Mohon tunggu...
Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Alumni Madrasah Mu'allimin dan penikmat kegaduhan negri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak-anak Kita Itu Ada

3 Juni 2018   09:43 Diperbarui: 24 Januari 2019   21:42 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petuah leluhur tak bisa lagi dimengerti. Kaya ialah berharta. Menang mesti dengan punya pasukan. Kekayaan tidak terletak didalam jiwa, melainkan di rumah, persediaan tanah, di mata uang dan gudang-gudang penyimpanan. Kemenangan ialah pasukan, siasat, bala tentara dan senapan. Kemenangan ialah kekuasaan. Kekuasaan ialah satu-satunya jalan menuju kekayaan.

Anak sekarang sangat kaya akan gairah, tapi tak murni hawanya. Anak sekarang sangat kaya akan hasrat, tapi salah langit yang dipilihnya. Karena bapak keliru memberi jurus dan ajian kepadanya. Kekuasan yang yang digandrunginya adalah kekuasaan yang semu. Kekayaan yang dipelototinya ialah kekuasaan yang menipu. Kemerdekaan yang dicintainya adalah kemerdekaan yang membelenggu.

Mereka mengembalakan nafsu keinginannya ke hutan-hutan yang sesat, penuh pohon-pohin penjerat. Mereka menyangka berkuasa ialah memagari hutan, menjadi kaya ialah merampas dan melahap segala isinya, merdeka ialah memiliki semuanya. Mereka tidak bisa melayang ringan di udara, menjadi satu dengannya. Menjadi angin yang tak berdinding, tak bisa ditikam, tak bisa dihantam. Mereka tidak berjalan ke dalam dirinya sendiri, dimana tersimpan kekuasaan, kekayaan dan kemerdekaan sejati.

Iseng-iseng mungkin, daripada nganggur dan tidak ada kerjaan, atau karena hati sedang bersedih. Tapi mungkin juga ini suatu gejala sosial: ia adalah ungkapan polos jujur bagian dari kejiwaan anak-anak muda. Sebab ada ratusan coretan macam itu lagi di sekujur badan kereta api, di bangku-bangku tunggu stasiun, di toilet bioskop atau dimana pun asal ada ruang dan kesempatan untuk itu.

Ribuan, bahkan mungkin jutaan, dan semuanya mencerminkan motivasi psikologis yang sesungguhnya pararel. Datanglah ke warung-warung, bangku sekolahan, tembok-tembok dan bacalah salah satu wajah anak muda kita: "4MEL LOVE B3CKH4M" atau "C1NT4KU M4T1". Tentu sangat memaklumi, terutama karena fase masyarakat tersebut masih dalam proses. Darah muda yang sedang panas-panasnya. Besok pagi pasti makin mengendap.

Demam eksis bukan gejala abnormal, apalagi dosa. Ia sah dan wajar dan amat manusiawi. Itu vitalitas pribadi. Energi hidup. Potensi. Anak kita begini nakal, tapi ini suatu potensi butuh modus, saluran, media dan bentuk. 

Persoalannya ialah, bentuk ragam lingkungan sosial budaya kita seberapa banyak dan berkualitas menyediakan kemungkinan untuk itu. Atau dalam prinsip-prinsip kreativitas, apakah pendidikan bagi manusia serta kebiasaan-kebiasaan kehidupan mendorong mereka untuk mencari manifestasi dari potensinya masing-masing. Kemudian apakah jaringan kemasyarakatannya mampu menampungnya dan memberi ruang gerak baginya.

Kalau sampai dewasa ini misalnya, kualitas dunia pendidikan formal kita masih belum menjamin mutunya integritas para anak didiknya di tengah lingkungan masyarakatnya, maka logislah kalau kita melihat bahwa kadar 'tanggap lingkungan' para anak didik kita masih belum memadai. Bagaimanapun pendidikan formal dianggap paling menanggung 'beban' tanggung jawab dan tugas untuk membawa para anak didik menjelajah dunia dan cakrawalanya yang amat luas. 

Banyak ahli mengungkapkan "pendidikan kita masih terpisah dari kehidupan" atau lebih tajam "tercerabut dari akar masyarakatnya". Kalau ini benar, maka menjadi jelas bagi kita soal kadar 'tanggap lingkungan' kaum muda kita dewasa ini.

Orang tua wajib membimbing anaknya ke arah yang baik. Tetapi persoalannya, letak sifat 'samar'nya, bahwa membimbing itu sekedar memberi alternatif. Memberi pandangan. Sang anak berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan itu. Digaris inilah terletak kekisruhan kebudayan hubungan antara anak dan orang tua tetap dalam banyak hal sering orang-orang tua kita bukan sekedar memberi alternatif, tetapi menganggap apa yangia berikan kepada anaknya itu adalah satu-satunya yang terbaik. Dan harus dianut, dipatuhi anaknya.

Dan untuk watak masyarakat kita yang penuh 'rasa', pemaksaan itu sering lebih berupa 'fetakompli moril': Bapak akan sakit hati dan bersedih kalau anak tak menuruti pikirannya. Pikiran-pikiran merupakan isi dari kehendak. Kehendak merupakan rangkaian dari konsep hidup yang diterapkan oleh orang tua atas anaknya. Sebab itu, sering kita saksikan betapa orang tua menjadi 'tiran' bagi anaknya. Orang tua menerapkan konsep pikirannya atas anaknya. Orang tua mengarahkan jalan hidup anaknya. Orang tua menentukan masa depannya. Memilihkan cita-citanya, profesinya, bahkan tak jarang istri atau suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun