Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Beruang Merah Gagal Meraung di Bulan

1 Agustus 2012   08:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vasily Mishin berdiri cemas di tengah kesibukan luar biasa dalam ruang kontrol kosmodrom Baikonur yang sejuk pada 3 Juli 1969. Keringatnya mengucur deras. Sebagai pimpinan tertinggi program antariksa Uni Soviet setelah kematian tragis Sergei Korolev, Mishin dituntut harus-berhasil hari itu. Nun jauh di ujung sana, bertengger sebuah roket raksasa menyerupai mata tombak dengan ketinggian 105 meter. Itulah roket N-1, calon kuda beban Uni Soviet guna mendaratkan manusia di Bulan dalam memungkasi balapan antariksa melawan AS di tengah kentalnya aroma Perang Dingin. Jika Uni Soviet berhasil mendaratkan kosmonotnya di Bulan, ini akan melengkapi pencapaian mereka dalam balapan antariksa setelah berhasil meluncurkan satelit pertama (Sputnik 1), hewan pertama di antariksa (Laika), manusia pertama di antariksa (Yuri Gagarin), manusia perempuan pertama di antariksa (Valentina Tereshkova) dan manusia pertama yang berjalan di antariksa (Alexei Leonov). [caption id="attachment_204049" align="alignleft" width="354" caption="Gambar 1 Roket N-1 dalam penerbangan 3 L pada 21 Februari 1969 yang gagal. Sumber : Leitenbergers Site, 2012. "][/caption] Namun Mishin tahu, Uni Soviet tertinggal jauh di belakang AS dalam roket Bulan. Meski diawali kegagalan tragis menjelang peluncuran Apollo 1 yang berujung pada tewasnya Virgil Grissom, Edward White dan Roger Chaffe pada 27 Januari 1967, AS melaju kencang tak tertahankan lagi dengan program Apollo-nya yang bertulangpunggungkan roket jumbo Saturnus V sehingga sampai Juli 1969 telah meluncurkan tujuh roket Saturnus V dengan beragam tujuan, mulai pengujian kelayakan roket, pengujian modul komando tanpa dan dengan awak, pengujian penggandengan (docking) modul komando dengan modul Bulan hingga terbang mengelilingi Bulan dengan konfigurasi modul Bulan-modul komando. Semuanya mencetak sukses. Bahkan telah tersiar kabar AS siap mendaratkan manusia di Bulan pada Juli 1969. Sebaliknya, Uni Soviet masih berkutat di titik nol. Mereka memang telah menyiapkan Soyuz sebagai wahana antariksa berawak ke Bulan, lengkap dengan modul pendarat LK (Lunniy Korabl atau kabin Bulan). Namun roket Bulan-nya sama sekali belum siap. Hingga Juli 1969 itu Uni Soviet baru bisa meluncurkan satu roket N-1 saja dalam penerbangan 21 Februari 1969. Meski awalnya mulus meluncur dari kosmodrom Baikonur, namun roket N-1 3L yang menggendong wahana Soyuz 7K-L1S hanya bertahan 69 detik dalam penerbangannya. Getaran keras pembangkit uapnya memecahkan salah satu pipa bahan bakar sehingga terjadi kebakaran yang membuat roket terpaksa diledakkan saat baru menanjak pada ketinggian 12,2 km. Beruntung wahana Soyuz berhasil diselamatkan dengan menembakkan menara penyelamat. Suasana murung pun melingkupi Baikonur. Maka pada peluncuran selanjutnya, Mishin menargetkan roket N-1 harus sukses. [caption id="attachment_204051" align="alignleft" width="305" caption="Gambar 2 Roket N-1 penerbangan 5L saat meledak, menghasilkan ledakan non-nuklir terbesar sepanjang sejarah.. Sumber : Encyclopedia Astronautica, 2012. "]

1343810207909829811
1343810207909829811
[/caption] Apa lacur, 3 Juli 1969 menjadi salah satu hari penentuan nasib roket Bulan Uni Soviet. Penerbangan roket N-1 5L pun gagal. Sebutir sekrup yang mendadak lepas terhisap masuk ke pompa bahan bakar bertenaga besar yang sedang bekerja dengan kekuatan penuh, membuat pengendali mesin otomatis dalam roket langsung mematikan pompa. Akibatnya 29 dari 30 mesin roket tingkat pertama pun mati, membuat roket yang sedang melaju meninggalkan landasannya mendadak terhenti di udara (stall). Tanpa bisa dicegah, roket pun ambruk kembali ke landasannya dalam 23 detik kemudian, menciptakan ledakan luar biasa besar yang menjadikannya ledakan terdahsyat sepanjang sejarah peroketan, bahkan merupakan ledakan non-nuklir terbesar sepanjang sejarah. Dentuman ledakan tersebut setara ledakan bom nuklir berkekuatan 7 kiloton TNT (sepertiga energi bom Hiroshima) dan membuat Baikonur porak-poranda serta menewaskan sejumlah personelnya. Ledakan dahsyat juga membikin riuh seismometer-seismometer pemantau uji nuklir di sekujur daratan Eropa, membuat AS tergoda mengirimkan satelit mata-matanya dan akhirnya menyimpulkan Uni Soviet secara diam-diam sedang membuat roket Bulan. [caption id="attachment_204052" align="alignleft" width="372" caption="Gambar 3 Kosmodrom Baikonur dalam kondisi porak-poranda pasca peluncuran roket N-1 penerbangan 5L yang gagal pada 3 Juli 1969. Nampak landasan peluncuran roket N-1 (tanda panah). Sumber : Leitenbergers Site, 2012. "]
1343810256230042966
1343810256230042966
[/caption] Kegagalan ini disusul dengan dua kegagalan berikutnya, masing-masing pada penerbangan roket N-1 6L (26 Juni 1971, meledak 51 detik setelah meluncur saat berada pada ketinggian 1 km akibat roket mendadak berputar) dan roket N-1 7L (23 November 1972, meledak 107 detik setelah meluncur saat di ketinggian 40 km akibat osilasi pogo). Di sisi lain hingga akhir 1972 AS telah mendaratkan 12 astronotnya di Bulan tanpa masalah berarti. Hal ini yang membuat Leonid Brezhnev (pemimpin Uni Soviet saat itu) memutuskan untuk membatalkan program roket Bulan pada 1974 sekaligus memecat Mishin dari jabatannya. Namun kisah roket Bulan kemudian disembunyikan dalam timbunan arsip di Moskow dan baru diketahui dunia pada 1991, saat Uni Soviet bubar dan Perang Dingin berakhir. Karakteristik Roket N-1 Roket Bulan merupakan mimpi Sergei Korolev, pionir peroketan Uni Soviet, sejak awal. Di tengah hiruk pikuk perakitan roket R-7 sebagai tulang punggung sistem rudal balistik Uni Soviet sekaligus kuda beban negeri Beruang Merah itu ke antariksa lewat program Sputnik dan menyusul kemudian Vostok serta Voskhod, pada 1959 Korolev mulai memikirkan perancangan roket raksasa guna mengantar manusia ke Bulan, ke stasiun antariksa militer dan bahkan mengirim manusia ke planet Mars. Setelah harus bertarung dengan ide sejenis dari Vladimir Chelomai yang jadi rival beratnya dan Mikhail Yangel, Korolev akhirnya mendapatkan pendanaan untuk mengembangkan roket N-1 mulai 1961 hingga 1963. Peluncuran percobaan direncanakan akan berlangsung pada 1965. Pada saat yang sama, presiden Kennedy berpidato di hadapan publik AS dan mencanangkan AS harus bisa mendaratkan manusia di Bulan sebelum dekade 1960-an berakhir. Pendanaan besar pun dikucurkan ke NASA dan kontraktor-kontraktornya guna merancang dan mengoperasikan roket Bulan AS. Di bawah kendali Wernher von Braun, pionir roket berkebangsaan Jerman yang pindah ke AS pasca Perang Dunia II, program Apollo mulai ditegakkan. Calon roket Bulan bernama roket Saturnus V pun mulai dirancang. Walaupun selama lima tahun kemudian AS hanya berjalan sekencang siput seiring hinggapnya problem berkepanjangan dalam menemukan desain mesin roket yang tepat, namun balapan ke Bulan di antara dua negara adidaya secara resmi telah dimulai. [caption id="attachment_204053" align="alignleft" width="248" caption="Gambar 4 Perbandingan dua model roket Bulan, yakni roket N-1 milik Uni Soviet (kiri) dengan roket Saturnus V milik AS (kanan). Sumber : Leitenbergers Site, 2012. "]
13438103241307510535
13438103241307510535
[/caption] Setelah melewati diskusi, perdebatan dan pertarungan di antara rival-rivalnya, Korolev memastikan bentuk final roket N-1 pada 1966, yang akan menggendong wahana Soyuz, modul Bulan LK dan bahan bakarnya sekaligus dalam satu paket. Roket memiliki ketinggian 105 meter, diameter dasar 17 meter dan bobot 2.735 ton dengan kemampuan mengangkut 75 ton muatan ke orbit Bumi berketinggian rendah (200-300 km) atau 23,5 ton muatan ke orbit transfer Bumi-Bulan. Roket N-1 merupakan roket bertingkat lima yang semuanya ditenagai kombinasi bahan bakar kerosin-oksigen cair (RP1-LOX). Tingkat pertama memiliki 30 mesin roket NK-15, sementara tingkat kedua memiliki 8 mesin roket NK-15V dan tingkat ketiga memiliki 4 mesin roket NK-21. Ketiga tingkat ini bertugas mengangkat seluruh roket N-1 dari landasan peluncurannya, terbang menembus atmosfer hingga mencapai orbit parkir, yakni orbit sementara di atas permukaan Bumi yang bakal ditempati roket N-1 selama proses pengecekan seluruh sistemnya sebelum kemudian memasuki orbit transfer Bumi-Bulan yang bakal membawanya terbang ke Bulan. Setiap kali bahan bakar sebuah tingkat habis, tingkat tersebut dilepaskan sehingga bobot roket N-1 kian lama kian ringan. Maka setibanya di orbit parkir, tingkat pertama hingga ketiga telah terlepas. Dan untuk mendorongnya melintasi orbit transfer Bumi-Bulan, ada tingkat empat yang ditenagai 1 mesin roket NK-19, yang juga bakal dilepas segera setelah bahan bakarnya habis. Setibanya di orbit Bulan, modul LK yang menempel dengan tingkat kelima (ditenagai 1 mesin roket NK-19) bakal terpisah. Setelah terpisah cukup jauh, mesin roket pun dinyalakan guna mengerem kecepatan sekaligus menurunkan modul LK ke titik pendaratan Bulan yang ditentukan. Menjelang tiba di titik pendaratannya, tingkat kelima dilepaskan dan dibiarkan jatuh didekatnya. Berbeda dengan wahana Apollo, wahana Soyuz lebih kecil sehingga hanya bisa mengangkut dua kosmonot saja. Sejak awal perakitannya di Baikonur, modul LK telah terangkai langsung dengan pantat wahana Soyuz, jadi tidak diperlukan penggandengan (docking) di antariksa sebagaimana halnya yang harus dilakukan wahana Apollo dalam penerbangannya. Namun komponen penggandeng ini tidak memiliki lorong akses. Maka kosmonot yang akan mendarat di Bulan harus mengenakan pakaian antariksanya dan keluar dulu dari wahana Soyuz untuk kemudian berjalan di antariksa hingga mencapai modul LK dan masuk ke dalamnya. Ukuran modul LK pun lebih kecil dibanding modul Bulan program Apollo, sehingga hanya sanggup mengangkut satu kosmonot saja. Usai menjalankan misinya di permukaan Bulan, kosmonot segera menyalakan mesin roket modul LK sehingga akan terbang kembali menuju ke wahana Soyuz yang tetap beredar mengelilingi Bulan. Modul LK harus digandeng lagi, namun kali ini di bagian wajah Soyuz. Seperti sebelumnya, pasca penggandengan ini, kosmonot di modul LK pun harus keluar dari modulnya dan berjalan di antariksa hingga mencapai pintu Soyuz, kali ini dengan tambahan beban sampel batuan yang dibawanya dari Bulan. Mesin roket di Soyuz kemudian dinyalakan sehingga wahana menyusur orbit transfer Bulan-Bumi guna kembali ke Bumi. Hanya bagian reentry Soyuz saja (berbentuk bulat) yang bisa kembali ke Bumi dengan selamat menggunakan roket dan parasut pengerem, sementara lainnya dibiarkan terbakar habis di atmosfer. [caption id="attachment_204054" align="alignnone" width="509" caption="Gambar 5 Perbandingan modul pendarat Bulan dalam program Apollo (kiri) dan modul LK (kanan). Sumber : Space.com, 2011. "]
13438103981935178095
13438103981935178095
[/caption] Berbeda dengan roket Saturnus V yang dirakit dan dibawa ke landasan peluncurannya secara vertikal, roket N-1 dirakit secara mendatar dan dibawa ke landasan peluncurannya menggunakan kereta api khusus yang panjangnya setara dengan 26 gerbong. Setibanya di landasan barulah roket yang masih kosong ini ditegakkan, baru kemudian diisi kerosen dan oksigen cair. Mengapa Gagal? Pada akhirnya, kinerja roket N-1 sangat berbeda bila dibandingkan dengan roket Saturnus V yang jadi kompetitornya. Dari 13 roket Saturnus V yang diluncurkan, tak satupun yang gagal. Semuanya sukses mengantarkan wahana Apollo ke tujuan. Sebaliknya dari 4 roket N-1 yang diluncurkan, tak satupun yang mencetak sukses. Mengapa kinerjanya sangat berbeda? [caption id="attachment_204055" align="alignnone" width="493" caption="Gambar 6 Perbandingan konfigurasi Soyuz-modul LK dengan modul Komando-modul Bulan dalam program Apollo beserta aksesibilitasnya. Sumber : Space.com, 2011. "]
1343810462376931575
1343810462376931575
[/caption] Masalah utama terletak pada desain mesin roket. Berbeda dengan Saturnus V, N-1 memiliki mesin roket jauh lebih banyak. Jika tingkat pertama Saturnus V hanya memiliki 5 mesin roket F-1 yang demikian bertenaga, maka tingkat pertama N-1 (yang bobotnya lebih ringan) harus didorong oleh 30 mesin roket NK-15 yang lebih kecil. Demikian juga tingkat kedua, jika Saturnus V hanya memiliki 5 mesin roket J2 maka N-1 masih memiliki 8 mesin roket NK-15V. Menangani banyak mesin roket secara simultan amat sulit mengingat kinerja tiap mesin dalam praktiknya tidak homogen. Banyaknya mesin roket membuat peluang terjadinya kesalahan harus ditekan seminimal mungkin sehingga menyulitkan kemampuan bermanuver tatkala terjadi masalah operasional. Maka tatkala tingkat pertama atau kedua roket Saturnus V mampu berkelit dari masalah osilasi pogo dalam penerbangannya (misalnya dalam Apollo 6 dan Apollo 13), roket N-1 tidak seberuntung itu. Penggunaan banyak mesin roket merupakan buah kegagalan Uni Soviet mengembangkan mesin roket berukuran raksasa yang tanggung jawabnya dibebankan pada Valentin Glushko, rival Korolev. Kegagalan ini merupakan imbas perseteruan Korolev dengan rival-rivalnya. Terutama dengan Glushko, yang di masa silam (tepatnya menjelang Perang Dunia II) menjadi biang keladi dijebloskannya Korolev ke penjara atas tuduhan tak masuk akal hingga harus menjalani tahun-tahun berat di kamp kerja paksa (Gulag) era Stalin. Pilihan Korolev untuk bersikukuh dengan kombinasi bahan bakar RP1-LOX dan mengabaikan saran Glushko untuk memanfaatkan kombinasi dimetil hidrazin asimetrik-nitrogen tetroksida (DHA-N2O4) membuat Glushko bekerja setengah hati dalam merampungkan desain mesin roket raksasa dengan kombinasi bahan bakar yang diminta Korolev. Faktor tersebut, ditambah dengan tekanan waktu, membuat Glushko tak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Sebagai pembanding, di AS saja von Braun butuh waktu hingga 7 tahun dalam menemukan desain mesin roket F-1 yang pas dan bebas dari problem instabilitas pembakaran. Faktor lainnya adalah tutup matanya Glushko terhadap kemungkinan penggunaan hidrogen (cair) sebagai bahan bakar roket. Glushko, yang menempatkan kombinasi DMA-N2O4 sebagai favoritnya, melihat penanganan hidrogen cair amat sulit, meskipun di AS von Braun telah membuktikan kemampuan penanganan dengan baik khususnya dalam tahap ketiga roket Saturnus V. Di kemudian hari, Glushko mengubah pandangannya dan membuktikan mampu menangani kombinasi hidrogen cair-oksigen cair (LH2-LOX) dengan baik dalam perancangan dan pembangunan roket raksasa Energia. Maka sempat muncul kecurigaan, sikap Glushko akan hidrogen cair di era pembangunan roket N-1 lebih disebabkan (lagi-lagi) perseteruannya dengan Korolev. Pada akhirnya, kegagalan Beruang Merah untuk menyuarakan raungannya di permukaan Bulan juga disebabkan oleh ketiadaan sosok penerus yang cakap, mumpuni dan mendapatkan dukungan politik yang kuat setelah kematian mendadak Korolev pada 1966. Rival-rival Korolev, yang bersaing memperebutkan posisi Korolev, pun tidak berhasil mewarisi sifat Korolev. Akibatnya dukungan politik, khususnya pada awal era pemerintahan Brezhnev, pun menjauh dari panggung peroketan Beruang Merah. terlebih setelah AS mendemonstrasikan keberhasilannya mengirim astronot demi astronot ke Bulan, Moskow kian memandang sebelah mata atas apa yang terjadi di Baikonur. Catatan : Ditulis juga di Kafeastronomi.com.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun