemahaman generasi saat ini terhadap kebutuhan intelektualisme dan sejarah. Generasi sosial media ini lebih suka dengan hal-hal yang sifatnya budaya populer (baca: lucu). 

Bangunan intelektual sepertinya bukan menjadi harta yang dibanggakan. Anak-anak muda kemudian hanya tumbuh dan hidup di bawah bayang-bayang hegemoni budaya populer. 

Masih ingatkah, Bintang Emon yang trending? Anak muda penggiat standup komedi ini mengkritik kepolisian yang dianggap gagal melakukan keadilan hukum terhadap Novel Baswedan. 

Apa dampak besar trendingya Bintang Emon terhadap penegakkan hukum Novel Baswedan? Saya tidak tahu, pembaca bisa menduga sendiri. Hilang begitu saja tidak berbekas trending kritikan Bintang Emon. Media sosial kembali sepi kritikan Bintang Emon terhadap kekuasaan. 

Budaya populer belum akan memberikan dampak apapun terhadap kekuasaan yang otoriter. Kekuasaan yang mungkin dianggap gagal masih tetap bertahan. Begitulah karakteristik budaya populer. Trending sementara lalu hilang digantikan oleh budaya populer yang lain. 

Pada akhirnya, intelektualisme sejarah dan lainnya bukan lagi menjadi kebutuhan ideologis bagi anak-anak muda. Karakteristik internet jika mengutip pendapat Turkle internet merupakan ilusi. 

Apakah kita bisa melihat sejarah secara objektif dengan video-video content yang tersebar di media sosial kelak? Apakah kita bisa menemukan sejarah dalam film-film yang dikontruksi oleh budaya media?

Apakah media sosial membunuh pemahaman anak-anak muda terhadap intelektualisme dan  sejarah? Tentu bukan media sosial yang menggeser sebab dia hanyalah alat. 

Mau jadi apapun, tergantung watak orang yang menggunakan media tersebut. Jika anak-anak tidak lagi membaca buku sejarah, barangkali ada yang salah dengan pendidikan kita.

Bolehlah kita jangan terlalu dini menyalahkan media sosial. Barangkali pendidikan kita tidak mendidik anak-anak menjadi pembaca dan menulis. Sistem pendidikan kita hanya mengajarkan teori yang tak berfungsi apapun. 

Hasilnya adalah anak-anak muda yang sama sekali tidak mau berdebat dengan nalar intelektual yang tinggi. Membaca buku atau menulis bukan menjadi kepentingan ideologis anak-anak muda.

Sudah enam bulan lebih saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menulis proposal skripsi. Saya berharap dengan kemudahan adanya jurnal dan buku-buku di internet, mahasiswa mudah menyelesaikan proposalnya. Hasilnya sungguh membuat saya melongo. Sudah enam bulan mahasiswa masih berhenti di latar belakang masalah. Menuliskan ide-ide latar belakang 4 halaman saja selama enam bulan tidak mampu.

Generasi pop saat ini lebih suka terhadap sesuatu yang sifatnya budaya tertawa (baca: komedi). Coba kita tengok misalnya youtuber Bintang Emon, Raditya Dika, dan beberapa youtuber komedian lainnya. Berapa juta penontonnya dan berapa juta subcribernya. Bandingkan dengan beberapa youtube yang misalnya tentang pendidikan, sangat sedikit peminatnya.

Saya sering melihat youtube misalnya mengenai tutorial penelitian kuantitatif. Penontonnya sangat memprihatinkan. Subcribernya juga sangat menyakitkan. Jauh dibandingkan dengan youtuber yang sifatnya komedian tadi, terdapat gab yang terlalu jauh.

Saya sendiri tidak hendak menyalahkan para youtuber komedi tersebut. Mereka juga manusia yang ingin berkreasi. Mereka juga masyarakat yang membutuhkan aktualisasi diri di media sosial. Meski kita juga harus mencari jalan keluar agar anak-anak muda tidak mati intelektualnya. Menggarikahkan kembali semangat mencari ilmu anak-anak muda kita.

Kita rindu lahirnya intelektual sekelas Muhammad Husni Thamrin. Kita pun rindu lahirnya intelektual seklas Anhar Gongong. Sejarah bangsa ini mati atau tidak tentu ditentukan oleh bangunan intelektual anak-anak muda. Jika anak-anak muda sudah tidak mau lagi belajar, tunggu saja kehancuran bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun