Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (22): Hati yang Terbuat dari Luka

14 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 14 Februari 2021   07:12 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. line.17qq.com

Asumsi seringkali melahirkan penyesalan tatkala realita menunjukkan kebenaran di balik segala dalil-dalil yang terlontar. Penyesalan ataupun rasa haru menjadi buah-buah perasaan atas segala kesadaran yang mendewasakan hati. Menjadi dewasa dalam hidup adalah pilihan.           

Kay mengeluarkan sepeda merah dari garasi rumah kecilnya. Tas ransel yang dipenuhi buku-buku berat menyulitkan geraknya. Akhirnya gadis berambut sepunggung itu berhasil menuntun sepedanya keluar pagar. Ia mengayuh sepeda itu dengan santai membelah jalanan yang sepi di bawah langit sore. Gadis itu sama sekali tak sadar ada sepeda lain yang menikung dari gang dengan kecepatan tinggi. Mendadak mata Kay terasa berbintang-bintang, tetapi ia belum sadar apa yang terjadi. Ketika pandangannya kembali jernih, ia mendapati dirinya sudah terbaring di tanah dengan sepeda tergolek di dekatnya. Ia juga melihat seorang anak laki-laki yang terbaring di tanah dengan tubuh luka-luka.

Anak laki-laki tersebut dengan cepat bangkit berdiri. Ia mengibaskan ilalang yang menempel di bajunya. Kemudian ia menghampiri Kay dan memaki gadis itu karena telah membuatnya terjatuh. Tanpa basa-basi anak itu kembali menaiki sepedanya. Sepeda hitam kusam miliknya melaju menyusuri jalanan desa menuju sebuah sungai kecil. Hati Kay terasa amat panas. Ia memunguti buku-bukunya yang berserakan lalu menumpuknya menjadi menara di sisinya. Melihat sampul buku Sejarah  Revolusi Indonesia miliknya yang robek, Kay mengeluh pelan.

Sungguh Kay tidak tahu apa yang mendorongnya mengayuh sepeda menyusul anak menyebalkan itu. Ia menyusuri sungai dan membelok ke sebuah gang kecil yang tadi dilihat Kay dimasuki anak itu. Sepeda hitam milik si anak menyebalkan terlihat bersandar di depan sebuah rumah reyot. Halaman depannya dipenuhi daun-daun kering. Dengan mengendap-endap Kay mengintip lewat sebuah jendela yang berdebu. Ia melihat bagian dalam rumah itu dipenuhi koran bernoda tinta dan darah yang berserakan di lantai. Pemandangan yang cukup membuat merinding. Kay berpikir cepat tanpa koma. Ia mencoba mengingat cara kembali ke jalan raya jika ternyata perlu kabur.

Sebelum Kay sempat berpikir lebih jauh, anak laki-laki yang diincarnya keluar ke halaman dan memergokinya. Wajah anak itu mengekspresikan kebingungan dan kemarahan. Ia hendak membuka mulut, tapi batal demi melihat adik kecilnya keluar menyusulnya. Anak itu kurus kering dengan lingkaran gelap di matanya yang cekung. Hidungnya disumpal tisu yang basah oleh darah. Ia memeluk botol susu yang sudah berwarna kuning. Tak terasa Kay menghembuskan napas lega. Rantai ketakutan yang melilit hatinya mulai terurai ketika mengetahui darah di koran adalah bekas mimisan. Rasa takut itu digantikan perasaan tak tega yang membuat setitik air mata jatuh di pipinya.

Akhirnya Rey, anak laki-laki itu mengajak Kay masuk ke rumahnya. Ia menyilakan Kay duduk di sebuah kursi reyot dan menyuguhkan teh dalam gelas retak. Kay menyapukan pandang pada rumah yang menyedihkan dengan kertas-kertas koran yang berserakan. Rumah ini sepertinya tidak lagi memedulikan peradaban. 

Perlahan terkuaklah cerita tentang keluarga Rey yang dulu kaya, tetapi jatuh miskin ketika orang tuanya sakit. Uang habis untuk biaya pengobatan yang tetap tidak bisa menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. Sejak saat itu Rey terjebak di rumah ini bersama seorang bibi tua yang hampir tak pernah pulang. Ditambah lagi ia harus merawat adiknya yang sakit-sakitan tanpa punya uang untuk berobat. Rey, seorang anak manusia yang bagaikan panah, pernah terbang tinggi dan kini dipaksa menghujam bumi.

*WHy-eTRA

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun