Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (18): Nurani, Jangan Pergi! Nurani....

10 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 10 Februari 2021   07:12 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. depositphotos.com

Hati nurani selalu bergerak pada kebenaran untuk memilah antara hitam dan putih dunia yang semakin menyatu dan berpadu. Memperjuangkan hati nurani dalam hidup membutuhkan perjuangan yang super hebat untuk menghadapi lawan yang sangat kuat, yakni melawan diri sendiri. 

Aku bukanlah anak orang kaya yang tiap hari bisa berangkat ke sekolah naik mobil. Setiap hari, hanya sepeda tua almarhum ayahku yang membantuku pergi kemana-mana. Uang untuk membeli buku aku pun tak punya karena semua sudah dipakai belanja ibuku. Ya, beginilah hidup seorang anak singkong yang hanya bisa bermimpi sejauh langit dan bintang. Sebenarnya aku iri, dengan mereka kaum berada yang tinggal di kampungku. Apa mereka tidak iba dengan kami, buat apa punya harta kalau tak bermakna bagi sesama? Di sekolah pun aku dipandang sebelah mata oleh anak-anak mereka. Katanya, "Dasar anak orang susah, kalau bukan karena otaknya, udah pasti dikeluarin dari sini".

Baru dua bulan bersekolah, aku sudah tak betah belajar. Akhirnya aku memilih untuk cabut saja dari sekolah selama sehari penuh. Kupamit pada Ibu untuk pergi ke sekolah, tetapi sebenarnya aku berniat kabur dari kampungku. Tulisan "Desa Armani" di gapura desa semakin terpampang jelas. Rencanaku adalah aku akan kabur ke menara mercusuar yang sudah ditinggalkan di dekat pantai. 

Kususuri bantaran sungai yang penuh ilalang agar lebih cepat sampai ketimbang harus memutar sejauh dua kilometer. Akhirnya, aku pun sampai di sana, dan segera naik ke puncak mercusuar itu. Kulihat tanah kelahiranku, tanah jawa yang pernah menjadi saksi revolusi kemerdekaan bangsa ini. Hatiku senang, tetapi tergores pilu karena kita kembali di zaman di mana mereka yang kaya akan berkuasa.

Daun gugur di tanah terserak langkah kakiku yang kuseret tanpa semangat. Sembari pulang, aku berpikir bagaimana aku bisa membantu mereka yang senasib denganku. Seketika itu juga, aku teringat pelajaran sejarah di sekolahku tentang usaha perjuangan kemerdekaan bangsaku. Melalui tinta yang tertuang dalam kata-kata, seketika perubahan bisa terjadi, bahkan bisa menumpahkan darah. Aku kini tahu aku harus menjadi penulis, wartawan koran! Aku ingin membuat tulisan yang akan membuat orang membaca hingga ke titik komanya! Akan kuhabisi mereka para bajingan yang pernah menghinaku. Biarlah jalan raya ini menjadi saksi awal langkah perjuanganku.

Waktu berlalu, aku pun berhasil menuntaskan studiku. Aku lantas melamar pekerjaan sebagai wartawan untuk sebuah perusahaan koran terkemuka di Jakarta. Inilah titik awal perjuanganku sesungguhnya yang penuh dengan bahaya. Setiap minggu kutulis artikel yang meluapkan kekesalanku tentang bobroknya sistem pemerintahan ini. Tak ada warna-warni indah dalam tulisanku, hanya hitam dan putih fakta saja. 

Empat bulan berlalu, dan aku mendapat kejutan yang sungguh tak terduga. Hari itu, 5 orang anggota militer menyambangi halaman rumahku dan mendobrak pintu depan rumahku. Kulemparkan botol bir di tanganku ke kepala salah seorang dari mereka, darah segar mengucur. Satu dari mereka menghajar ulu hatiku, dan merantai kakiku, habis sudah nyawaku.

Entah kapan - di mana, aku terbangun, duduk dan terikat di atas kursi reot nan hina ini. Tahu-tahu diriku sudah bangun, tiba-tiba saja aku disiram seember air panas. Tubuh dan mataku terasa pedih dan aku tak bisa melihat dengan jelas lagi. Aku dipaksa untuk menandatangani secarik kertas yang bahkan tak kupahami apa maksudnya. Bak anak panah yang menembus jantung rusa, 3 butir peluru menembus diriku. Inilah akhir perjuanganku, tapi bukan akhir perjuanganmu. Bangkitlah anak manusia, perjuangkanlah nasib bangsamu yang sedang dinistakan ini. Peradaban bangsa kita telah kembali ke masa-masa terkelamnya. Jangan tangisi kepergianku anak muda karena aku bahagia mati sebagai martir bagi kalian.

*WHy-aLv

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun