Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Kisruh di Muktamar NU

4 Agustus 2015   18:02 Diperbarui: 4 Agustus 2015   18:02 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dinamika muktamar NU di Jombang kali ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan muktamar yang diselenggarakan sebelumnya. Suasana memanas dan kisruh, sehingga terbentur di jalan buntu, menjadi satu wacana paling sexy dan tidak habis-habisnya dibicarakan dan diperdebatkan di luar arena muktamar. Begitulah informasi yang didapati di media, baik sosial maupun cetak.

Sebagaimana biasanya, wacana akan direspon oleh publik dengan beragam tafsir. Begitu jugalah suasana kisruh di muktamar saat ini.

Semua respon yang muncul dan dipublikasikan oleh media, atau yang hanya sekedar didiskusikan di kedai kopi adalah benar. Tidak ada satupun warga NU, atau pengurusnya yang membantah semua tafsir yang berkembang di masyarakat.

Namun demikian, para muktamirin memiliki sudut pandangnya sendiri. Hal ini sangat mudah dimaklumi. Karena, peserta yang terlibat langsung di setiap peristiwa, pastilah akan merespon dan memberi tafsir yang berbeda dengan mereka yang hanya menonton atau mendengar berita.

Muktamirin pun tidak sama dalam memberi tanggapan dan penjelasan terhadap peristiwa tersebut. Berapa banyak pikiran yang menanggapi, akan sebanyak itu pula lisan yang mengungkapkan isi pikiran. Tidak perlu membela diri atau saling berbantah. Biarlah semua mengalir dan menjalani prosesnya.

Sebagai salah seorang peserta muktamar dari luar jawa yang pernah berdomisili di jawa, maka mempunyai tafsir yang berbeda dengan tafsir para jurnalis yang dipublikasikan. Sisi lain yang menjadi penguat pandangan saya terhadap kisruh itu adalah keberadaan saya yang pernah belajar di pondok salaf non formal dan juga di sekolah formal.

Saya mengungkapkan latar belakang diri, disebabkan realitas yang terjadi dan disaksikan di lapangan. Dimana, sebagian besar yang berbicara di forum sidang adalah peserta dari luar jawa. Begitu pun yang mula-mula membuat penolakan terhadap draft tatib yang disiapkan panitia.

Dan mereka yang dari luar jawa yang membuat suasana memanas tidak lain adalah teman-teman yang berlatar pendidikan formal, tanpa pernah melalui pesantren salaf.

Mudah dimaklumi bahwa, daerah yang berbeda pastilah memiliki kultur yang berbeda. Dan kultur luar jawa itu ikut mempengaruhi aktualisasi diri yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan teman-teman dari jawa. Sehingga timbul kesan lebih keras dan panas. Saya memaknai, kisruh yang terjadi merupakan bentuk aktualisasi diri yang menjunjung tinggi ketegasan dan keterbukaan.

Begitu juga latar belakang pendidikan formal, tanpa pesantren salaf, yang lebih mengedepankan kesetaraan dan partisipasi murid/mahasiswa. Maka sistem pembelajaran demikian sangat berbeda dengan yang dikembangkan di pesantren salaf yang mengedepankan figur kyai sebagai pusat.

Dengan demikian, maka wajar saja jika penampilan yang sesungguhnya sebatas pembuktian diri sebagai pemilik pengetahuan yang mumpuni, dan mempertahankan sikap pribadi yang diyakini, menjadi terkesan kasar dan melawan kyai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun