Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa yang Untung di Ibu Kota Baru?

27 Agustus 2019   18:12 Diperbarui: 27 Agustus 2019   18:15 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah kontroversi, akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibu Kota baru Indonesia. Tepatnya beberada di Kabupaten Panajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara (Kukar).

Tentunya ini melalui kajian yang panjang dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti ekonomi, lingkungan, kondisi kebencanaan dan lain sebagainya. Tapi apakah pemindahan Ibu kota itu adalah hanya karena itu?

Hari ini di salah satu harian nasional memajang iklan sebuah perusahaan property yang akan segera menancapkan pengaruh ekonominya di kawasan Ibu Kota baru ini. Iklan ini bukanlah sesuatu mengagetkan, meskipun waktunya cukup dekat dengan pengumuman Jokowi.

Telah menjadi hal yang umum bahwa kepentingan konglomerat juga sangat akrab dalam pertimbangan-pertimbangan kebijakan pemerintah yang strategis, termasuk pemindahan Ibu Kota ini. Hal ini biasa dalam demokrasi liberal yang sedang kita anut dan ini telah berlangsung lama.

Meskipun praktik ini sudah ada sejak orde sebelum reformasi, namun di era reformasi sekarang, mereka cukup terang-terangan. Kerang demokrasi yang dibuka diawal reformasi merupakan momentum yang baik bagi kelompok kapitalis ini. Pasalnya, meskipun kebebasan politik dibuka agar setiap orang bisa berpartisipasi dalam politik, namun biayanya sangat mahal sehingga orang yang tidak memiliki banyak modal meskipun punya kapasitas akan sangat sulit bahkan tidak bisa terjun dalam politik.

Disinilah kelompok kapitalis (konglomerat) mendapat momentum yang tepat. Mereka melakukan dua hal: terlibat langsung dalam politik seperti menjadi politisi atau membiayai para politisi termasuk partai politik. Konglomerat yang memilih opsi kedua ini tentunya memiliki deal-deal dengan politisi tersebut.

Logika yang digunakan adalah logika bisnis. Siapa dapat apa, berapa untung yang saya dapat dan bagaimana kekuasaan jika sang poltiisi terpilih dapat membantu konglomerat dalam ekspansi bisnis adalah pembicaraan-pembicaraan di belakang layar yang terjadi antara pengusaha dan calon penguasa (penguasa). Demikian juga pengusaha yang jadi politisi. Mereka akan melindungi dan membesarkan bisnisnya melalui politik.

Ini praktik biasa yang terjadi di negara kita. Surya Paloh Ketua Partai Nasdem, Partai pendukung Jokowi, dalam diskusi di Universtias Indonesia belum terlalu lama ini, menyebutnya dengan istilah "Kapitalis yang Liberal". Entah siapa yang dimaksud oleh Surya. Bisa jadi Ia sedang melakukan otokritik diri sendiri atau mengkritik kekuasan yang sedang berjalan. Entahlah.

Namun, setidaknya Ia mengonfirmasi bahwa segelintir pengusaha yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan bisnisnya dan kekuasaan yang 'berselingkuh' dengan konglomerat, itu benar adanya.

Apalagi dalam pernyataan Jokowi seperti yang dikutip oleh banyak media bahwa hanya 19% anggaran APBN yang digunakan dalam pembiayaan pemindahan ini. Artinya peran swasta akan memilik andil yang cukup besar Nah, siapa mereka?

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, hubungan yang mutual antara politisi (politik) dan bisnis (ekonomi) merupakan praktik yang sudah lumrah terjadi. Dan pebisnis tersebut biasanya adalah mereka yang punya akses yang ke kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun