Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BAPER #11 Syukurilah Apa yang Bisa Didapat

5 Mei 2021   18:08 Diperbarui: 5 Mei 2021   18:17 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#Kebanyakan orang Indonesia dari kecil DIBEDONG kemudian besar sedikit lanjut DIGENDONG. Dari kecil kita terbiasa dilindungi secara berlebihan oleh orangtua. Pemahaman itu menyerap ke alam bawah sadar kita hingga dewasa. Bahkan menjemput kekasih untuk menikah atau mendaftar di perguruan tinggi saja, kita masih harus ditemani.

Masih ingat ketika masih sekolah zaman dulu, ketika guru memarahiku karena aku nakal atau tidak mengerjakan PR, aku tidak mencari perlindungan dari bapak atau ibuku. Bukannya orang tuaku akan datang ke sekolah dan protes ke guru yang memarahiku, tapi yang terjadi adalah aku dimarah habis oleh orang tuaku karena segala ulahku. 

Guru-guruku selalu mendapat pembelaan dari orang tuaku. Mungkin orang tuaku percaya bahwa apa yang dilakukan para guru demi kebaikan dan perkembanganku. Kalau sampai guru marah, berarti aku melakukan kesalahan.

Beda dengan zaman sekarang, banyak kejadian orang tua protes ke sekolah dengan berbagai alasan. Ketika aku pernah menjadi guru di tingkat sekolah menengah atas (SMA), masih merasakan aneka protes orang tua murid, seperti: nilai anaknya yang tidak sempurna karena inginnya A atau 100, tidak terima anaknya ditegur di kelas karena bersikap tidak sopan, anaknya terpilih ikut lomba yang justru mengganggu jam lesnya sehingga inginnya anaknya dicoret dari tim lomba, anaknya ikut kepanitiaan sehingga khawatir nilainya jelek, dan masih banyak sekali protes yang seolah-olah anak tidak punya kemandirian dalam hidup dan harus dilindungi orang tua setiap waktu.

#Kisah Rhenald Kasali: Di negara maju hampir sulit kita menemukan anak-anak yang dibedong, tidak ada orangtua yang berlebihan dalam melindungi. Sewaktu di Amerika, anak saya masih bayi, kami pasangi ia bedong. Kami diadukan tetangga pada kepolisian karena dianggap melanggar pasal perlindungan anak. Saya butuh berjam-jam untuk menjelaskan apa itu bedong. Mereka kaget bahwa semua anak Indonesia sejak kecil "dikurungi" seperti itu.

Tahun 2014 aku mencoba menanyakan kepastian kekasih hatiku pada orang tuanya, apakah boleh aku melamar putrinya untuk kelak aku nikahi. Aku mencoba datang sendirian sore-sore untuk bertemu dengan papanya, tentunya buat janjian lewat sang pacar. Tanpa ditemani siapa-siapa aku datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Semua berjalan dengan lancar dan pada akhirnya aku bisa mengajak kedua orang tuaku untuk melamarnya secara resmi dan setahun kemudian bisa menikah.

Ketika beberapa tahun menikah, kami dikaruniai seorang putra. Syukurlah kami tidak diprotes tetangga seperti pengalaman Rhenald Kasali, karena anak kami dibedong seperti bayi pada umumnya di Indonesia. Tapi, bedong anak kami hanya bertahan 2 minggu, setelahnya bedong selalu lepas seakan-akan si anak tidak mau dibedong, ingin lepas bebas. Ya sudahlah, kami merelakan anak kami tidak dibedong walau kekhawatiran terkadang membuat kami tidak tenang karena banyak cerita kalau anak tidak dibedong akan berakibat buruk pada fisik si anak. Berkat penjelasan bu dokter, kami menjadi tenang dan mantap anak kami tidak dibedong.

Ketika anak kami terus bertumbuh besar hingga sekarang 3 tahun 5 bulan, sebagai orang tua kami mencoba memberi banyak kebebasan yang bertanggung jawab. 

Anak kami boleh membongkar permainannya dan terkadang ruang tamu sudah seperti lautan mainan, seperti block, lego, robot, mobil, alat angkut, rel kereta, kereta, boneka, pasir mainan, kotak-kotak, terompet, pernak-pernik masak, galon kosong, panci bekas, buku, pensil warna, alat musik mainan, dan masih banyak lagi. 

Kami membiarkan dia berkreasi, berimajinasi, bereksplorasi, dan berekspresi lewat media-media itu. Tanggung jawabnya sederhana adalah setelah bermain, terlebih menjelang tidur malam, semua mainan harus sudah dibereskan dan dirapikan seperti sediakala. Syukurlah, sampai hari ini dia disiplin dengan komitmennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun