Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Budaya Menonton Nilai Ekonominya Lebih Menjanjikan Dibandingkan Budaya Tulisan

1 Oktober 2018   05:39 Diperbarui: 2 Oktober 2018   11:35 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cnbcindonesia.com

Pernah saya merasa kapok dari kegiatan menulis. Hal ini mungkin juga pernah dirasakan oleh para penulis lain di blog ini. Banyak faktor yang menjadikan orang merasa bosan menulis. Alasan paling mendasar adalah menulis terkadang tidak menjanjikan secara ekonomi.

Apalagi di jaman milenial seperti ini, saat orang mulai meninggalkan budaya membaca. Jadinya, menulis merupakan profesi yang tidak ada duitnya. Dengan kondisi ini juga banyak akhirnya beberapa koran Harian hampir bangkrut. Oplah penjualan harian anjlok penyebabnya adalah orang berpindah pada budaya menonton. Jika ada yang masih membaca, mereka berpindah ke media sosial semisal instagram, facebook, dan lain-lain.

Maka, zaman milenial ini, mulai muncul selebgram, seleb facebook, seleb youtube, dan semua seleb dari media sosial. Para seleb di instagram misalnya, penghasilan bulanan mereka bisa mencapai ratuan juta. Yang sudah paling tenar bisa jadi satu bulan menerima uang satu milyar.

Contoh lain kenapa budaya mentonon lebih menghasilkan uang. Ada seorang mahasiswa saya kebetulan bermain di wilayah yotube. Subscribe dan viewernya sudah mencapai jutaan. Pada satu sesi kuliah dia menjelaskan bahwa dari youtube itu sudah mendapatkan uang Rp 7.000.000/bulan. Jikakalau viewernya makin banyak kadang pernah mendapatkan Rp. 11.000.000/rupiah. Contoh lain, saya tuliskan kutipan tentang penghasilan youtuber sebagai berikut:

"Walau kini telah banyak channel gaming di YouTube, MiauAug adalah salah satu yang paling menyita perhatian para gamers. Reggy Prabowo, sosok di balik channel ini, mengaku rutin mengunggah dua video dalam sehari. Gak cuma seru bermain, Reggy juga kerap membagikan spesifikasi konsol yang ia gunakan, serta tips dan trik dalam tiap permainan yang bisa menjawab rasa penasaran para gamers. Gak heran kalau kini subscriber-nya mencapai angka 1,6 juta dan pendapatan hingga Rp 1,3 miliar." (https://www.moneysmart.id)

Dari penuturan mahasiswa tersebut, saya menarik nafas panjang. Mencoba membandingkan dengan penghasilan sebagai dosen. Seorang dosen saja setiap bulan gajinya tidak lebih dari setengah penghasilan mahasiswa youtuber tadi.

Dosen juga harus menulis jurnal kampus. Uang yang diberikan dari hasil menulis itu sangat kecil. Maka, dibeberapa kampus, dosen malas menulis jurnal ilmah. Dengan alasan, menulis capek-capek tidak ada duitnya. Pernah suatu saat saya menanyakan pada seorang dosen yang juga menjadi seorang penceramah. Kenapa dia tidak menulis buku? Kebetulan dosen tersebut lulusan S3 kampus Timur Tengah. Jawabannya, sungguh menggagetkan. Dia mengatakan, buat apa capek-capek menulis buku. Sekali ceramah saja dapat 1-2 jutaan. Durasi ceramah paling lama hanya 1 jam. Senior saya ini, dari hasil ceramah, nilai uang perbulan bisa mendapatkan ratusan juta.

Dengan cara pandang seorang dosen seperti di atas, faktanya penerbitan buku di Indonesia menjadi rendah. Indonesia bukan negara yang menjadi produsen buku. Dengan kegagalan menjadi produsen buku, dipastikan negara kita akan tertinggal dalam inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Jika seorang dosen saja malas menulis sebab tidak menjajikan secara ekonomi.  Hal ini akan berdampak terhadap mahasiswa yang juga akan malas menulis. Indeks penerbitan jurnal ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional sangat rendah.

Padahal jika menggunakan data dari LIPI, sekitar 12 hingga 14 persen dari 120 ribu dosen di Indonesia telah bergelar doktor. Tetapi angka publikasi ilmiah masih rendah. Sejauh ini, hanya 4.500 hingga 5.500 karya ilmiah yang berhasil dipublikasikan. Angka ini sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250-an juta jiwa. (http://lipi.go.id/lipimedia) 

Maka, sangat wajar, budaya bangsa kita memang lebih menyukai budaya tontonan dan budaya ceramah. Menulis bukan menjadi prioritas karena tidak menjajikan secara ekonomi. Satu contoh lagi, banyak anak-anak muda yang berlomba menjadi artis dadakan. Jika digelar pencarian bakat secara Idol, yang datang ribuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun