Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (15): Aku Memilih, Bebasnya Pembelajaran

18 September 2021   04:05 Diperbarui: 18 September 2021   04:19 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Kedua, secara individu pun anak-anak mulai merasakan kedamaian tersendiri tatkala mereka dapat melakukan apa yang menjadi kesukaan dan mungkin cita-citanya. Inilah yang kadang menjadi keprihatinan pendidikan kita bahwa anak-anak dituntut mempelajari begitu banyak materi yang tampak dalam begitu banyak mata pelajaran. 

Minat anak tidak tercover dan bahkan tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya karena waktu dan energi mereka habis untuk mempelajari banyak hal yang tidak mendalam. Kurikulum kita telah membuat anak tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Yang ada adalah anak dipilihkan oleh kurikulum. Mengerikan.

Ketiga, anak-anak akan semakin menemukan karakternya tatkala mereka bisa memilih. Dua topik dari 25 topik yang ada dalam satu semester telah memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang dan membangun karakter dirinya. Mereka mulai mengenal spesifikasi dirinya dan bahkan mulai menemukan orientasi hidupnya. Kadang kita jumpai banyak anak sudah di tingkat akhir tetapi tidak tahu harus meneruskan kuliah ke mana karena mereka tidak tahu apa kemampuan dan minat yang ada dalam dirinya.

Tatkala anak-anak sudah dibiasakan sejak awal untuk mengerjakan aktivitas sesuai minatnya maka dengan mudah akan membantu diri mereka sendiri akan orientasi kuliahnya. Anak-anak yang setiap semesternya selalu mengambil topik-topik tentang teknologi maka dia mulai jelas orientasinya kelak akan kuliah di bidang teknologi seperti informatika.

Keempat, anak-anak pada saatnya akan bisa saling bertukar informasi dengan teman-teman yang berbeda topik. Seorang anak yang "pakar" sejarah mulai menjelaskan tentang perjuangan dan nilai-nilai historis kepada seorang anak yang  "pakar" teknologi. Anak yang "pakar" sastra juga mulai mengurai nilai-nilai estetika sastra pada seorang anak yang  "pakar" biologi, dan seterusnya masih banyak "pakar-pakar" yang lain.

Sebuah proses tukar pengalaman dan saling melengkapi satu sama lain menjadi sebuah pembelajaran kolaboratif tersendiri bagi anak-anak. Bisa saja nantinya akan melahirkan seorang pakar yang menggabungkan kehebatan teknologi dengan sejarah atau pakar sastra biologi. Tentunya tidak ada yang salah jika kolaborasi itu tejadi bahkan ini adalah sebuah terobosan baru bagi ilmu pengetahuan.

Pilihan Bertanggung Jawab

Anak-anak pun mulai bertanggung jawab atas pilihannya bukan karena paksaan tetapi karena pilihan itu sesuai minatnya. Proses pembelajaran pun menjadi sebuah langkah-langkah yang bertanggung jawab dari anak-anak. Berawal dari memilih topik, anak-anak mulai belajar bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Mereka mencoba mengenal diri mereka dan berusaha menghidupi hidup mereka dengan topik-topik yang bisa digali ke depan.

Ketika anak-anak menuliskan alasan dia memilih topik tertentu di jurnal pribadi bulanan mereka merupakan sebuah penggalian akan potensi diri. Perlahan-lahan anak-anak mulai mengenal siapakah dirinya. Selanjutnya, pilihan bertanggung jawab itu pun mulai dihayati oleh anak-anak tatkala mereka mulai mengali berbagai sumber dan mereka bisa menuliskan di jurnal mereka "apa yang mereka dapat" dan "apa yang mereka pahami dari semua itu". Ini adalah sebuah proses menginternalisasikan segala input yang ada menjadi sebuah potensi berharga bagi anak-anak untuk mengembangkan spesifikasinya.

Akhirnya, sebuah permenungan atas semua itu menjadi sebuah proses kristalisasi bagi anak-anak dengan mengurai tentang "apa manfaat semuanya itu bagi hidup mereka". Ini adalah sebuah pembelajaran akan hidup itu sendiri bukan sekedar mengerjakan tugas yang diberikan. Anak-anak mulai dibawa pada sebuah kesadaran bahwa tugas itu bukan untuk memenuhi kewajiban belajar tetapi justru untuk diri mereka sendiri dan hidup mereka.

Tentunya, pada saatnya mereka harus memberi dan membagikan semuanya itu kepada orang lain tanpa harus mempertimbangkan "apa yang akan mereka dapat". Memberi dan terus memberi untuk orang lain adalah sebuah keluhuran budi manusia yang tidak mempertimbangkan imbalan sebagai balasannya. Inilah sebuah pembelajaran proses untuk membangun karakter anak-anak dalam sebuah pilihan. Ibu pertiwi akan kembali tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun