Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (63): Perspektif Pikiran

2 April 2021   04:04 Diperbarui: 2 April 2021   04:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. depositphotos.com

Pikiran mampu menembus batas ruang dan waktu sesuka hati kapanpun dan dimanapun juga. Duka dan suka dalam hidup sangat tergantung pada pikiran merespon segala gejala kehidupan yang ada, ini sebuah pilihan dalam berpikir. Pikiran juga menjadi "kaca mata" dalam memandang dunia ini.

Pada suatu malam, ada seseorang yang menikmati malam dengan secangkir kopi sambil menikmati langit yang penuh bintang. Evan namanya, menikmati pemandangan malam melalui jendela kamarnya yang berada di samping tempat tidurnya sambil tiduran. Tak lama kemudian sambil melihat bintang, ia tertidur dan lupa menyalakan alarm sebelum tidur. Di pagi harinya, Evan bangun kesiangan dan tidak sempat untuk mandi. Evan berangkat menaiki sepedanya dengan roti di mulutnya. Setelah lelah mengayuh sepeda dengan tergesa gesa, ternyata Evan masih terlambat. Ditambah lagi ada banyak bukunya yang tertinggal. Di sini pemikiran bahwa hidupnya itu 'sial' dimulai.

Tetapi saat pulang sekolah Evan tak langsung pulang ke rumah, melainkan ia menenangkan hatinya dengan menaiki sepeda menuju pedesaan yang sejuk. Ia di sana berhenti pada padang ilalang yang berada di sebelah sungai untuk menenangkan hati. Di situ ia melihat menara tak terpakai peninggalan masa lalu setelah terjadi revolusi industri. Ia menikmati silirnya angin sambil rebahan pada rumput ilalang yang sangatlah lebat. Tanpa sadar, Evan tertidur di atas rumput ilalang sampai sore.

Evan bangun dengan daun yang berada di atas wajahnya, ia terbangun dengan tergesa-gesa. Ia baru sadar bahwa ayahnya titip koran padanya. Dengan cekatan Evan mengambil sepeda dan bergegas untuk membelikan koran untuk ayahnya. Dengan tidak sengaja Evan melindas seekor tikus yang sedang lewat dengan roda yang berputar sangat cepat, sehingga ada bercak darah di jalan raya. Karena tergesa-gesa Evan tak menghiraukan hal tersebut karena ia sudah terlambat pulang. Setelah ia membelikan koran, Evan bergegas pulang, sesampainya di rumah ia dimarahi oleh orang tuanya yang khawatir. Dan tanpa sengaja ia menjatuhkan tinta dan membuat lantai di rumahnya berantakan, ini membuat dirinya dimarahi lagi. Ia merasa hidupnya sial kembali, tetapi Evan akan bertekad untuk menutup pemikirannya tentang kesialannya tanpa koma.

Keesokan harinya ia menyambut pagi dengan berangkat ke sekolah, kali ini ia tidak terlambat datang ke sekolah. Ia tidak bangun kesiangan maka Evan telah menyiapkan semuanya, dari botol berwarna merah dan semua bukunya. Pelajaran pertamanya disambut oleh pelajaran matematika yang tidak terlalu dimengerti oleh Evan. Halaman demi halaman telah dihabiskan oleh Evan agar ia bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Pulang sekolah pun tiba, murid-murid bergegas membereskan alat tulis dan buku mereka. Setelah keluar dari kelas Evan melihat rantai sepedanya ternyata putus, ia mulai berpikir bahwa hidupnya 'sial', tetapi Evan telah bertekad untuk menutup pemikirannya tentang hidupnya yang 'sial' dengan titik.

Sesampainya di rumah Evan langsung mengambil segelas air putih dan segera meminumnya karena Evan telah menuntun sepedanya dari sekolah hingga rumah. Dengan segera ia juga duduk di atas sofa karena kelelahan menuntun sepedanya. Tanpa tersadar Evan tertidur di atas sofa dengan pulas, sampai-sampai ibunya yang melihatnya tak tega untuk membangunkannya. Tak sengaja terdapat sobekan dari buku diary Evan yang jatuh dari tasnya, tanpa sengaja juga ibunya membacanya. Di sini ibunya telah mengetahui tentang permasalahan anaknya dan akan segera membicarakannya setelah Evan bangun. Setelah Evan bangun ia disambut oleh ibunya yang sedang duduk di sofa sebelahnya sambil meminum teh. Dengan segera ibunya membicarakan masalah itu dan menasihati Evan, "Tak ada manusia yang sial, hanya saja itu kecerobohan yang dilakukan tanpa sengaja." Ibu Evan juga mengatakan anak panah yang meleset saat atlet menembakannya bukanlah sebuah kesialan, melainkan atlet itu bisa saja melakukan kesalahan atau dia kurang berlatih. Evan mencoba berpikir kembali kalau apa yang dikatakan ibunya merupakan kebenaran, dan kata 'sial' hanya kata yang diciptakan oleh peradaban kuno untuk menutupi kesalahan atau kecerobohan yang manusia buat. Benarkah?

*WHy-uGia

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun