"Sing sapa nanduk, kudu siap nandang."
(Siapa yang melukai, harus siap dilukai.)
Ungkapan ini menggambarkan bagaimana konsep maaf dalam budaya Jawa bukan sekadar kata ringan yang meluncur dari lidah. Ia adalah laku batin, tanggung jawab sosial, sekaligus tata nilai luhur yang ditenun oleh pengalaman sejarah, ajaran spiritual, dan filosofi hidup orang Jawa.Â
Namun, di era modern, permintaan maaf sering kali hanya menjadi formalitas retoris, kehilangan makna mendalam yang dulu dijunjung tinggi oleh leluhur.
Dalam bahasa Jawa, "maaf" lebih sering hadir dalam bentuk pangaksama, suwun ngapura, atau nyuwun agunging samudra pangaksami. Ungkapan-ungkapan ini tidak hanya berarti meminta maaf, tetapi juga mencerminkan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan serta keikhlasan memberi ruang bagi perbaikan.Â
Dengan demikian, maaf tidak berhenti di bibir, tetapi harus tumbuh dalam sikap.
Bagi orang Jawa, memberi dan menerima maaf sering kali melewati jalan panjang: melalui diam, jarak, pengorbanan, hingga ritus budaya seperti slametan atau sungkeman.Â
Dalam kehidupan sehari-hari, penghormatan terhadap orang tua, guru, atau sesepuh melalui sungkem bukan sekadar tindakan fisik, melainkan ekspresi penghormatan dan keikhlasan hati untuk menerima pengampunan serta merajut kembali hubungan yang mungkin sempat renggang.
Mengingat Maaf dalam Perbendaharaan Kisah Jawa
Dalam dunia ksatria Jawa, seperti tergambar dalam tokoh-tokoh pewayangan dan sejarah kerajaan, maaf tidak selalu berbentuk permohonan yang lembut. Maaf bisa lahir dari perlawanan terhadap keangkuhan, dari pertempuran untuk menebus kesalahan.
Tragedi Perang Bubat menjadi ingatan kolektif masyarakat Jawa dan Sunda. Pembantaian tragis pasukan Sunda oleh pasukan Majapahit di bawah komando Gajah Mada menyisakan luka yang panjang.Â
Sebagai bentuk pengampunan dan penghormatan, Hayam Wuruk membangun candi untuk mengenang Dyah Pitaloka Citraresmi. Meskipun demikian, secara politik, wilayah Sunda tetap tunduk pada kekuasaan Majapahit.
Dalam Babad Tanah Jawi, Arya Penangsang baru "diampuni" setelah ia gugur dalam pertempuran melawan Jaka Tingkir.Â
Dalam kisah Mahabharata, Bima memaafkan Duryudana setelah memenggal pahanya sebuah simbol penghancuran kesombongan dan keangkuhan. Sementara itu, dalam kisah Calon Arang, permintaan maaf bukanlah sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma. Setelah membakar desa, melawan para pendeta, dan mengutuk tanah, ia baru mendapatkan pengampunan setelah menghadapi Empu Bharadah dan menerima kematiannya sebagai bentuk penyucian diri.
Kisah Rahwana dalam Rahwana Putih juga menggambarkan makna maaf yang berbeda. Rahwana menerima saran dari Dewi Sinta untuk meminta maaf kepada Sri Rama.Â
Namun, bagi Rahwana, permintaan maaf bukanlah sekadar kata-kata, melainkan sebuah perjuangan hingga titik darah penghabisan. Ia memilih untuk berperang sampai mati sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Pengampunan dalam Alam Pikir Ksatria Jawa
Dalam tradisi Jawa, maaf (pangapunten) bagi ksatria bukanlah tanda kelemahan, melainkan konsekuensi dari pertarungan, baik fisik maupun spiritual. Ksatria Jawa memandang pengampunan sebagai:
- Hasil akhir dari perlawanan, bukan pasifitas.
- Bentuk pembersihan diri setelah pertempuran.
- Pengakuan kemenangan dharma atas adharma.
Maaf dalam budaya Jawa bukan sekadar kata, tetapi perjalanan panjang menuju keseimbangan diri dan harmoni dengan semesta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI