Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (25): Hitam, Putih, dan Merah

17 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 17 Februari 2021   07:11 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.colourbox.com

Pasrah bukan berarti menyerah kalah dalam kelelahan dan kesalahan yang mematahkan gairah untuk menjadi pemenang dalam hidup, bukan pecundang. Seorang pemenang dalam kehidupan adalah orang yang selalu menemukan kekuatan dalam diri, bukannya selalu menyalahkan orang lain dan keadaan.          

Awalnya hidupku tak hanya sebatas membaca buku di atas tempat tidur. Berangkat ke sekolah dengan sepeda kesayanganku dan dapat memandang langit biru setiap harinya. Begitulah kehidupanku, berjalan normal, penuh dengan harapan baru setiap harinya dan tentunya menyenangkan. 

Namun, semua itu hilang dalam sekejap, hidupku menjadi sangat kosong. Seperti langit yang kehilangan bintangnya, yang membuat malam menjadi lebih gelap dan kosong. 

Sejak aku mengidap penyakit yang menggerogoti kesehatanku setiap harinya, sungguh mengerikan. Setiap malam, aku jadi ragu untuk memejamkan mataku. Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk menikmati hari esok?

Membayangkan apa yang akan terjadi di hari -hari berikutnya membuat hatiku sesak. Setiap hari aku hanya bisa berharap ada orang yang akan mendonorkan ginjalnya untukku. Satu orang saja, dari ratusan bahkan ribuan orang di kota yang penuh revolusi ini. Itu akan lebih baik sehingga aku tak terus-terusan merasa bersalah menjadi ilalang di tengah keluargaku. 

Ilalang yang tak berguna, hidupnya hanya menumpang, dan petani di desapun akan memotongnya jika ia tumbuh. Jika mendapat donor, setidaknya aku tak membuat orang tuaku khawatir tentang berapa lama lagi hidupku ini. Walaupun tak menjamin kesembuhanku, tapi aku masih punya harapan, harapan yang mengalahkan tingginya semua menara. Aku yakin Tuhan sudah menyiapkan segalanya untukku dan aku hanya akan mengikutinya. Seperti air sungai yang mengalir mengikuti ke manapun alurnya.

Hari berganti, aku bersyukur karena masih dapat membuka mataku hari ini. Dapat melihat daun dengan embunnya di pagi hari, ayah dengan korannya, dan ibu dengan dapurnya. Jalan raya yang belum terlalu padat di pagi hari, mengingatkanku akan rutinitas pagiku, yaitu berangkat sekolah. 

Sungguh mengingatnya, membuatku ingin segera mengakhiri penderitaanku, penderitaan yang jika diceritakan memiliki banyak koma tanpa titik. Tak terasa, memikirkan hal tersebut membuat darah segar mengalir keluar dari hidungku. Rasanya tak karuan, inginku menuliskannya saja dengan tinta di atas kertas agar tak satupun yang tahu. Bagaimana ia menjerit tanpa suara dan menangis tanpa air mata.

Setelah itu, aku tak sadarkan diri, entah apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Tak lama, badanku terasa seperti diangkat dan aku melihat rantai kalung ayahku di lehernya. Aku dibawa ayahku menuju rumah sakit dengan mobil berwarna hitam yang ada di halaman rumah. Ayahku melaju dengan sangat kencang hingga tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di rumah sakit. Dibawalah aku masuk ke UGD, kulihat suster memasangkan selang infus di tanganku dan menggantung botol infusnya. Aku sudah memasrahkan semuanya kepada Tuhan, kupikir hidupku akan mencapai titiknya. Berjalan di lingkaran hidup yang terus berputar ini, akan berakhir hari ini. Badanku terasa sangat lemas hingga tak kurasa apapun lagi, dokter yang sibuk mengobatiku sudah tak dapat kulihat lagi.

Cerita yang kutulis di kertas ini sudah selesai, denyut jantungku sudah tak tampak di layar. Kemudian, dokter memberi tahu ayahku yang dari tadi berada di kursi ruang tunggu. Seketika, gelas yang ada di tangannya terjatuh ke lantai memuntahkan segala isinya. Hati ayahku sangat sesak seperti ada anak panah yang menancap jauh ke dalam ulu hatinya. Tak bisa bernafas lega karena anaknya kini telah menghilang dari peradaban. Kini, aku sudah tidak akan merasa kesakitan lagi. Namun, akulah manusia yang meninggalkan luka untuk keluargaku. Maaf ayah, bunda, perjuanganku berakhir di sini, terima kasih kalian sudah begitu menyayangiku. Terimakasih Tuhan untuk hidup yang singkat ini, tapi berlimpah berkat dan makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun