Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (2): Membaca Buku, Kritisnya Pembelajaran

31 Agustus 2021   04:05 Diperbarui: 31 Agustus 2021   05:42 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku: #The_Educatorship, 2016

Banyak orang ingin dihargai oleh orang lain, tetapi tidak bisa menghargai orang lain. Saatnya sekolah membiasakan anak-anak untuk mengapresiasi apapun dengan baik dan tepat lewat proses yang reflektif.

Suatu ketika sang guru sedang berjalan-jalan di lingkungan sekolah dan akhirnya langkah itu terhenti di sebuah ruangan yang banyak orang menyebutnya sebagai gudang ilmu. Begitulah banyak orang memberi lebel untuk perpustakaan. Kalau sang guru menjadi perpustakaan tentunya akan sangat senang sekali karena berbagai ilmu kumpul di satu tempat. Di situlah banyak hal bisa dipelajari dan dikembangkan untuk pengembangan diri dan juga orang lain. Celakanya, lebel gudang ilmu itu hanya tinggal lebel belaka yang tampaknya elegan. Banyak perpustakaan di sekolah-sekolah hanya menjadi sebuah gudang buku-buku tua yang berdebu dan manusia tidak peduli dengan keadaan itu. Sangat ironis memang tatkala pengetahuan terus berkembang namun perpustakaan justru banyak yang sepi "pelanggan".

Begitupula dengan perpustakaan di sekolah sang guru, tampak sepi dan sedikitnya gairah siswa dan guru untuk bergelut dengan kata demi kata yang ada dalam begitu banyak buku di ruangan itu. Mata sang guru masih terus menatap rak demi rak di ruangan itu. Ada begitu banyak buku, baik edisi lama maupun yang terbaru, namun mereka hanya menjadi penunggu setia rak buku di perpustakaan itu. Tiba-tiba seorang wanita menyapa sang guru. Dia adalah penjaga dan pengelola perpustakaan itu. "Sepi pak guru, jarang anak-anak mau datang ke sini. Dalam satu hari sangat sedikit pengunjung perpustakaan, baik guru maupun siswa", begitulah wanita itu berusaha memecahkan kesepian waktu itu. Sang guru pun hanya tersenyum kecil dan sambil berjalan keluar berkata, "Tidak untuk hari ke depan."

Cita-cita Menjadi Penulis

Suatu ketika sang guru sedang melangkah menuju ke sebuah kelas di bagian pojok lorong. Sesampainya di kelas itu, sang guru menulis di papan tulis, "Siapa yang bercita-cita bisa menulis buku?" Tampak anak-anak begitu antusias ingin menjawab pertanyaan sang guru. Tiba saatnya sang guru memberi kesempatan anak-anak itu untuk menyampaikan cita-citanya. Vina, siswi yang duduk dekat pintu, dengan antusias mengatakan bahwa dia ingin menulis novel dan laku keras di pasaran sehingga dia bisa menjadi novelis yang handal. Clara pun tidak mau kalah, dia ingin menjadi seorang penulis autobiografi yang popular. Patrick yang duduk paling depan pun sangat berambisi ingin menjadi penulis buku tentang politik.

Tampak anak-anak di kelas itu berlomba-lomba ingin menjadi penulis sesuai dengan cita-cita dan harapannya. Sang guru pun tersenyum bangga dengan semangat anak-anaknya itu. Bahkan tampak sang guru pun terkesan dengan seorang anak bernama Arine. Dia mengatakan bahwa dia ingin menjadi dokter tetapi dia ingin juga sekaligus bisa menulis buku tentang sastra. Menurut dia, dokter yang mencintai sastra adalah sebuah kombinasi yang hebat karena dokter itu akan bekerja bukan hanya sekedar mengobati pasien belaka tetapi menghibur pasien dan menyadarkannya akan seninya hidup ini.

Sang guru tersadar bahwa anak itu terinspirasi sebuah film yang beberapa hari sebelumnya ditonton bersama di kelas yang berjudul Patch Adams. Film ini dibintangi oleh Robin Williams yang begitu kocak perannya sebagai dokter. Patch Adams mencoba membawa nuansa baru dalam dunia kedokteran lewat berbagai terobosannya untuk mengobati pasiennya. Bagi Adams, yang terpenting dalam dunia kedokteran adalah pendekatan personal dan pendampingan jiwa lewat keceriaan. Dan, banyak pasien sembuh berkat penghiburan Patch Adams.

Kesadaran Diri untuk Buku

 Tatkala semua anak sudah menyampaikan cita-citanya menjadi penulis, sang guru pun bertanya lagi kepada mereka, "Lalu, siapakah yang akan membaca buku-buku kalian?" Anak-anak pun segera menyampaikan mangsa pasar buku-buku mereka. Sang guru pun mencoba menekankan atas apa yang disampaikan anak-anak itu bahwa mereka berharap nantinya akan banyak orang membaca buku mereka kelak.

Sebuah kesadaran coba dibangun oleh sang guru. Berangkat dari sudut pandang anak-anak sebagai penulis yang mengharapkan banyak orang membaca buku mereka, maka sang guru pun mencoba mengatakan yang sebaliknya bahwa banyak penulis yang sudah ada juga berharap banyak orang membaca buku-buku mereka yang sudah terbit. Sebuah pertanyaan pun dilontarkan kepada anak-anak, "Berapa banyak dan seringkah kalian membaca buku dari penulis-penulis yang ada? Sudahkah kalian juga memenuhi harapan penulis-penulis itu seperti kalian juga nantinya berharap demikian kepada banyak orang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun