Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (24): Ilalang yang Terbilang, Hilang yang Terkenang

16 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 16 Februari 2021   07:17 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. jumkesinee.blogspot.com

Kehilangan seringkali meninggalkan rasa yang menyesakkan hati dan membuat kelu yang tak berujung. Kehilangan kadangkala menjadi kesempatan untuk menjadi lebih baik dan mandiri dalam hidup. Pada akhirnya kita akan hilang dari kisah cerita dunia untuk sebuah keabadian.           

Pagi hari kubuka mataku, kuawali hari dengan berdoa. Mensyukuri rahmat hidup yang diberikan oleh Tuhan sampai saat ini. Kuambil buku-bukuku yang berserakan akibat perbuatanku semalam, kurapikan dan kumasukkan ke dalam tas. Langit yang cerah menyambutku saat aku keluar dari persembunyianku, menggantikan bulan dan bintang yang telah tertidur. Aku pun mulai mengayuh sepedaku menuju tempat yang ingin kutuju.

Kukayuh sepedaku dengan sepenuh jiwa dan hati yang penuh kerinduan akan tempatku berasal. Mentari mulai naik, suasana perkotaan mulai berganti dengan dengan suasana pedesaan. Menara dan gedung-gedung perkotaan mulai berganti dengan padang ilalang. Kolam dan air mancur berganti dengan sungai yang jernih dan mengalir deras. Sampailah aku di tanah kelahiranku, namun kulihat para penduduk yang telah berubah dan mengalami revolusi.

Kuingat kembali peristiwa yang berdarah itu, yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Kukayuh sepedaku melewati jalan raya yang panjang dan berliku-liku, hingga sampailah aku pada rumahku. Aku pun menginjakkan kakiku di halaman rumahku, daun-daun mulai berguguran dan angin berhembus kencang. Awan mendung mulai datang menghampiri, aku pun masuk ke dalam rumah tua itu. 

Kubuka daun pintu itu perlahan, kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap itu. Kulihat potongan koran yang tergeletak di lantai yang sudah usang. Tinta cetaknya sudah terhapuskan, tulisannya sudah berganti menjadi tanda titik dan koma yang tak terbaca.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir keras yang menggelegar memecah keheningan di sore hari. Disusul suara titik-titik hujan yang jatuh ke atas genting rumah ini. Aku pun bergegas keluar menuju halaman, kuambil sepedaku masuk ke dalam rumah. Kurantaikan pada salah satu tiang penyangga, kemudian kulihat genting rumahku yang sudah berlubang. Kuambil botol-botol kaca warna-warni yang tadi kulihat di depan rumahku. 

Kususun botol-botol itu agar dapat menampung air yang mengalir melalui lubang-lubang itu. Setelah penuh, kumasukkan botol -botol itu ke dalam tasku untuk persedianku di hari-hari berikutnya. 

Kutelusuri kembali rumah ini, kulihat benda berbentuk lingkaran yang berkilau, rupanya itu adalah cermin milik ibuku. Kuamati benda itu dalam bisu, namun tiba-tiba terdengar suara riuh dan berisik dari luar rumah.

Rupanya, itu adalah manusia-manusia yang mengejarku, aku pun mengambil secarik kertas dan pena. Kutuliskan pesan singkat mengenai pembunuhan yang akan terjadi padaku dan kumasukkan kertas itu ke dalam botol. 

Lalu kulemparkan ke dalam sungai di belakang rumahku. Kuganjal pintu rumah itu dengan kursi, kuambil panah ayahku yang tergantung di sudut ruangan. Kupecahkan gelas-gelas tua yang teronggok di atas meja, kuambil pecahan yang cukup besar untuk melindungi diriku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun