Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bid'ah

25 Februari 2015   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nabi pernah melarang para sahabatnya menuliskan sesuatu selain alQuran. Kemudian para ulama memahami bahwa, larangan itu disebabkan kekhawatiran alQuran akan bercampur dengan Hadistnya. Kita tidak tahu, apakah benar itu sebabnya. Yang jelas, para sahabat mengetahui bahwa, Nabi tidak membenarkan siapapun menuliskan perbuatan, perkataan, pendiaman, harapan dan apapun yang datang dari Nabi.

Sementara di waktu berbeda dan di tempat yang lain, serta ditujukan kepada orang tertentu, dan dengan persoalan tertentu pula, Nabi pernah membolehkan Hadist itu dituliskan.

Kita tidak tahu persis, apakah sikap Nabi yang kontradiktif itu, karena pernah melarang dan pernah juga membolehkan, diketahui oleh para sahabat pada zaman Nabi masih hidup dan juga zaman sesudahnya yang dekat, yakni zaman thabi'in.

Yang kita tahu, pada zaman sahabat dan thabi'in, Hadist Nabi belum dituliskan. Tidak ada satupun kitab Hadist yang ditulis pada zaman sahabat sampai masa thabi'in. Dengan kata lain, para sahabat sampai thabiin, secara umum mengetahui bahwa, Nabi melarang mereka menuliskan Hadistnya. Maka, dalam waktu yang sangat lama Hadist Nabi tidak dituliskan, hanya diceritakan dari mulut ke mulut.

Pendapat agar alQuran tidak bercampur dengan Hadist, dianggap benar oleh umat islam, sampai sekarang. Meskipun pendapat itu dibuat hanya sebatas untuk pembenaran bagi penulisan Hadist, di masa berikutnya yang jauh. Yakni setelah lebih satu abad. Dan yang berinisiatif mengumpulkan Hadist Nabi saw. adalah Umar bin Abdul Azis, khalifah Bani Umayyah.

Mestinya, pendapat takut bercampur alQuran dan Hadist, tidaklah bisa diterima begitu saja, karena semua mengetahui bahwa, Nabi telah mengangkat beberapa orang sekretaris khusus untuk menuliskan wahyu alQuran. Zaid bin Tsabit adalah salah seorang dari sekretaris wahyu, yang diangkat sendiri oleh Nabi saw. Dan pada masa pemerintahan khalifah pertama, Abu Bakar Siddik, dia ditugasi oleh khalifah untuk menuliskan alQuran menjadi sebuah mushaf.

Pembuatan mushaf alQuran itu adalah inisiatif Umar bin Khattab, yang khawatir alQuran akan hilang setelah para penghafal alQuran atau qurra' banyak yang meninggal akibat perang menumpas umat islam yang membangkang dan tidak mahu mengumpulkan zakat. Maka untuk menjaga keutuhan dan keotentikannya, menurut Umar bin Khattab, alQuran harus dikumpulkan dalam satu mushaf.

Pada mulanya Abu Bakar enggan melaksanakan keinginan Umar. Tetapi Umar tidak bosan membujuk Abu Bakar untuk melaksanakan keinginannya, sampai akhirnya setuju. Kemudian tugas mengumpulkan dan menuliskan mushaf diserahkan kepada Zaid bin Tsabit, karena dia lebih tahu tempat penyimpanan tulisan wahyu dan juga tata letaknya, sesuai perintah atau penjelasan dari Nabi saw.

Meski dengan berat hati, tugas itu dilaksanakan juga oleh Zaid. Sehinggalah Zaid bin Tsabit sempat berucap bahwa, memindahkan gunung lebih kusukai daripada mengumpulkan dan menuliskan wahyu dalam sebuah mushaf.

Mengapa Abu Bakar dan Zaid sangat berat melaksanakan keinginan Umar? Banyak yang berpendapat, sikap enggan dan berat hati keduanya, Abu Bakar dan Zaid, untuk mengumpulkan alQuran dalam sebuah mushaf, karena pekerjaan itu tidak diperintahkan oleh Nabi. Ketika masih hidup, Nabi juga tidak melakukan itu. Artinya membuat alQuran dalam sebuah mushaf adalah sesuatu yang baru. Itu bukan dari Nabi saw. Dengan kata lain, pembuatan mushaf alQuran adalah bid'ah. Dan semua umat islam yang menerima keberadaan mushaf alQuran  dan mempelajarinya adalah pelaku bid'ah.

Pada zaman Abu Abu Bakar Siddik, mushaf alQuran sudah selesai dikerjakan dan disimpan di rumah Hafsah, anak Umar bin Khattab yang menjadi isteri Nabi saw. Mushaf itu hanya disimpan dalam waktu yang lama. Ketika Umar menjadi khalifah ke-2, mushaf itu tidak pernah dibicarakan keberadaannya. Barulah pada masa khalifah ke-3, Usman bin Affan, mushaf itu disalin sebanyak negeri yang ditaklukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun