Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (61): Perjalanan Menuju Ketidakpastian

30 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:15 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.theberlage.nl

Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini tidak pasti karena tak ada orang yang tahu apa yang akan terjadi dengan hidunya hari ini dan nanti. Inilah hukum ketidakpastian semesta. Sesungguhnya, ada kepastian dalam ketidakpastian itu, yakni manusia harus menata hidupnya setiap waktu.

Hembusan  angin malam yang dingin membangunkanku terperanjat di tengah padang rumput yang sepi. Ini sering terjadi ketika aku berada di bawah langit malam. Aku melihat ke atas dan semakin resah diriku melihat ribuan bintang di atas sana, semakin sepi rasanya hidup ini. Mataku memandang lapangan terbuka di sebelahku dan aku melihat tiga anak kecil yang tertawa sangat bahagia bermain dengan sepeda mereka. Wajah mereka penuh kehidupan dan mata mereka berbintang-bintang penuh dengan rasa ingin tahu. Ingin aku kembali ke saat itu, sebelum semua ini terjadi.

24 Desember 1930, sehari sebelum hari natal. Kami bermain dan berlarian di dalam rumah dengan senang, tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. Tiba tiba sekerumunan orang yang membawa obor menyerbu desa kami. Masih kuingat menara mercusuar tempat kami biasa bermain terbakar, runtuh dan membakar ladang ilalang di sekitarnya. Mendadak aku tersadar kembali dalam kenyataan. Hatiku sakit mengingat revolusi yang menghancurkan masa kecilku. Tanpa kusadari mataku mulai basah. Bendungan kuat yang menahan sungai deras pun akhirnya runtuh.

Bergegas aku membereskan barang-barangku dan beranjak dari tempat ini. Aku menaiki sepedaku dan mengayuhnya menuju ke jalan raya. Aku memberhentikan sepedaku di pinggir jalan raya yang sepi. Emosiku mulai bergejolak mengingat masa laluku. 

Kembali aku memandangi langit dengan bintang-bintang bertaburan. Bagi sebagian orang mungkin mereka hanya melihatnya sebagai sesuatu yang biasa saja atau sebagian lain mungkin bisa mengidentifikasi rasi bintang tersebut. Tetapi bagiku bintang-bintang di atas menggambarkan sebuah koma, menyatakan adanya jeda,  "Seperti halnya hidupku." Pikirku dalam hati. 

Tiba-tiba aku melihat cahaya putih yang sangat terang dari samping pandanganku. Kesadaranku mulai tergoyahkan, aku melihat sesuatu menyerupai tinta yang pekat dan gelap memerciki dedaunan di sekitarku. Aku melihat ke sebelah kiriku, tasku terjatuh dan menumpahkan isi-isinya. Di atas koran, aku melihat, percikan-percikan berada di atasnya. Darah.

Aku tidak merasakan apapun, bahkan tidak ada setitik rasa sakit yang kurasakan. Namun dunia sekitar menjadi tidak berwarna. Aku melihat ke bawah dan aku melihat tubuhku tergeletak dikelilingi oleh halaman-halaman buku harian yang berceceran di tanah. Aku mencoba berjalan ke arah diriku, tetapi tiba-tiba aku tersentak ke belakang. Puluhan rantai mencegahku untuk maju. 

Semakin keras aku mencoba untuk melepaskan diri, semakin erat rantai itu mengikatku. Perlahan rantai-rantai itu membentuk sebuah lingkaran dengan salah satu ujungnya terbuka seperti mulut botol. Dari dalam lubang itu keluarlah sesosok bayangan yang berjalan mendekat.

Bayangan tersebut membentuk sebuah figur yang menerjangku. Mendadak semuanya menjadi gelap. Dunia seakan berputar-putar. Tiba-tiba semuanya berhenti. Aku membuka mataku perlahan dan mendapati diriku berada di dalam sebuah rumah kuno peradaban abad ke-13. Terdapat sebuah meja di depanku dan kursi-kursi kuno yang tergeletak di lantai. Pecahan-pecahan gelas berserakan di lantai. Semua ini menandakan adanya kehidupan di rumah ini, namun kehidupan itu hilang secara tiba-tiba. Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di rumah ini. 

Di dinding persis di depan jendela utama, tertancap panah. Terdapat kertas yang digantungkan pada panah tersebut. Kertas itu berayun-ayun, walaupun aku tidak bisa merasakan hembusan angin di dalam rumah ini. Perlahan aku berjalan mendekati panah tersebut, semakin aku mendekat aku melihat adanya cahaya redup yang terpancar dari panah itu. Tiba-tiba, "Siapa kamu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun