Mohon tunggu...
Gusty Masan Raya
Gusty Masan Raya Mohon Tunggu... wiraswasta -

SCRIBO ERGO SUM, 'Saya Menulis Maka Saya Ada.'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kompasianer Islam-Kristen: Bercerminlah dari Ledalero!

17 September 2010   12:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 2687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Damai itu memang indah. Dan siapa yang mengingkari kebenaran ini, dia sebenarnya tidak beriman, walaupun ia beragama. Karena semua ajaran agama menggariskan kerukunan dan kedamaian dalam beriman dan penghayatan iman. Sebenarnya saya tidak terlalu merasa 'gelisah' dengan isu konflik Kristen dan Islam di Indonesia sepekan terakhir karena itu isu jualan kecap belaka. Sejak isu rencana pembakaran Al-Quran oleh Pendeta Terry Jones di Florida pada 11 September lalu dan diperuncing lagi oleh kasus penusukan Pendeta dan jemaat HKBP Bekasi pada malam harinya, dua pekan terakhir ini sepertinya tulisan-tulisan di Kompasiana penuh gaduh dengan tema-tema sensitif  ini. Kadang membosankan. Tetapi itulah realitas yang harus dilewati. Ada yang berkepala dingin penuh damai menawarkan jalan keluar, tak sedikit pula yang menulisnya dengan ekstrim dan provokatif. Soal tulisan-tulisan ekstrim dan provokatif ini pun bukan saya yang memberi penilaian demikian. Ini terbaca lewat tanggapan yang beragam, yang dalam waktu sekejap, ruang sang Kompasianer yang memostingnya dipenuhi 'pertempuran' ide, bahkan fitnah yang saya kira kurang bermartabat sebagai orang pintar, apalagi beriman. Kegelisahan saya itu mencapai puncaknya ketika membaca tulisan berjudul "Maraknya Gereja di Indonesia Tanpa Penghuni" yang diposting Kompasianer Zulkarnain El-Madury pada pagi tadi pukul 08.00 di Jumat, 17 September 2009. Saat saya menyusun tulisan ini pada pukul 18.00 waktu Papua, terdapat 138 komentar atas tulisan ini yang umumnya saling menyerang: "Antara Kompasianer Kristen vs Muslim." Saya menulis catatan ini bukan untuk mencari sensasi menjadi 'pahlawan', sok netral, dan hal-hal murahan semacam itu, tetapi saya merasa sangat penting untuk membagi pengalaman keberimanan saya di wilayah kelahiran saya yang gersang dan terlupakan: Flores. Lihatlah foto di bawah ini! [caption id="attachment_260690" align="aligncenter" width="500" caption="Gus Dur saat disambut Pimpinan Seminari Tinggi Ledalero, Pastor Dr. Philipus Tule, SVD (dok teman)"][/caption] Foto ini saya ambil dari salah seorang teman kuliah saya, seorang Pastor di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Kedatangan Bapak Pluralis Indonesia Almarhum Gus Dur ini terjadi tahun 2005. Waktu itu saya masih semester dua. Saya masih ingat, ketika itu beliau dipapah naik menuju podium karena ia tidak bisa melihat baik. Apa yang dikatakannya saat ia duduk? "Para calon pastor pencinta damai dan kasih, senang bertemu dengan kalian semua...." Spontan saja, sekitar tujuh ratus mahasiswa yang hadir bertepuk tangan. Gegap gempita. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero dibangun oleh serikat/ordo para imam/biarawan Katolik Societas Verbi Divini (SVD)=Serikat Sabda Allah sekitar 78 tahun yang lalu. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah calon pastor di Indonesia yang masih mempertahankan ilmu filsafat murni, selain STF Dyiarkara. Dalam perkembangan, sejumlah ordo calon pastor di Flores mulai bekerjasama untuk menitipkan pendidikan anak-anaknya pada STFK Ledalero. Ada calon imam projo dari 5 keuskupan, ordo karmelitan, dan juga ordo Scalabrinian. Sebenarnya tak ada yang menarik di Ledalero. Ledalero hanyalah sebuah kampung kecil yang berada sekitar 7 KM arah barat Maumere.ibu kota Kabupaten Sikka, NTT. Dalam bahasa Sikka, Ledalero dikenal sebagai bukit (leda) sandarnya matahari (lero). Namun justru dari makna etimologis inilah, Ledalero, baik itu selaku STFK Ledalero maupun Seminari Tinggi Ledalero (calon iman SVD) memancarkan 'matahari' (lero} kehidupan itu kepada seluruh jagat. Terhitung, saat ini sekitar empat ratus pastor SVD bekerja di luar negeri untuk melakukan pelayanan. Mereka menjalani hidup selibat: tanpa menikah, sebagaimana warisan tahta suci.  Belum terhitung imam praja dan ordo-ordo lain yang juga lulus dari STFK Ledalero. Banyak sekali. Juga para bruder. [caption id="attachment_260694" align="aligncenter" width="500" caption="Para pastor SVD yang ditahbis: Siap diutus ke seluruh jagat (foto: dok teman)"][/caption] Khusus tentang Ledalero sebagai komunitas Seminari Tinggi SVD di Flores, kali ini sayang ingin mengangkat beberapa sisi positifnya sebagai pembelajaran dalam hal kerukunan umat beragama yang tengah mendapat cobaan beberapa pekan ini. Pertama, Seminari Tinggi SVD Ledalero selaku pemilik dan pengelola STFK Ledalero sejak puluhan tahun memasukan kurikulum mata pelajaran ISLAMOLOGI selama 2 semester. Ini sungguh menarik sebagai sekolah calon pastor. Untuk menunjang hal itu, dua pastor dikirim khusus mendalami studi doktoralnya tentang ISLAMOLOGI di luar negeri, salah satunya adalah Pastor Dr. Philipus Tule, SVD, yang tampak terlihat berdiri menyambut Gus Dur pada foto teratas. Yang satunya adalah Pastor Dr. Markus Kwuta, SVD yang saat ini berada di Jerman. Saya masih ingat, Pastor Philipus selalu 'laris' diminta membawakan ceramah di setiap acara-acara muslim. Unik. Tak cuma di bidang akademik. Hal yang saya rasa sangat unik, menarik dan patut diteladani dari Seminari Tinggi Ledalero adalah DIALOG IMAN yang sengaja dibuka untuk kelompok muslim di Flores yang secara demografi, minoritas. Flores saat ini memang memiliki 9 kabupaten meliputi Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, Flores Timur dan Lembata. Dari kesembilan kabupaten ini, terdapat tiga kabupaten yang memiliki penduduk terbagi dua secara merata dalam hal kepemelukan agama: Muslim dan Katolik yakni Lembata, Flores Timur, dan Ende. Sementara yang lannya 90 persen Katolik. Para pimpinan Serikat SVD di Ledalero setiap tahun selalu mengirim 1-2 calon pastor (frater) untuk menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP=setara dengan KKN bagi mahasiswa pra skripsi, sedangkan TOP dilakukan sesudah skripsi) di pesanstren-pesantren. Biasanya di Ende dan Larantuka. Seminari calon pastor ini jugalah yang mengirim sekitar 70 mahasiswa secara bergelombang untuk menjadi tenaga relawan kemanusiaan bagi korban Tsunami di Aceh, 2005 lalu. Saya termasuk yang berbahagia karena ikut diberi kesempatan emas itu. Saya masuk gelombang kedua bersama 7 teman lainnya. Selama Januari hingga April 2005, saya menjadi wakil ketua posko VIVAT-PADMA di Jalan Keutapang, Banda Aceh. Tinggal dengan 5 relawan lokal dan belasan mahasiswa-mahasiswi yang kehilangan orang tua. Semuanya muslim, saya sendiri yang Katolik. Di sana saya diajarkan bagaimana membaca Al-Quran, bagaimana duduk ber-rakaat di atas sajadah, tanpa bersembunyi dan dengan jujur mengatakan bahwa "aku calon pastor." Tak ada isu Kristenisasi. Tidak ada saling menghina dan minder. Kami terbuka, duduk semeja, tidur sekamar, tanpa batas, begitu jujur dan hangat bersaudara. [caption id="attachment_260699" align="aligncenter" width="500" caption="Kampus Sederhana STFK Ledalero (foto: dok teman)"][/caption] Ketika terjadi vonis mati hingga penembakan terhadap tiga terpidana mati kasus Poso jilid 3, Tibo cs tahun 2006, Flores tiba-tiba mencekam panas. Isu tak bertanggung jawab beredar sana-sini. Katanya orang Katolik mau bakar mesjid-mesjid. Seminari Ledalero tak mau kasus ini terjadi. Maka malam di hari eksekusi itu terjadi, pimpinan Seminari Tinggi Ledalero mengirim ratusan calon pastor turun ke setiap mesjid di Kota Maumere. Dengan jumbai putih, mereka berdiri mengelilingi puluhan mesjid di Maumere. Sebab rumah Tuhan itu suci tak bersalah. Harus dijaga dan dihormati. Dan ketika kasus Terry dan HKBP ini begitu menyita perhatian kita, menegangkan urat saraf kita untuk berpikir, memporakporandakan kerukunanan dan memutuskan rasa saling menghormati, saya berharap Ledalero yang terletak di wilayah gersang Flores yang terkenal dengan kemiskinannya itu bisa memberi inspirasi bagi siapapun di negeri ini yang berkehendak baik untuk membangun perdamaian dan kerukunan umat beragama. Salam damai penuh cinta dari Papua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun