Dibandingkan dengan mie bakso atau mie ayam, popularitas 'mieso' relatif 'kalah' populer, karena nama mieso memang kurang 'familiar' di telinga para penggemar kuliner mie berkuah ini.Â
Sebenarnya mieso masih 'saudara' dengan mie bakso atau mie ayam, karena bahan dasarnya nyaris sama, yaitu campuran mie kuning (mie telor) dengan mihun (bihun) yang disiram dengan kuah sup berbumbu aneka rempah. Hanya bedanya pada tambahan jenis dagingnya, kalau mie bakso 'dihiasi' olahan daging olahan berbentuk bulat yang sudah tidak asing lagi, mie ayam dibubuhi dengan ayam cincang berbumbu semur, sementara mieso, ditaburi potongan daging atau suwiram ayam goreng/panggang.
Tapi khusus di kota Takengon, dataran tinggi Gayo di Aceh ini, popularitas mieso nyaris menyamai mie bakso maupun mie ayam. Ketenaran mieso di daerah berhawa sejuk ini, tidak terlepas dari keberadaan sebuah kantin mieso "Samalero" yang sudah dikenal di seantero Tanah Gayo oleh semua kalangan mulai dari anak-anak sampai para dewasa.Â
Kantin yang sudah berdiri sejak tahun 1983 ini memang menjadi satu-satunya kantin mieso yang paling populer di seputaran kota Takengon, ibu kota kabupaten Aceh Tengah ini, bahkan popularitasnya sampai ke beberapa daerah disekitarnya.
Kantin yang berada di lokasi strategis di kawasan Kebayakan ini, setiap hari ramai dikunjungi pembeli. Campuran mie kuning dengan mihun yang ditaburi potongan daging berbentuk dadu yang kemudian disiram kuah sop beraroma khas ini yang kemudian membuat banyak orang yang pernah mencobanya menjadi 'ketagihan' untuk kembali dan kembali untuk mencicipi kuliner yang konon hanya ada di Takengon ini.Â
Sebagai pelengkap, juga disediakan sambal cabe rawit, kecap, cuka dan saos tomat, ada juga beberapa jenis gorengan seperti bahwan, tahu dan tempe goreng yang juga nikmat jika dicampurkan ke dalam mieso.
Sejarah Kantin Samalero.
Keberadaan kantin mieso yang kini sangat dikenal itu, mempunyai riwayat yang cukup panjang. Berawal dari perjuangan seorang perantau asal Sumatera Barat bernama Syafi'i Sutan Ma'ruf yang pada tahun 1970-an bekerja di warung mieso milik perantau asal Jawa Tengah.Â
Sambil bekerja, Syafi'i kemudian belajar meracik bumbu dan membuat mieso, kebetulan sang pemilik warung tidak pelit berbagi 'rahasia' usahanya dan karena sudah bekerja cukup lama, Syafi'i pun sudah menjadi orang kepercayaan sang pemilik warung.
Hampir sepuluh tahun, Syafi'i bekerja sebagai karyawan warung mieso itu, dia harus menelan kekecewaan, karena dia terpaksa harus kena "PHK" akibat sang pemilik warung kembali ke Jawa dan warung miesonya terpaksa di tutup.Â