Mohon tunggu...
Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Alumni Madrasah Mu'allimin dan penikmat kegaduhan negri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dalil dan Dalih Kematian

5 Juni 2018   15:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   21:40 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa tak sedih ditampar tragedi yang begitu memilukan. Anak kehilangan Bapak, istri kehilangan suami, hati bagai dicabut dari akar jiwanya dengan cara yang tak sedap pula. Kematian adalah suatu kenistaan yang tak bisa ditawar, dan kesedihan atasnya seperti tak patut dipertanyakan. Inna Lillahi wainna illaihi roji'un. Ucapan turut berduka cita, ikut berbela sungkawa, sebab sang maut, musuh yang tak disukai itu, telah datang.

Disisi lain, dalil itu penting. Dalih juga penting. Berdalil sepertinya menjadi sangat penting ketika berdalih saja tidak cukup mendukung kepentingan kita. Tapi, dalil juga bisa digunakan sebagai dalih. Mengambil dalil tertentu untuk tujuan tertentu pula. Berdalih sesuatu untuk menguatkan dalil tentang sesuatu pula. Dalil dan dalih menjadi segendang seperiangan.

Dalil ibarat buih-buih yang menggelembung dalam arus surut dan pasang. Tanpa disadari, kita kehilangan samudera makna. Sebaik-baik karya memang yang sejak awal membuka kemungkinan untuk multi-tafsir. Tidak mengherankan jika Maha Karya dari Maha Pencipta juga terus menerus ditafsiri secara berbeda oleh siapa saja. Tapi apa jadinya jika makna dipaksakan? Apa jadinya jika bahkan kata harus dipilihkan? Insan pun kehilangan kesejatian. Dalil justru kita jadikan jumawa melebihi manusia. Kitab suci sepatutnya dibaca dengan tata cara yang kudus.

Dalil dan dalih memang berpasangan. Tidak punya dalil, masih punya dalil. Tidak memiliki dalih, siapa tahu masih bisa memilih dalil. Naqli dan aqli tak digunakan untuk membela kebenaran, namun justru diperuntukkan membela pembenaran. Perbedaan yang tidak jarang berujung perpecahan sering kali disebabkan oleh pemaknaan yang tak didasarkan atas kearifan kita sendiri.

Tanpa dalil seolah-olah manusia tidak bisa hidup dan bergerak. Padahal, akhlak tidak membutuhkan dalil. Akhlak membutuhkan keterlibatan jiwa-raga sepenuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya. Rendah diri di hadapan Allah dan rendah hati di hadapan sesame makhluk Allah. Dan, kesederhanaan diri serta hati itulah prestasi terbesar Muhammad SAW. Ia diangkat ke derajat yang paling tinggi justru karena berhasil merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah dan merendahkan hatinya pun sedemikian rupa kepada makhluk Allah.

Persoalannya, mana mau kita menghamba? Mana mau kita menjadi hamba? Kita lebih suka menjadi tuhan. Bermain sebagai tuhan. Mengadili dan menghukum sesame makhluk atas nama tuhan. Memilih siapa yang masuk surge, memilah siapa yang masuk neraka. Padahal ini di dunia.

Klasik memang, mengatakan perbedaan pendapat adalah rahmat yang sepatutnya kita syukuri. Faktanya, perselisihan terjadi dimana-mana. Sampai-sampai menemukan ayat yang beraroma kekerasan menjadi jauh lebih mudah disbanding ayat tentang kelembutan. Seolah-olah lembut itu lemah. Perang, dalam arti sesungguhnya, yakni adu fisik sampai mengakibatkan korban jiwa, laksana api yang menyala lagi, menyala lagi. Tak lama padam, bar tersambar angin dan menyala lagi. Membakar amarah kita.

Dakwah itu mengajak, perang itu memaksa. Dakwah itu menjadi kawan, perang itu menjadi lawan. Sehebat-hebat kita, wilayah geraknya adalah proses. Allah yang menentukan hasilnya. Kita yang berdakwah, Allah yang memberi hidayah. Jadi, hidayah bukanlah prestasi kita. Allah memberi petunjuk pada siapa pun yang Dia Kehendaki dan tak ada yang mampu menyesatkannya setelah datang petunjuk itu, selain Allah. Allah menyesatkan siapa pun yang Dia Kehendaki dan taka da yang mampu memberi petunjuk setelah datang kesesatan itu, selain Alah.

Serta yang peling penting, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Orang mati gampang dilupa, terutama oleh para pembunuh atau orang-orang yang mensyukuri kematiannya. Namun, barangkali tidak oleh mereka yang berada di pihak kematiannya, apalagi oleh anak-anak yang dibesarkan oleh kenangan kematian seseorang yang, meskipun dianggap sampah, amat dicintainya. Tahukah kita, demi kejujuran sejarah, berapa jumlah anak-anak demikian? Jiwa-jiwa putih yang kita muncrati darah, sehingga begitu membenci bukan saja pedang dan senapan, tapi juga tampang kita, baju kita, kalimat-kalimat kita, agama kita, Tuhan kita. Kejiwaan mereka bergerak di dasar lautan, di arus bisu timbunan sejarah, mendekap dosa-dosa kita di relung kenangannya yang kekal.

Anak-anak kita sendiri menjadi begitu terbiasa dengan pembunuhan yang dikehendaki, kematian disyukuri. Mungkin melihat, mungkin mendengar. Tapi jelas, anak-anak itu meniru dan memang kita ajari, untuk menyukai apa yang kita sukai dan membenci apa yang kita benci. Anak-anak juga berdoa dan mengutuk, seperti doa dan serapah kita.

Anak-anak disiapkan Tuhan untuk mencintai dan membenci apa-apa yang pantas dicintai dan dibenci. Kita yang mengajari, meluruskan, membelokkan atau membalikkan kepantasannya. Besok pagi, ada kemungkinan, mereka kaget menilai ajaran kita. Lusa mereka berhimpun dan bergerak meluruskan kita, atau justru membelokkan, membalikkan, memasukkan kita ke bawah nisan terkutuk, persis seperti yang kita lakukan atas hari demi hari yang menyuruk ke masa silam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun