Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Pilot Enggan Berbelok, Hasil Investigasi Kecelakaan Sukhoi SuperJet-100 Penerbangan RA 36801

20 Desember 2012   23:41 Diperbarui: 4 April 2017   16:16 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai sudah drama penantian pasca kecelakaan pesawat Sukhoi SuperJet-100 Penerbangan RA 36801 di Gunung Salak, Bogor (jawa Barat) pada Rabu 9 Mei 2012 yang menelan korban jiwa 45 orang. Berselang delapan bulan pasca tragedi, tepatnya pada Selasa 18 Desember 2012 kemarin, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melansir kesimpulan final tentang apa yang menyebabkan kecelakaan Sukhoi SuperJet-100 Penerbangan RA 36801 dalam sebuah laporan tebal, setebal 91 halaman. Di antara laporan-laporan investigatif KNKT dalam aneka kecelakaan pesawat terbang, nampaknya inilah laporan yang paling tebal dan paling komprehensif. Rentang waktu delapan bulan sejak kecelakaan hingga rilis kesimpulan akhir tergolong cepat dalam sebuah investigasi kecelakaan pesawat terbang, katakanlah bila dibandingkan dengan penyelidikan kecelakaan Silk Air Penerbangan 185 (1997) yang memakan waktu hingga tiga tahun lamanya itupun dengan hasil mengecewakan. KNKT mendasarkan kesimpulannya berdasarkan pada timbunan data baik dari pesawat yang naas yang tersimpan dalam dua kotak hitam: perekam suara (cockpit voice recorder/CVR) dan perekam data (flight data recorder/FDR) maupun dari darat seperti data radar dan pola reruntuhan pesawat. Modul elektronik dalam perekam suara mengandung data audio percakapan di dalam kokpit dalam dua jam penerbangan terakhir, dengan kualitas cukup baik. Sementara modul elektronik perekam data merekam 471 parameter dalam 150 jam penerbangan terakhir. Segera setelah perekam suara dan perekam data ditemukan, masing-masing pada 15 Mei dan 31 Mei 2012, data-datanya diunduh di fasilitas KNKT dengan disaksikan penyelidik-penyelidik kecelakaan pesawat dari Rusia. Ini dilakukan mengingat baik Indonesia maupun Rusia menyelidiki kecelakaan ini secara terpisah. [caption id="attachment_230666" align="alignnone" width="544" caption="Gambar 1. Lokasi titik tubrukan Sukhoi SuperJet-100 dengan tebing curam di puncak Gunung Salak. Tebing menghadap ke timur. Nampak jelas jejak tumbukan sebagai garis horizontal miring (ditandai sebagai "][/caption] Analisis terhadap rekaman data dan suara kemudian saling disilangkan dan dicoba kemungkinan-kemungkinannya dengan sejumlah skenario dengan menggunakan simulator SSJ-100 di fasilitas Sukhoi Civil Aviation Company (SCAC) oleh pilot-pilot uji SCAC dan Institut Riset Penerbangan Gromov (Rusia). Simulasi terbang dilaksanakan di Rusia dengan pertimbangan selain karena di Indonesia fasilitas sejenis (khususnya untuk Sukhoi SuperJet-100) belum tersedia, KNKT nampaknya belajar banyak dari kejadian jatuhnya pesawat Silk Air Penerbangan 185 di Sungai Musi (Sumsel) pada 19 Desember 1997 silam. Saat itu penyelidikan kecelakaan juga ditangani dua negara berbeda yakni Indonesia dan AS, masing-masing lewat KNKT dan NTSB (National Transportation Safety Board). Namun tiga tahun kemudian KNKT dan NTSB menghasilkan kesimpulan sangat berbeda. Perbedaan itu salah satunya disebabkan tidak dilakukannya simulasi terbang oleh KNKT berdasarkan data dari perekam data dan suara. Penyebab Jadi, apa penyebab tragedi Gunung Salak? Dalam minggu-minggu hingga bulan-bulan pertama pasca kecelakaan, beragam asumsi penyebab kecelakaan muncul susul-menyusul ibarat cendawan di musim penghujan, sebagian bahkan bernada cukup bombastis. Misalnya, ada anggapan bahwa kecelakaan ini merupakan konspirasi untuk menghancurkan reputasi pesawat sipil Sukhoi SuperJet-100 mengingat pesawat tersebut dianggap hendak merebut pasar penerbangan Indonesia (dan Asia Tenggara) yang selama ini dikuasai pabrikan Boeing dan Airbus. Untuk itu penerbangan harus disabotase agar celaka dan memberikan kesan buruk. Ada juga yang beranggapan bahwa Sukhoi SuperJet-100 menubruk Gunung Salak akibat ada penumpang yang mengaktifkan telpon seluler, meski dalam kenyataannya kaitan antara telpon seluler aktif dengan insiden/kecelakaan pesawat terbang hanyalah urban legend tanpa bukti nyata. Ada juga yang menganggap pengatur lalu lintas udara (air traffic controler/ATC) Jakarta-lah yang menyebabkan kecelakaan karena mengotorisasi penurunan ketinggian jelajah pesawat dari semula 10.000 kaki (3.048 meter dpl) menjadi 6.000 kaki (1.830 meter dpl) padahal di selatan Bogor ada jajaran Gunung Halimun dan Salak, masing-masing memiliki ketinggian puncak 6.219 kaki (1.895 meter dpl) dan 7.151 kaki (2.180 meter dpl). Sempat pula muncul anggapan bahwa faktor cuaca mengambil peran penting mengingat adanya awan Cumulonimbus di kawasan Gunung Salak sehingga berpotensi menimbulkan microburst (aliran udara kencang secara vertikal yang mengarah ke bawah) sehingga pesawat terhempas ke tanah. Semua anggapan tersebut dimentahkan oleh paparan data penerbangan yang dinukil dari kotak hitam perekam data, khususnya selama 22 menit terakhir (yakni pada penerbangan yang berujung maut). Data-data tersebut menunjukkan bahwa semua sistem dalam pesawat Sukhoi SuperJet-100 yang naas itu berfungsi normal hingga detik terakhir (saat kecelakaan terjadi) tanpa ada masalah. Jika pesawat tersebut disabotase (entah dengan cara bagaimana), seharusnya ada salah satu sistem yang mendadak bermasalah dan berdeviasi, entah di mesin, sistem kemudi, sistem navigasi, sistem kelistrikan maupun lainnya. Demikian halnya jika komunikasi telpon seluler membuat instrumentasi pesawat terganggu. Namun faktanya tak ada satupun sistem yang mengalami deviasi. Karena itu sabotase dan kemungkinan intervensi lainnya terhadap fisik pesawat dapat dicoret dengan meyakinkan dari daftar. Pun demikian cuaca. Meskipun kawasan Gunung Salak saat itu diliputi awan Cumulonimbus, tetapi tidak terjadi hempasan yang menurunkan ketinggian pesawat secara drastis. Jadi apa penyebabnya? Dalam setiap kecelakaan pesawat terbang dan moda transportasi lainnya, selalu ada tiga kemungkinan penyebab: faktor teknis (fisis), faktor manusia dan faktor tak diketahui (act of God). Dalam kecelakaan Suhkoi SuperJet-100, faktor teknis dapat dikesampingkan mengingat semua sistem dalam tubuh pesawat bekerja dengan normal. Faktor manusia-lah yang menjadi penyebab kecelakaan. Hal tersebut nampak jelas dalam enam menit terakhir penerbangan naas itu, tatkala Sukhoi SuperJet-100 melaju di ruang udara Atang Sanjaya Training Area (Bogor). Dalam kokpit pesawat, selain pilot, kopilot dan navigator juga terdapat satu pekerja SCAC dan satu tamu undangan (calon pembeli) yang ingin melihat langsung performa pesawat melalui kokpit. Awalnya pada pukul 14:27:53 WIB (ketinggian pesawat 9.214 kaki), pilot dan pekerja SCAC mendiskusikan cara mendarat kembali yang terbaik di bandara Halim Perdanakusuma. Pilot merasa saat itu ketinggiannya terlalu besar sehingga harus diturunkan lagi. Dan cara terbaik untuknya adalah membuat putaran. ATC Jakarta meresponnya dengan mempersilahkan Sukhoi SuperJet-100 berputar melingkar penuh (searah jarum jam) sekaligus turun ke ketinggian 6.000 kaki, sesuai dengan yang dipersyaratkan di ruang udara Atang Sanjaya Training Area (pukul 14:28:21 WIB). Selagi berputar pilot sempat memamerkan kemampuan instrumen TAWS (Terrain Awareness and Warning Systems), instrumen terpadu yang bertugas menghindarkan pesawat dari terbang menuju tebing/penghalang/gunung ataupun turun /naik terlalu cepat dibanding seharusnya kala hendak mendarat/lepas landas, pada tamu undangannya. Mereka juga berbincang soal konsumsi bahan bakar pesawat. [caption id="attachment_230667" align="alignnone" width="623" caption="Gambar 2. Plot lintasan dua penerbangan Sukhoi SuperJet-100 dalam demo terbangnya pada 9 Mei 2012 dalam Google Earth. Penerbangan pertama (lintasan putih) berlangsung sukses sementara penerbangan kedua (lintasan kuning) berakhir tragis. Sumber : KNKT, 2012. "]

1356046173724869817
1356046173724869817
[/caption] Usai berputar melingkar penuh dan saat pesawat mengarah ke selatan (azimuth 174 magnetik), pilot memutuskan untuk berputar sekali lagi (dalam bentuk putaran setengah melingkar) sehingga pesawat bakal menuju ke barat laut (azimuth 325 magnetik) untuk selanjutnya bersiap mendarat. Tanpa berkomunikasi dengan ATC Jakarta, baik pilot maupun kopilot memutuskan mereka akan segera memulai putaran itu (pukul 14:31:58 WIB). Tanpa disadari oleh siapapun dalam kokpit, saat itu Sukhoi SuperJet-100 tepat telah meninggalkan ruang udara Atang Sanjaya Training Area dan mulai memasuki ruang udara Gunung Salak. Maka saat pesawat siap berbelok kembali (pukul 14:32:44 WIB) dan pilot meminta kopilot menghubungi ATC Jakarta, mendadak alarm instrumen TAWS (yang baru saja didemonstrasikan kemampuannya) berdereing meminta pesawat mendaki karena ada penghalang di depan (pukul 14:32:48 WIB). Dalam dua detik kemudian, TAWS kembali berdering selama enam kali berturut-turut (masing-masing berselang 1 detik) yang meminta perhatian untuk segera menyingkir karena adanya penghalang di depan. Apa respon pilot? Bukannya mematuhi alarm TAWS, ia justru mematikannya karena menganggap alarm tadi hanyalah instrumental error akibat kesalahan database (pukul 14:32:58 WIB). Dalam 21 detik kemudian, selagi mematikan seluruh sistem TAWS, justru giliran instrumen FWS (flight warning systems) yang memberikan peringatan audio bahwa roda pendarat belum dikeluarkan, sebuah pertanda bahwa selisih ketinggian pesawat terhadap permukaan setempat (yakni lereng Gunung Salak) tinggal 800 kaki (244 meter). Alarm FWS segera diikuti dimatikannya sistem autopilot. Dan hanya berselang tujuh detik pasca alarm FWS berdering, Sukhoi SuperJet-100 menubruk tebing tegak (kemiringan 85 derajat) yang menghadap ke timur di puncak Gunung Salak. Pilot, kopilot, navigator, teknisi penerbangan, 4 pegawai SCAC, 1 pegawai SNECMA (penyuplai mesin Sukhoi SuperJet-100) dan 36 tamu undangan (1 berkewarganegaraan Amerika, 1 Perancis dan sisanya WNI) pun tewas. Luka-luka teramat parah yang diderita para korban menunjukkan mereka tewas seketika saat tubrukan terjadi, seiring terjadinya perlambatan (deselerasi) mendadak yang jauh di atas ambang batas daya tahan tubuh manusia. Berbagi Tanggung Jawab Sekilas terasa 'kurang ajar' bila pilot disalahkan sebab ia menjadi salah satu korban tewas (sehingga takkan mampu membela diri). Dan bukankah pilot sangat berpengalaman dengan akumulasi 10.347 jam terbang dimana 1.348 jam 47 menit diantaranya dalam Sukhoi SuperJet-100? Bagaimana dengan peranan ATC Jakarta yang telah mengotorisasi penurunan ketinggian jelajah? Laporan KNKT tidak sepenuhnya membebankan tanggung jawab kepada pilot. PT Angkasa Pura II (yang membawahi ATC Jakarta), Bandara Halim Perdanakusuma dan Sukhoi Civil Aviation Company (SCAC) pun turut berbagi tanggung jawab meski dalam proporsi berbeda. Masalah yang menghinggapi Sukhoi SuperJet-100 Penerbangan RA 36801 hingga berujung tragedi Gunung Salak ternyata sudah terjadi bahkan sejak pesawat itu tiba di Indonesia. Guna melakukan demo terbang (joyflight) di Indonesia, SCAC menetapkan Bandara Halim Perdanakusuma sebagai basis dan memilih PT Indoasia Ground Utama sebagai kru darat untuk mempersiapkan semua kebutuhan pra- dan pasca-terbang. Mengingat padatnya lalu lintas udara di ruang udara Jakarta bagian utara, maka demo terbang bakal dilakukan di ruang udara Jakarta bagian selatan dan bakal berlangsung dua kali. Sempat muncul usulan rute demo terbang Jakarta-Pelabuhan Ratu, namun pada akhirnya disepakati demo terbang hanya berlangsung atas Depok-Bogor sejauh maksimum 25 mil nautika (45 km) dari bandara Halim Perdanakusuma dengan ketinggian jelajah maksimum 10.000 kaki (3.048 meter dpl). Dengan demikian demo terbang hanya akan berlangsung di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, yang adalah kawasan militer hingga ketinggian maksimum 6.000 kaki (1.828 meter dpl). Di atas batas ketinggian 6.000 kaki ini bukanlah kawasan militer sehingga diperbolehkan untuk lalu lintas udara sipil. Yang menjadi titik kesalahan kru darat, mereka tidak menyertakan peta topografi dan mem-briefing karakter ruang udara tujuan sehingga pilot dan kopilot menganggap (bahkan meyakini) ruang udara itu adalah datar (seperti ternyata dalam percakapan pilot dengan tamu undangan di kokpit pada pukul 14:30:44 s/d 14:30:48 WIB) tanpa menyadari bahwa persis di sisi selatan terdapat jajaran Gunung Halimun dan Gunung Salak. [caption id="attachment_230668" align="alignnone" width="580" caption="Gambar 3. Dua peta navigasi penerbangan untuk kawasan yang sama (yakni Jawa bagian barat) namun dengan tampilan sangat berbeda. Peta yang pertama (atas) hanya menyertakan lintasan dan ketinggian jelajah dan inilah peta yang ditemukan dalam reruntuhan Sukhoi SuperJet-100. Sementara peta kedua (bawah) memasukkan topografi gunung-gunung di selatan Jakarta-Bogor. Sayangnya peta ini tidak pernah diperlihatkan ke pilot dan kopilot Sukhoi SuperJet-100. Sumber : KNKT, 2012. "]
13560464021511352516
13560464021511352516
[/caption] ATC Jakarta pun turut menanggung beban, yang diawali dari kekeliruan pencatatan Sukhoi SuperJet-100 dalam database mereka menjadi Sukhoi-30, sehingga di tampilan di layar radar adalah Su-30 (akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30 adalah akronim untuk pesawat militer, sehingga petugas ATC Jakarta pun menganggap penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu sebagai penerbangan "militer" yang membuatnya diperkenankan untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki saat berada di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, padahal seharusnya tidak diperbolehkan. Kesalahan berikutnya, ruang udara Gunung Salak dan Gunung Halimun ternyata tidak dimasukkan pula dalam database radar sehingga tidak diketahui nilai ketinggian jelajah minimal untuk terbang di sini. Dan kesalahan berikutnya lagi, meski radar ATC Jakarta memiliki sistem alarm yang bakal memberitahukan petugas jika ada pesawat yang terbang terlalu rendah (dibawah ketinggian jelajah minimal), namun pada saat tragedi terjadi alarm itu ternyata dalam kondisi non-aktif. Masalah kurangnya sumberdaya manusia di ATC Jakarta juga menjadi bidikan KNKT mengingat saat penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu berlangsung, petugas ATC Jakarta yang mengawasinya juga harus menangani 14 penerbangan lainnya secara simultan dan sendirian sehingga terpaksa berperan sebagai petugas, asisten dan supervisor sekaligus. Beban kerja yang berat inilah yang menyebabkan menghilangnya Sukhoi SuperJet-100 dari layar radar baru disadari dalam 24 menit pasca kecelakaan. Sebaliknya otorisasi penurunan ketinggian jelajah ke 6.000 kaki ternyata tidak menjadi masalah mengingat hal itu memang diperbolehkan dengan catatan hanya sebatas di ruang udara Atang Sanjaya Training Area. Namun proporsi terbesar tanggung jawab tetap dibebankan ke pundak pilot, mengingat dengan ataupun tanpa pengetahuan memadai akan ruang udara yang diterbanginya, pilot seharusnya bisa mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menyelamatkan pesawat dan penumpangnya. Apalagi penerbangan kedua Sukhoi SuperJet-100 ini merupakan penerbangan berbasis instrumen sehingga peran pandangan visual menjadi sekunder. Dengan instrumen-instrumen pesawat sebagai tulang punggungnya, seharusnya pilot segera merespon apapun alarm yang dinyatakan oleh salah satu instrumennya, meskipun di kemudian hari misalnya diketahui bahwa itu hanyalah alarm palsu akibat instrumental error. Jika masalah sudah muncul sejak awal, mengapa penerbangan pertama dalam demo terbang Sukhoi SuperJet-100 itu berlangsung mulus sementara penerbangan kedua justru berakhir tragis? [caption id="attachment_230669" align="alignnone" width="642" caption="Gambar 4. Plot detik-detik terakhir penerbangan Sukhoi SuperJet-100 hingga menubruk Gunung Salak, disertai dengan sekuens percakapan dalam kokpit (warna biru laut), data radar (warna coklat muda) dan peringatan TAWS (warna merah). Sumber : KNKT, 2012. "]
1356046583145838176
1356046583145838176
[/caption] Analisis KNKT berdasarkan data radar ATC Jakarta dan perekam data pesawat memperlihatkan penerbangan pertama berlangsung mulus semata karena kebetulan. Dalam penerbangan pertama, Sukhoi SuperJet-100 lepas landas dari bandara Halim Perdanakusuma ke barat daya dan kemudian berbelok ke selatan melintas di atas Depok hingga Bogor. Di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, pesawat berputar setengah melingkar berlawanan arah dengan jarum jam sehingga mengarah ke utara. Setelah melintas di atas Citeureup dan Cileungsi, pesawat tiba di atas Bekasi untuk kemudian berputar penuh dan mendarat kembali di bandara Halim Perdanakusuma dari arah timur laut. Meski sama-sama melintasi ruang udara Atang Sanjaya Training Area, penerbangan pertama ini selamat karena tidak melampaui batas 25 mil nautika (45 km) dari bandara. Berbeda dengan penerbangan kedua yang lepas landas ke timur laut untuk kemudian berputar setengah melingkar ke barat dan berbelok hingga melintas di atas Depok dan Bogor. Selepas putaran melingkar penuh di Atang Sanjaya Training Area, pilot berkehendak berputar setengah melingkar lagi guna memudahkannya mendaratkan pesawat. Namun upaya ini dilakukan dengan keluar dari ruang udara Atang Sanjaya Training Area sekaligus melampaui batas 25 mil nautika dari bandara. Andaikata dalam penerbangan pertama juga terjadi aksi serupa, dapat dipastikan Sukhoi SuperJet-100 akan menghantam Gunung Salak atau Gunung Halimun juga. Dapatkah Dihindari? Dengan penyebab utama adalah faktor manusia, dapatkan tragedi jatuhnya Sukhoi SuperJet-100 di Gunung Salak dicegah? Laporan KNKT dengan tegas menyatakan: bisa. Jika saja kru darat melakukan briefing akan karakter ruang udara Jakarta bagian selatan, maka pilot dan kopilot akan memperoleh pengetahuan karakteristik setempat sehingga bakal mewaspadai dan menyiasati ruang udara Gunung Halimun dan Gunung Salak untuk kepentingan demo terbang. Apalagi jika briefing tersebut juga menyertakan peta topografi setempat sebagai bagian tak terpisahkan dari peta alur lalu lintas udara. Andaikata kru darat tidak melaksanakan hal-hal tersebut, masih terdapat faktor pencegah berikutnya. Jika saja radar ATC Jakarta tidak keliru mencatat Sukhoi SuperJet-100 sebagai Sukhoi-30, maka pesawat ini tetap bakal ditampilkan (di layar radar) sebagai pesawat sipil (bukan militer) sehingga hanya boleh terbang di antara batas ketinggian 6.000 hingga 10.000 kaki di ruang udara Atang Sanjaya Training Area dan sekitarnya. Selanjutnya jika saja radar ATC Jakarta menyertakan kawasan Gunung Halimun dan gunung Salak dalam sistemnya, maka pelanggaran batas 20 mil nautika dari bandara akan segera terdeteksi. Apalagi jika alarm radar bekerja aktif, maka petugas radar akan segera menyadarinya dan segera mengambil prioritas pada penerbangan tersebut. [caption id="attachment_230670" align="alignnone" width="480" caption="Gambar 5. Ilustrasi bagaimana TAWS bekerja dalam mendeteksi penghalang/tonjolan di depan lintasan pesawat. Jika waktu memungkinkan, maka TAWS akan memerintahkan pilot untuk mendaki (bawah) namun jika tidak memungkinkan, pilot hanya memiliki kesempatan untuk berbelok ke kiri/kanan (atas). Sumber : KNKT, 2012. "]
1356046792757289673
1356046792757289673
[/caption] Dan andaikata ATC Jakarta tidak melaksanakan hal-hal tersebut, faktor pencegah terakhir berada di tangan pilot. Jika saja pilot segera merespon alarm peringatan dari instrumen TAWS, maka tubrukan dapat dihindari. Simulasi terbang dengan simulator Sukhoi SuperJet-100 di fasilitas SCAC memperlihatkan, andaisaja pilot segera bertindak dengan menarik tongkat kemudianya sehingga pesawat mendaki ke ketinggian lebih tinggiatau berbelok ke kiri dalam rentang waktu 24 detik pasca alarm TAWS berdering, kecelakaan dapat dihindari. Namun pilot rupanya enggan berbelok ke kiri. Sumber : KNKT. 2012. Aircraft Accident Investigation Report: Sukhoi Civil Aircraft Company, Sukhoi RRJ-95B, 97004, Mount Salak, West Java Republic of Indonesia, 9 May 2012. Final Report, no. 12.05.09.04

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun