Mohon tunggu...
Masad Masrur
Masad Masrur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Pasca Sarjana USAHID JAKARTA

Pernah kuliah di Fakultas Teknik, tetapi beraktifitas di Organisasi Ekstrakampus dan Wartawan Kampus. Kini barusaja menyelesaikan S-2 Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia. Kini belajar lagi Ilmu Komunikasi di USAHID JAkarta. Kompasiana diperlukan untuk melepaskan beban pikiran, karena hanya dengan menulis beban itu akan berkurang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hegemoni Gramsci dalam Pembahasan RUU Cipta Kerja

6 Juli 2021   17:36 Diperbarui: 6 Juli 2021   17:43 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Masad Masrur

Proses pembuatan undang-undang sebagai wujud pembangunan hukum adalah deretan peristiwa yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (presiden beserta jajaran kementeriannya), dan legislatif (DPR). Dalam sistem pembentukan hukum yang demokratis, proses-pembentukan hukum tersebut memiliki tipe “bottom-up”, yakni menghendaki bahwa materiil hukum yang hendak merupakan pencerminan nilai dan kehendak rakyat (Pasaribu, 2007).

Pengajuan sebuah RUU dapat datang dari pemerintah atau dari DPR sebagaimana Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945. RUU Cipta Kerja merupakan RUU inisiatif pemerintah, sehingga seluruh draf awal yang diajukan kepada DPR menempatkan pemerintah pada posisi pemilik ide atau gagasan RUU. Sedangkan DPR sebagai penerima naskah dan pembuka sidang untuk memulai pembahasan, membutuhkan banyak waktu untuk mempelajari isi dan materi muatan RUU yang diajukan pemerintah. Proses pengajuan RUU Cipta Kerja yang memiliki tipe “top-down” dari pemerintah tersebut, diupayakan menjadi bertipe bottom-up dengan mengundang kelompok kepentingan dalam pembahasannya. Ketua DPR menyebutkan, RUU Cipta Kerja dibahas sebanyak 88 (delapanpuluh delapan) kali Rapat Dengar Pendapat/Umum (RDP/U) dan pertemuan dengan ragam tokoh masyarakat sebanyak 89 (delapanpuluh sembilan) kali dengan berbagai pihak berkepentingan, (Parlementaria, 1126/III/X/2020). Namun demikian, proses “merubah” RUU Ciptakerja dari bertipe top-down menuju RUU bertipe bottom-up tersebut tidak dapat sepenuhnya berlangsung secara akomodatif.

Pekerja menganggap, RUU Cipta Kerja lebih mengakomodir kepentingan investasi dan memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa pasal krusial yang menimbulkan perdebatan, antara lain: pertama, Pasal 33 dan Pasal 66, yang menyetarakan posisi impor dengan produksi dalam negeri dan dianggap mendorong liberalisasi impor; kedua, Pasal 89 terkait pengertian pegawai kontrak, upah minimum dan pengaturan cuti tenaga kerja; ketiga, Pasal 117 yang dinilai meringankan hukuman bagi pelaku usaha monopoli, (Tempo.co.14/8/2020). Pasal-pasal lain yang dianggap kontroversial, juga mengundang perdebatan dari berbagai kelompok kepentingan melalui berbagai media seperti demonstrasi, opini di media cetak, wawancara di berbagai media elektronik, komentar di media sosial, dan sebagainya.

Konflik yang terjadi akbat pembahasan RUU Cipta Kerja pasca penetapan menjadi UU, menurut Razy dan Fedryansyah (2020), melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Kerja, yaitu pertama, Lembaga Eksekutif. Kedua, Satuan Tugas (Satgas) yang didominasi oleh pihak pengusaha yang terdiri dari 16 (enambelas) orang, termasuk dalam pengurus Kadin Pusat dan Daerah. Ketiga, Lembaga Legislatif, dalam hal ini Badan Legislati DPR, yang bertugas berperan membahas RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah. Keempat, partai politik dan pengusaha. Dan kelima, Gerakan Masyarakat Sipil, sebuah gerakan yang di bangun oleh masyarakat atas dasar kesadaran untuk memperjuangkan hak yang dimiliki.

Konflik yang terjadi pada aksi demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja berakhir rusuh di beberapa daerah. Pemerintah menyebut aksi-aksi tersebut disebabkan oleh dissinformasi substansi dari RUU dan hoaks di media sosial. Pemerintah menghargai dan menghormati kebebasan berpendapat, namun pemerintah tidak bisa menerima apabila semua itu dibarengi tindakan di luar batas yang mengganggu ketertiban umum dan akan bersikap tegas menindak pelaku yang melanggar aturan. Pemerintah memastikan akan memproses hukum semua pihak yang terlibat, (lombokpost. 9/10/2020).

Aksi kekerasan yang berlangsung sepanjang unjuk rasa tersebut, sesuai penjelasan Gramsci (2013), Haupe (1956) dan Kaplan (1970), merupakan wujud dari adanya dominasi. Praktek dominasi ini berlangsung di luar Gedung DPR sebagai tempat untuk membahas RUU Cipta Kerja. Sedangkan di dalam Gedung DPR sebagai tempat pembahasan RUU, merupakan ruang terbuka bagi tempat keberlangsungan proses persuasif dalam mencapai konsensus. Penggunaan cara-cara yang persuasif inilah yang disebut dengan hegemoni.

Jika paparan peristiwa pembahasan RUU di DPR dan konflik di luar Gedung DPR dibawa ke dalam cakupan negara secara umum, maka baik dominasi maupun hegemoni, keduanya telah saling berinteraksi di dalam wilayah organisasi negara. Sehingga pada akhirnya, negara berperan dalam wujud sebagai hegemony protected by the armour of coercion. Negara, yang diperankan pemerintah, mendapat legitimasi untuk menindak pelaku unjuk rasa yang melanggar aturan. Tindakan pemerintah untuk memproses hukum semua pihak yang terlibat termasuk pihak dibalik aksi tersebut, merupakan bagian dari proses dominasi dan hegemoni.

Hegemoni bukanlah merupakan praktik kekuasaan yang sifatnya sekali selesai (tuntas). Hegemoni merupakan praktik yang berlangsung secara terus-menerus, melalui cara yang lebih halus melalui perangkat aparatur negara ideologis. Struktur ideologis bekerja dengan cara mengamankan kesepakatan internal warganya (memagari kesadaran dan kepatuhan warga) melalui instrumen yang berwujud partai politik, sistem pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi), lembaga keagamaan, seni, dan media massa (Althusser, 2004; Barry, 2010). Semua instrumen itu berfungsi dalam menanamkan ideologi yang sesuai dengan tujuan negara serta status-quo politik.

UU Cipta Kerja, jika kita deteksi ke dalam substansinya, sebenarnya merupakan regulasi yang diperuntukkan untuk membuka pintu investasi dari luar agar bisa masuk ke dalam negeri dan menggerek pertumbuhan perekonomian nasional. Sangat disayangkan jika produk hukum ini hanya semata mengejar pertumbuhan ekonomi dan masuknya pemodal asing namun tidak memberikan pertimbangan yang manusiawi dengan kelompok pekerja/buruh. Pemerintah berusaha agar semua hambatan dan kesulitan akses dan regulasi yang berkaitan dengan modal asing agar segera diminimalisasi, bahkan dihilangkan, kemudian menghadirkan UU Cipta Kerja. Sementara, bagi penguasa, apapun akan dilakukan sepanjang dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang mereka dambakan. Bagi Presiden Joko Widodo, regulasi ini sangat penting guna memberikan sebuah “pahatan sejarah” bagi bangsa Indonesia, bahwa meskipun Indonesia dihadang pandemi dan berbagai turbulensi yang cukup disruptif, pemerintahan tetap dapat memberikan sebuah “warisan” yang akan dikenang sepanjang masa.

Dalam konteks relasi antara hukum dan kekuasaan, Ralf Dahrendorf (1968), seorang neo-marxis, menyatakan bahwa hukum itu adalah kepentingan orang yang berkuasa. Pertalian erat antara kepentingan pemodal dan penguasa seharusnya tidak menjadi dasar pertimbangan utama di dalam merumuskan UU Cipta Kerja mapupun semua produk perundang-undangan lainnya. Hanya mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi sekelompok orang yang minoritas dan belum tentu memiliki aspirasi dan kepentingan yang sama dengan yang dikehendaki oleh rakyat kebanyakan, tentu merupakan sebuah bentuk kolusi yang sangat tidak dapat dibenarkan oleh lensa keadilan. Karena itu, supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan peraturan mengenai hak milik harus sama bagi semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun