Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (30): Hidup dengan Penggalan Koma

22 Februari 2021   05:05 Diperbarui: 22 Februari 2021   05:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. paintingvalley.com

Tak ada seorang pun yang tahu tentang skenario hidupnya karena ini bukan tentang bermain pentas drama di panggung glamor. Bahkan alur kehidupan masing-masing orang sulit dimengerti oleh dalil-dalil sastra tentang cerita yang baik. Namun, tokoh kehidupan harus tetap jalan dan berjuang.

Namaku Juno Anggara, semua orang memanggilku dengan panggilan "Juang". Nama itu sudah kudapat dari SD. Alasan teman-temanku memberi nama itu karena aku adalah seorang yang penuh tekad dalam menggapai mimpi setinggi bintang di langit. Semua orang juga mengenalku sebagai kutu buku yang tidak pernah bosan sekolah. Biasanya aku ke sekolah dengan jalan kaki, tetapi dalam setahun terakhir aku ke sekolah dengan naik sepeda. Sepeda itu kudapat dari hasil tabunganku menjual koran setiap harinya selama tiga tahun terakhir. Aku mempunyai hidup yang sangat sulit, ibuku penderita diabetes tingkat tiga dan matanya sudah buta setahun yang lalu karena penyakitnya semakin memburuk. Adikku masih berada di kelas 4 SD, sedangkan ayahku pergi entah ke mana meninggalkan kami semua.

Aku tinggal di sebuah desa yang penuh dengan kehijauan. Padang ilalang juga menghampar di sekitar rumahku. Sebelah barat rumahku terdapat sungai yang menjadi sumber air kehidupan keluargaku. Desa ini terletak sangat jauh dari kota-kota yang memiliki menara tinggi. Di sini juga belum mengalami revolusi industri seperti kota-kota lain. Tetapi aku tetap bersyukur, karena di sinilah yang membuatku merasa nyaman dan tenteram. Di sini pula aku bisa melihat anggota keluargaku satu persatu.

Aku sudah berhenti sekolah semenjak dua tahun yang lalu setelah lulus SMP. Alasanku berhenti sekolah adalah untuk menggantikan tulang punggung keluargaku yang seharusnya ditanggung oleh ibuku. Semenjak ibuku mengalami kebutaan, hal itu membuatnya tidak bisa mencari nafkah lagi. Maka mau tidak mau aku yang harus mencari sumber uang itu. Lembar demi lembar uang harus kudapatkan untuk membayar biaya pendidikan adikku, biaya tranfusi darah ibuku yang harus dilakukan setiap 3 bulan sekali, dan mendapatkan sesuap nasi agar keluargaku tetap bertahan hidup. Karena itu semua, aku harus berhenti sekolah dan fokus mencari nafkah demi kelanjutan hidup keluargaku. Semua pekerjaan aku jalani demi uang receh yang dibutuhkan keluargaku. Menjual koran di jalan raya, menjual daun pisang di pasar, bahkan menyemir sepatu demi sepatu menjadi pekerjaan rutinku. Kehujanan dan kepanasan sudah menjadi makananku setiap harinya. Saat hujan, tinta koran pun luntur di bajuku dan saat panas kulitku terbakar kepanasan karena sengatan sang matahari. Dua hal itu sudah menjadi garis takdir hidupku. Kisah perjuanganku takkan pernah berakhir dengan titik, melainkan akan terus berlanjut dengan penggalan koma di setiap kalimatnya.

Rantai perjuanganku sungguh melelahkan, tetapi aku harus terus berjuang. Tak boleh ada kata menyerah di hidupku. Aku harus tetap berjuang sampai titik darah penghabisan demi adik dan ibuku. Hari-hariku hanya diisi dengan mencari uang dan mengurusi kondisi adik dan ibuku. Hari ini adalah jadwalku membeli obat-obatan yang biasa dikonsumsi ibuku setiap harinya. Ciri obat harian ibuku yaitu berbentuk lingkaran dan berwarna putih serta dikemas di dalam botol kecil. Apotek yang menjual obat ibuku sangat jauh dari rumahku.  Oleh karena itu, aku harus naik sepeda untuk pergi ke sana. Setelah mendapatkan obat, aku pulang dan langsung memarkirkan sepeda di halaman rumahku. Setelah itu, aku segera memberikannya pada ibuku yang masih terbaring lemah di atas kasur, muka pucat, dan terlihat sekali ia menahan rasa sakitnya.

Melihat kondisi ibu yang terus menerus seperti itu membuatku sedih melihat peradaban dunia ini. Mengapa tak satupun manusia yang mau membantu mencucurkan dana atas penderitaan kami selama ini? Mengapa pemerintah tidak menetapkan kebijakan mengenai sekolah gratis, pengobatan gratis, dan fasilitas gratis lainnya yang bisa membantu memikul derita keluarga kami? Aku hanya duduk termenung meratapi nasib dan derita kami di atas kursi rongsokan di depan kamar ibuku. Tak ada yang bisa kulakukan pada pejabat-pejabat pemerintah itu. Tak ada yang menghiburku saat ini, yang menemani kesedihanku saat ini hanyalah tumpukan rongsokan gelas kertas bermerek "Anak Panah Kopi" yang aku kumpulkan untuk mendapatkan sepeser uang koin nantinya.

*WHy-sHeR

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun