Mohon tunggu...
Humaniora

Sensor Internet, Perlukah?

1 Desember 2018   20:52 Diperbarui: 1 Desember 2018   21:24 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di zaman yang serba modern ini, internet telah menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak sekali manfaat yang dapat kita rasakan dari penggunaan internet. Berbagai macam informasi, gambar, berita dan video dapat kita dapatkan dengan cepat. Komunikasi pun menjadi lebih efektif dan efisien. 

Kini, kita dapat melakukan panggilan sambil "bertatap muka" dengan fitur panggilan video dengan harga yang relatif lebih terjangkau dari telepon rumah konvensional. Namun, tak bisa dipungkiri dari banyaknya informasi yang banyak beredar di internet, tentunya tidak semuanya merupakan informasi yang baik. Banyak pula berbagai informasi yang tidak kredibel dan tidak terpercaya. Banyak pula konten konten yang bersifat pornografi, SARA dan pelecehan.

Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Indonesia memberlakukan sensor terhadap Internet di Indonesia. Beberapa situs yang mengandung konten pornografi dan pelecehan SARA, perjudian dan hal negatif lainya tidak bisa diakses. Jika kita membuka tautanya, kita akan langsung diarahkan ke laman peringatan dari provider kita, contohnya untuk pengguna provider Telkom akan diarahkan ke web Internet Positif.

Semakin diperketat, akhir -- akhir ini pemerintah juga memberlakukan fitur safe search pada mesin - mesin pencari secara permanen, misalnya Google. Dengan diberlakukan fitur safe search, mesin pencari yang bersangkutan tidak akan menampilkan hasil hasil yang sensitif. Misalnya, jika kita mengetik "ArtisXXX telanjang" atau kata kunci berbau pornografi yang lain, maka mesin pencari tidak akan menampilkan hasilnya.

Sebenarnya, apakah menyensor internet di Indonesia merupakan hal yang tepat? Tulisan ini hanya sekadar opini penulis.

Mengapa banyak anak di bawah umur mengakses konten pornografi? Menurut saya, jawaban yang paling tepat adalah karena rasa penasaran. Seks di Indonesia dan banyak negara timur acap kali dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan bersama anak -- anak. Padahal ketika anak mulai memasuki masa remaja atau akil baligh, anak akan mulai merasakan perubahan fisik dan mental pada diri mereka. 

Mereka akan mulai mempertanyakan banyak hal kepada orang tua, guru bahkan teman sebaya mereka tapi jawabanya seringkali tidak memuaskan mereka. Sebagai anak generasi Z, tentunya internet menjadi tempat untuk memuaskan rasa ingin tahu. Mulailah anak mencari informasi seputar seks di Internet. Mencari informasi seputar seks tanpa pendampingan orang dewasa dapat membuat anak sampai pada sisi lain dari seks tersebut.

Memblokir situs -- situs negatif memang menjadi penyelesaian masalah yang praktis, tetapi jika dipikir lagi, ternyata tidak semudah itu. Meskipun internet sudah diberi pengaman, selalu saja yang namanya jaringan itu bisa dibobol. Sistem sensor tersebut bisa dengan mudah ditembus misalnya dengan menggunakan VPN. Menggunakan VPN sendiri bukanlah hal yang sulit. Banyak anak anak yang bisa memakainya, dan mereka tetap akhirnya bebas mengakses situs negatif.

Menurut saya solusi yang paling baik dalam menangani fenomena konten negatif ini adalah dengan memberikan edukasi pada masyarakat. Para orang tua harus mulai berpikir lebih maju dan terbuka soal seks, bagaimana mereka dapat menjelaskan seks dengan jelas dan bijaksana kepad buah hati mereka. 

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal juga memiliki peranan yang penting dalam mengedukasi siswa -- siswinya. Melibatkan anak dalam banyak kegiatan juga cara yang cukup ampuh untuk mengatasi masalah, karena si anak sibuk, ia tidak memiliki kesempatan untuk memuaskan hasratnya dengan cara yang tidak tepat.

Segala teknologi diciptakan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, internet salah satunya. Sesungguhnya lebih banyak sisi positif dari pada negatifnya. Semuanya tergantung kita sebagai pengguna. Pengguna yang bijak pasti akan mendapatkan nilai -- nilai yang positif.

            

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun