Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (12): Menulis di Media, Antusiasnya Pembelajaran

11 September 2021   04:05 Diperbarui: 11 September 2021   04:08 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembelajaran yang berorientasi pada nilai (skor) belaka maka akan melahirkan kecurangan dan kecerdasan semu. Saatnya sekolah mengupayakan pembelajaran yang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan yang justru tidak bisa di-skor.

Tepatnya hari minggu di penghujung bulan Juli, sang guru begitu asyik menikmati hari libur dengan bersantai di rumah. Sembari mendengarkan musik slow, sang guru membuka-buka kembali tumpukan buku dan berkas yang begitu lama menumpuk di pojok gudang. Tiba-tiba sang guru dikejutkan dengan sebuah tulisan di sebuah media lokal tertulis tahun 1995 yang terselip di salah satu berkas. Sang guru merasa tidak asing dengan tulisan itu. Perlahan-lahan sang guru duduk di lantai dan matanya terus memandangi tulisan di kertas koran yang sudah lumayan kusut itu.

Seketika itu juga pikiran sang guru berjalan mundur dengan begitu cepat ke masa beberapa tahun yang silam. Waktu itu sang guru sedang duduk di dekat tembok kelas sembari memandangi antusiasme sang guru senior sedang berapi-api menunjukkan tulisannya yang hari itu terbit di media lokal yang ada di kepulauan Andalas (Sumatera) itu. Sang guru senior tampak gembira dan senang sekali dari raut mukanya yang berseri-seri dan tutur katanya yang mantap.

Sang guru (yunior) hanya bisa memandang dan mendengarkan sang guru senior itu. Tak terasa di dalam hati sang guru yunior mengalir semangat untuk bisa menulis seperti sang guru senior. Imaginasi sang guru yunior pun mulai menerawang jauh berandai-andai nama dan tulisannya ada di media. Imaginasi itu terus berkembang menjadi sebuah kebahagian yang tiada tara tatkala teman, guru-guru, keluarga, dan masyarakat membaca nama dan tulisannya. Sang guru yunior terasa diselimuti kebahagiaan dan kebanggaan yang tiada tara. Namun tiba-tiba sang guru yunior tersentak kaget tatkala sang guru senior melontarkan pernyataan tegas yang membuat sang guru yunior terbangun dari imaginasinya, "Tidak ada yang mustahil. Kalian juga bisa menulis di media massa. Berjuanglah!"

Menulis adalah Perjuangan

Mulai hari itu semangat sang guru mulai berkobar untuk menulis di media. Hari berganti hari dan tulisan demi tulisan dikirim ke redaksi namun tak satu juga yang dimuat. Sudah belasan tulisan diketik menggunakan mesin ketik manual waktu itu. Belasan kali juga tulisan itu ditolak. Serasa sang guru sudah putus asa dan menganggap impiannya waktu di kelas itu hanya bunga-bunga antusiasme saja.

Serasa ingin melakukan perjuangan terakhirnya, sang guru mencoba menulis lagi dan setelah itu akan mengucapkan goodbye menulis jika tulisannya tidak dimuat lagi. Malam semakin larut dan sang guru yang masih menjadi siswa itu berusaha tegar dengan perasaannya dan mencoba melawan bayang-bayang kegagalan yang sudah siap di depan mata. Akhirnya, tulisan itu jadi dan pagi itu juga dikirim lewat kotak pos sekolah.

Hari demi hari setelah itu terasa mengalir begitu saja seolah-olah sang guru yang masih yunior itu tak mempedulikan lagi nasib tulisannya itu. Keyakinan sudah begitu kuat di dalam hatinya bahwa dia pasti gagal dan tulisan itu pasti ditolak. Sang guru melakukan itu hanya sebagai tulisan penutup usahanya yang ingin seperti sang guru senior yang handal menulis di media. Serasa episode "film" sang guru yunior akan berakhir dengan tak perlu bermimpi lagi menjadi penulis.

Pagi itu semuanya berjalan seperti biasa dan jam pertama adalah mata pelajaran yang diampu sang guru senior. Sang guru yunior pun seperti biasa duduk di dekat tembok dan tampak sudah siap mengikuti pelajaran hari ini. Pelajaran pun dimulai dan tiba-tiba sang guru senior memanggil nama sang guru yunior dengan begitu tegas. Sang guru yunior pun terperanjat dari tempat duduknya, jantung berdegup kencang, dan pikirannya berusaha mencari kesalahan apa yang sudah dia lakukan. Kelas pun tampak diam membisu serasa terkejut dengan panggilan itu.

Sang guru senior pun lekas mendekati sang guru yunior dan berseru, "Tahukah kamu, apa yang sudah kamu lakukan?" Sang guru yunior pun tampak begitu takut sekaligus bingung karena dia tidak tahu apa yang dimaksud dengan sang guru senior. Padahal hari itu tidak ada tugas atau pekerjaan rumah sehingga kemungkinan berbuat salah sangat kecil sekali. Di saat sang guru yunior dan kelas panik, tiba-tiba sang guru senior tersenyum dan berkata, "Kamu telah melakukan pekerjaan hebat. Tulisanmu dimuat di koran hari ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun