Mohon tunggu...
Mas Dosen
Mas Dosen Mohon Tunggu... -

Seorang pengajar lepas di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Kampus terbaik itu bernama Universitas Kehidupan. Hiduplah Indonesia Raya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyibak Kebenaran, Sebuah Renungan Keadilan dan Kemanusiaan

17 Oktober 2018   02:39 Diperbarui: 17 Oktober 2018   14:14 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: merdeka.com

Lalu juga terdapat nama-nama besar seperti Prof. Dr. Nyoman Putra Jaya, S.H., Prof Dr. Eman Suparman, S.H., Dr. Maqdir Ismail, S.H., Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., Dr. Yudi Kristiana, S.H., Prof. Dr. Suteki, S.H., dan masih banyak lagi sederet nama-nama Guru Besar Hukum Pidana serta Sosiologi Hukum yang turut menyumbang anotasi dari kacamata mereka masing-masing.

Kemudian menjadi menarik, ketika sederet pakar hukum tersebut ramai-ramai, tanpa ada paksaan, dan bahkan banyak diantara mereka tidak mengenal secara pribadi dengan Irman Gusman, lantas secara kolektif menghadiri sebuah focus group discussion (FGD) di Yogyakarta, dan memberikan eksaminasi terhadap putusan pengadilan guna menelaah aspek keseimbangan keadilan terhadap kasus hukum yang menimpa sang mantan Ketua DPD RI.

Kesimpulan yang dapat penulis ambil setelah membaca buku tersebut, adalah bahwa menurut bidang keilmuan masing-masing annotator itu, Irman Gusman tidak sepatutnya menerima hukuman seperti yang ia terima saat ini. Bahkan Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. menyebutkan secara gamblang bahwa putusan pengadilan kala itu cacat secara ilmu Hukum Pidana.

Menurutnya, yang bersangkutan tidak bisa dituntut telah melakukan tindak pidana korupsi karena yang dilakukannya tidak berhubungan dengan fungsi dan jabatannya pada saat itu, serta tidak ada kerugian negara (APBN) yang ditimbulkan atas perbuatannya tersebut.

Kilas Balik Persoalan

Sekedar menyegarkan ingatan, Irman Gusman ditetapkan bersalah karena dianggap menerima suap sebesar seratus juta rupiah dari seorang pengusaha gula bernama Memi dan suaminya Xaveriandy Sutanto pada tanggal 17 September 2016 dini hari silam. 

Saat itu KPK menerobos masuk ke dalam rumah dinas yang terletak di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, tidak lama setelah barang bukti berupa uang tersebut diberikan kepada yang bersangkutan.

Yang menarik adalah pada saat itu KPK bersikeras bahwa uang tersebut merupakan bentuk penyuapan, karena KPK sudah lama menyadap telepon genggam yang bersangkutan dan si pemberi uang. Sedangkan dalam fakta persidangan, rekaman pembicaraan Memi beserta suaminya yang akan mendatangi kediaman yang bersangkutan pada saat itu terungkap bahwa Irman Gusman tidak mengetahui sama sekali bahwa akan diberi sejumlah uang oleh kedua pasangan suami istri.

Oleh karenanya, pihak Irman Gusman berpendapat bahwa uang tersebut lebih tepat jika dikategorikan sebagai gratifikasi. Dan menurut undang-undang, yang bersangkutan seharusnya diberi waktu maksimal selama tiga puluh hari untuk melaporkannya kepada KPK. Hal yang sangat umum, seperti dalam banyak kasus seorang pejabat tinggi negara mendapat hadiah dari seseorang lalu kemudian melaporkannya dan mengembalikan hadiah tersebut kepada negara.

Namun amat disayangkan, hak untuk melaporkan gratifikasi tersebut tidak dapat dijalankan karena hadiah berupa uang itu pun langsung dibawa menuju kantor KPK dalam sebuah atraksi yang diistilahkan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Yang luput dari perhatian kita, bahkan juga luput dari pemberitaan media massa adalah awal muasal kasus ini terjadi. Bermula dari semakin tingginya harga gula di provinsi Sumatera Barat menjelang lebaran, yang pada saat itu sudah mencapai harga Rp 16.000,- per kilogram. Dan jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan semakin melambung tinggi. Tidak dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat, UMKM, serta sektor industri di Sumbar yang akan 'menjerit', terlebih gula merupakan bahan kebutuhan pokok sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun