Mohon tunggu...
Marul Prihastuti
Marul Prihastuti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

dengan teru teru bozu digantung terbalik dan sepeda ungu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FKK] Pulang

14 Juni 2014   04:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marul Prihastuti. No 21

Hangat sinar mentari yang mulai condong ke arah barat menerpa sebagian wajah orang-orang yang duduk di barisan sebelah kanan dalam bis ini.  Bis berbadan tanggung  berkapasitas 28 tempat duduk ini mulai berbelok ke arah selatan pertanda sampai Pojok Beteng Kulon.  Kutarik ujung kerudung untuk menutupi pipi kanan yang mulai menghangat.  Sedangkan kedua mata menyipit, menyapu jalanan di depan, mengintip dari balik punggung sopir yang menjalankan bis Koperasi Abadi jalur N ini dengan pelan.  Aku menghela nafas, panjang, dan dalam.  Setengah jam lagi sampai rumah.  Dada terasa semakin sesak, kepulangan yang tak kuharapkan.

“Bantul-Samas, Bantul-Samas...mangga Mbak, mangga Mbokdhe...!” terdengar suara kernet dari arah pintu depan.  Tampak ia mengayunkan kaki kirinya dan melompat ketika laju bis melambat.  Sesaat kemudian lelaki kurus bertopi merah itu telah sibuk mengangkat tenggok yang terbungkus ules yang warnanya tak lagi jelas.

“Kosong, Ndhuk?” Seorang ibu yang sudah berumur bertanya dengan ramah, tangan kanannya berusaha menjangkau sandaran bangku untuk menahan tubuhnya agar tak jatuh karena bis  mulai berjalan lagi.

Inggih, Budhe. Sumangga,” aku tersenyum, mempersilakannya duduk di bangku sebelah yang sedari tadi berisi tas punggung hitamku. Tas itu segera kupindah di sela-sela kaki.  Basa-basi ramah yang dulu menjadi kebiasaan di tanah kelahiranku.  Basa-basi yang telah mulai hilang bagi generasi muda, mereka yang sibuk dengan kesehariannya, lupa tersenyum dan sejenak menundukkan kepala hanya demi memandang dan mengelus gadget di tangan dengan alasan efisien waktu dan tempat.  Halah.

“Mau pergi kemana, Nduk?” tanya ibu itu seraya menjejalkan segumpal susur tembakau ke mulutnya yang memerah pertanda hobi mengunyah sirih.

“Pulang kok, Budhe,” aku menjawab pelan sambil tersenyum menutupi kegalauan tentang kepulangan ini.

“Rumahnya mana?” cecarnya.  “Rumahku Kasongan lho, Nduk.  Belakang sekolahan, kalau kapan-kapan butuh gerabah bisa saya antar nanti,” lanjutnya lagi tanpa kutanya.

“Bambanglipura, Budhe.  Iya, kalau saya atau teman nanti ada yang butuh, pasti ke Budhe deh. Belakang sekolah, pasti ingat kok,” kataku berlagak serius untuk menghormati kesungguhannya.

Ibu tua itu menceritakan perkembangan desanya.  Semenjak beliau kecil yang menikah di usia belasan, menjadi buruh gerabah hingga mempunyai usaha gerabah bersama suaminya.  Namun nasib tak dapat diramal, usaha gerabahnya ambruk total, hancur dalam musibah gempa yang menimpa, 8 tahun yang lalu (dan aku pun ingin melupakan peristiwa naas itu).  Ia  kehilangan suaminya yang meninggal terkubur bersama rumah beserta seluruh harta benda yang mereka miliki.  Sekarang ibu itu menghidupi diri dengan berjualan kembang tabur di Pasar Beringharjo.

Kasongan, salah satu desa di wilayah Bantul yang terkenal akan kerajinan gerabahnya.  Setiap musim liburan dipastikan banyak wisatawan yang mengunjunginya untuk membeli bermacam-macam gerabah hasil karya penduduknya.  Dulu, mereka hanya membuat gerabah perabot rumah tangga saja, seperti kuali, cobek, dan keren (tungku dari tanah liat). Namun seiring berkembangnya permintaan pasar, kasongan pun berbenah diri. Membuat berbagai macam benda-benda.  Seperti macam-macam guci,  macam-macam patung berbagai ukuran berbahan baku tanah liat, semen maupun kayu. Wayang berbahan baku kulit kerbau ataupun sapi, topeng kayu tradisional maupun topeng batik, segala macam tas anyaman  dan segala pernak-pernik hasil kerajinan ada di sana.

Bis baru saja melintasi jembatan Sungai Winongo, ibu tua disampingku masih terus bercerita sambil sesekali membenahi letak susur yang mencong-mencong di sudut mulutnya.

“Saya sebentar lagi turun, Ndhuk, jangan lupa mampir ya,” ia mengingatkanku sekali lagi.

“Inggih, Budhe,” aku menganggukkan kepala.

Bis berhenti, ibu tua itu turun dibantu kernet yang menurunkan tenggok yang ternyata  berisi kembang tabur dagangan ibu tadi.  Aku memandang ke arah barat.  Gapura selamat datang ke Kasongan berdiri dengan megahnya.  Gapura yang diatasnya masing-masing terdapat patung kuda bersurai keriting sewarna terakota itu tampak megah.  Bis-bis tampak terparkir rapi di tepian jalan menandakan banyaknya wisatawan yang datang.

Kembali termangu dalam ketidakjelasan, teringat telepon ibu kemarin yang memintaku segera pulang. Segera. Ada hal yang sangat penting, menyangkut hajat hidupku dan keluarga, begitu kata beliau. Satu lagi yang aneh, nggak penting  banget buatku tapi penting kata beliau.  Jangan lupa bawa oleh-oleh. Lah, bagian oleh-oleh ini yang kulupa.  Karena memang tak terbiasa bawa oleh-oleh kalau pulang.  Keponakan-keponakan (anak-anak adik) terbiasa kutraktir jajan di lokasi dekat rumah atau kuajak pergi jalan-jalan.  Ada apa gerangan?

“Mas, aku turun depan itu saja deh,” ujarku seraya menunjuk sebuah plang papan nama suatu toko oleh-oleh begitu sampai di wilayah Sumuran, Bantul.

“Mbok Tumpuk, Mbak?” Kernet itu memastikan.  “Kok nggak langsung turun depan rumah saja e, Mbak? Apa mau mampir main basket di SMA sama teman-temannya dulu?” lanjutnya kepo. “Tumpuk kiri!” teriaknya kencang.

“Iya, Mas. Mau cari oleh-oleh dulu kok,” aku memberikan alasan yang tepat. Ketika turun dari bis.  Rupanya kernet ini masih hafal denganku, salah satu pelanggan bisnya selama sekolah di SMA di kanan jalan, berseberangan dengan toko oleh-oleh Mbok Tumpuk.

Toko oleh-oleh ini tak seberapa besar.  Namun cemilan yang dijual di situ sangat beragam.  Aneka kue basah maupun kering.  Penganan tradisional sampai penganan ter up date ada semua.  Kulayangkan pandangan menyapu seisi ruangan.  Aku mengambil tiga  bungkus peyek tumpuk dan dua kotak geplak.  Peyek Tumpuk yang menjadi khasnya toko oleh-oleh ini berbeda dengan rempeyek lain.  Rempeyek kacang yang bertumpuk-tumpuk seperti sarang tawon, menggumpal, pinggirannya putih seperti buih ombak di tepian pantai, namun sangat renyah dan gurih.  Sedangkan geplak adalah salah satu makanan khas Bantul yang terbuat dari parutan kelapa dan gula yang dipadukan dengan sari buah atau essens dan pewarna makanan.  Warna-warni dan aroma geplak menunjukkan rasa yang disembunyikan penganan berbentuk bulat tak sempurna itu.  Satu macam penganan gurih dan satu macam penganan manis.  Lengkap sudah.  Aku mengambil sebotol teh dalam lemari pendingin.  Membawa barang belanjaanku dan antri di kasir.

Tas punggung hitam menempel di punggung, tangan kiri menenteng plastik kresek penuh penganan belanjaan, tangan kanan memegang sebotol teh yang sibuk kuseruput melalui sedotan plastik dan duduk di pinggir jalan dengan santai menanti bis yang lewat untuk ditumpangi.

“Tin tin...”

Sebuah mobil menepi dan berhenti tak jauh dari tempatku duduk.  Aku Cuma meliriknya sebentar. Ah, paling juga mau belanja, sepertiku yang kulakukan tadi.

“Hooii Mbak, ayo bareng, mau pulang kan?” terdengar suara seorang perempuan berteriak dari dalam mobil.  Suara yang sepertinya kukenal. Ia memundurkan mobilnya sampai tepat di depanku.

“Hai Na, mau dong nebeng sampai rumah,” ujarku sambil berjalan mendekatinya.

“Tumben, Mbak, bukan hari libur kok pulang. Ambil jatah cuti apa emang disuruh pulang sama Bulik?” cecar Nana.

“Haha...lagi capek kerja, Na. Butuh refreshing bentar, bolos aja,” aku menjawab sekenanya.  Nggak enak ditanya-tanya sama keponakan yang keponya kebangetan itu.

“Bawa apa sih Na, mobilmu penuh sesak begini?” ganti kutanya Nana begitu melihat tumpukan barang di jok belakang.

“Baju-baju batik doong, aku kan sekarang bisnis jualan baju batik. On  line shop gitu, soalnya kios batikku agak sepi Mbak. Kalau nggak jemput bola gitu, kapan larisnya?” terang Nana.

“Ambil dimana?” selidikku ingin tahu.

“Di Bergan, Pandak Mbak. Atau di sekitaran Pajangan gitu. Kadang-kadang aku ambil di Imogiri juga. Tergantung motif yang dimaui pelanggan. Karena setiap pembatik punya motif khas masing-masing. Jadi yaa, harus selalu up date info lah! Ini ada batik cap, batik tulis dan batik campuran. Warnanya pun ada yang pewarna alami dan pewarna sintetis,” Nana menjelaskan berapi-api.

“Yang ngajarin kamu bisnis begini siapa, Na? Bukannya kemarin kamu tuh terkenal malesnya?”

“Haha, mertuaku kan punya toko batik di Pandak, Mbak. Jadi aku bantu pemasarannya.  Aku kan menantu yang baik.  Mbak segera gih cari mertua, biar nggak songong!”

Glek, aku terdiam. Tenggorokanku tersekat. Cepat kamu jalankan mobil ini deh, Na. Aku ingin segera terbebas dari pembicaraan yang mulai konyol ini, batinku.

Nana sama persis dengan ibunya yang kakak sepupuku. Cerewetnya minta ampun. Tak peduli siapa yang diajak bicara merasa tak enak hati. Sepanjang perjalanan aku cuma mengiyakan dan tersenyum nyengir.  Berharap ada sesuatu yang mengalihkan topik pembicaraan dan sesegera mungkin sampai di rumah.

Aku mulai bernafas  lega ketika mobil Nana menepi tepat di depan pagar rumah.

“Aku terusan, Mbak,” katanya.

“Thank’s Na, salam sayang buat Nayla ya,” pesanku sambil menutup pintu mobil. Nana menganggukkan kepalanya sambil meringis.

Terlihat ibu membuka pintu depan dan menyambutku.  Aku mencium punggung tangannya dan masuk  ke rumah.  Kedua keponakanku terlihat sedang asyik menyusun lego.  Setelah membersihkan badan seperlunya, aku menemani ibu duduk di beranda.

“Maaf, Bu. Ada perlu apa sekiranya Ibu memintaku pulang secepat ini?”

“Ada yang serius akan Ibu bicarakan, Maura. Tentang masa depanmu.”

“Maksud Ibu?”

“Besok akan ada yang datang ke rumah ini.  Seorang yang sepertinya akan cocok menjadi pendamping hidupmu kelak di kemudian hari. Ingat umurmu dan adikmu yang telah menikah terlebih dahulu. Jadi, Ibu kira, engkau sudah tahu apa yang sebaiknya kau lakukan, Maura.”

Aku menerawang jauh ke depan. Mengikuti semburat jingga yang terpancar matahari senja.  Mempertanyakan pada hatiku sendiri.

Note :

Tenggok = keranjang dari kulit bambu yang dianyam rapat.

Ules = kain pembungkus berbentuk persegi.  Biasanya memakai taplak meja bermotif

batik.

Ndhuk = Gendhuk. Sebutan untuk anak perempuan Jawa.

Inggih, Budhe. Sumangga = Iya, Budhe. Silakan.

Budhe = sebutan untuk kakak perempuan dari ayah/ibu kita. Sebutan untuk perempuan

yang dituakan.

Bulik = sebutan untuk adik perempuan dari ayah/ibu kita.

. NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community ( http://www.kompasiana.com/androgini)

· Dan juga,  silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community ( https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun