Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

AHY Menelepon Ahok

17 Februari 2017   19:06 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suara terbanyak yang diperolah Ahok-Jarot pada Pilgub DKI menjadi bukti bahwa isu agama tidak signifikan pengaruhnya bagi pemilih ibu kota. Banyak yang berpendapat karena sebagian besar warga DKI adalah pemilih rasional. Tetapi saya lebih senang mengatakan sebaliknya, warga DKI tetap mengedepankan sisi emosional. Mereka memilih Ahok-Jarot karena telah terpaut hatinya (emosional), sehingga tidak mahu berpaling kepada yang lain.

Menjadi sangat menyedihkan, karena besarnya modal kapital dan intelektual yang dicurahkan untuk memblow up isu penistaan agama, agar warga DKI berpaling dari Petahana yang non muslim, tetap saja menemui kegagalan. Malahan, kubu yang terindikasi memprakarsai dan memperalat isu penistaan agama, hanya memperoleh suara di urutan terakhir; dan dipastikan tidak dapat mengikuti putaran kedua untuk menentukan kemenangan.

Karena suara pemenang tidak mencapai 50%+1, maka untuk DKI harus dilaksanakan putaran ke-2; bertanding ulang dengan pemenang di bawahnya: Anis-Sandi.

Siapa dari kedua paslon yang berpeluang menang di babak final ini? Lihat karakter pemilih pasangan yang tersisih: AHY-Selfy! (Kita anggap saja pemilih pemenang I dan II tidak akan mengalihkan pilihan).

Untuk melihat karakter pemilih AHY, kita lihat pula partai pengusung paslon tersebut. Karena tidak mungkin dipungkiri bahwa, pemilih memiliki hubungan emosional -bukan rasional- dengan partai pengusung, yang pada gilirannya ikut membentuk karakter.

Sesuai dengan data KPU, tercatat bahwa partai pengusung AHY ada empat: Demokrat, PAN, PPP, dan PKB.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, pemilih Demokrat adalah kelompok nasionalis-relegius, sedangkan PAN, PPP dan PKB dipilih oleh kelompok relegius-nasionalis.

Kemudian jika dipetakan berdasarkan ideologi politik di Indonesia, keempat partai tersebut menempati posisi tengah. Yang saya maksud dengan tengah karena pembandingnya adalah PKS (pengusung Anis) yang cenderung sangat kanan dan partai PDI-P (pengusung Ahok) yang cenderung ke kiri.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa, di sini, pemetaan ini, hanya sebatas pengalaman kasar (yang secara umum terlihat) di lapangan dan hanya untuk mempermudah pemahaman saja.

Kelompok tengah yang nasionalis-relegius (Demokrat) tentunya lebih mudah bergabung dengan partai yang berhaluan sama, seperti Golkar dan Nasdem yang ikut mengusung Ahok. Meskipun di elit partai terjadi "benturan" dengan Ahok, tetapi sampai batas tertentu gelombangnya tidak sampai ke pemilih di lapangan. Di samping karena Demokrat bukan partai kader, sehingga pemilihnya sangat cair dan mudah berpindah kepada kelompok yang sejenis.

Adapun pemilih partai tengah yang relegius-nasionalis (PPP, PAN, PKB) yang memiliki kecenderungan agak ke kanan, tetapi di lapangan tidak mudah (untuk mengatakan tidak bisa) duduk bersama dengan yang dianggapnya sangat kanan, PKS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun