Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (17): Menguak Dunia dalam Buku

9 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 9 Februari 2021   07:17 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: goodpurpose.org

Kata demi kata yang terukir dalam rentetan makna tersimpan rapat dalam lembaran-lembaran kertas yang senantiasa menjaga sejarah peradaban untuk semesta. Tanpanya, tak akan ada pernah cerita peradaban yang abadi.  Dengannya, dunia penuh dengan cerita kehidupan.          

Mataku melirik sekilas ke arah buku bersampul biru di atas ranjang. Suara ayah yang memarahiku karena mengendarai sepeda hingga larut malam bagai angin lewat, tak kuhiraukan. Aku baru kembali saat bintang menerjang langit biru, mengusiknya, memaksanya turun, menggantinya dengan kegelapan. 

Tanganku berkeringat dan mengepal, tidak sabar untuk membaca cerita di buku bersampul biru. Orang awam hanya mengira, buku itu adalah buku biasa, buku kusam membosankan yang sampulnya memudar termakan usia. Hanya sedikit saja yang tahu, dan bahkan ayahku sendiri tidak tahu, bahwa ada sebuah rahasia menarik dari buku itu.

Ayah selesai memarahiku, meninggalkanku yang berdiam mematung di dalam kamar. Aku menutup pintu, mengambil buku bersampul biru, dan menggesek-gesekkan ujung pena ke sebuah gambar hati di ujung kertas. Tak lama, muncul sebuah cahaya cerah yang menyilaukan, membuatku harus memejamkan mata. Aku merasa tubuhku serasa terbelah-belah, sebelum sesaat aku tersadar bahwa kini aku sudah berada di sebuah menara. Dari puncak menara, dapat kulihat sungai berkelok-kelok dan rumah-rumah desa yang bergelombang mengikuti gunung. Ilalang bergerak-gerak, berdansa dengan angin. Suasana desa itu nampak damai dari luar. Namun sayang, kedamaian desa itu lenyap akibat sebuah revolusi.

Revolusi selalu penuh darah, menggulingkan kata-kata penguasa bodoh dalam tulisan tinta. Koran menyiarkan berita dengan heboh, menampilkan foto tubuh bergelimpangan penuh darah. Daun-daun sibuk mengubur mayat, membentuk koma berjejeran yang nyaris menutupi seluruh jalan raya. Kepedulian sudah sirna, mata gelap merajalela, rasa egois menguasai jiwa. Tentara yang seharusnya melindungi rakyat justru menyerang rakyat, melindungi para korporat yang terjerat dengan masalah berat dengan dalih melindungi tanah air. Kata orang lewat, para tentara menembaki rakyat dengan brutal, menyerang rakyat yang hanya ingin perubahan.

Mata kecilku menatap rantai keegoisan manusia dengan jerih. Para tentara menembaki warga, para warga membalas dengan tikaman pisau. Halaman yang semulai hijau perlahan menjadi warna merah darah. Sepertinya para warga mulai menyerah, terlihat mereka mengangkat tangan di atas kepala. Para warga yang menyerah dikumpulkan di balai kota yang berbentuk lingkaran. Mereka berkumpul seperti titik titik kecil yang memenui balai kota dengan senjata teracung ke bawah. Para tentara mengambil paksa senjata-senjata mereka seperti pisau, botol kaca, dan bebatuan. Revolusi kelihatannya telah usai, api di kota mulai padam, seturut padamnya semangat revolusi para warga.

Peradaban kelak akan runtuh saat orang baik berkurang, saat para pengerat berkuasa didukung tentara yang arogan. Aku tidak ingin itu terjadi dan aku ingin sekali membantu para warga desa melawan penguasa, melawan para manusia yang serakah. Namun apa daya, aku tak bisa. Ini bukan kisahku. Anak panah di tangan menunjukkan angka satu, nyaris mendekat nol, inilah saatnya aku pulang. Sesaat, tubuhku serasa tertarik kembali ke alam nyata, muncul seolah-olah jiwaku keluar dari kertas di atas meja. Gelas berisi air di dekat jendela mulai mendispersikan cahaya, menunjukkan bahwa hari sudah pagi. Kutarik kursiku dan duduk di atasnya, melihat tali pembatas halaman terselip rapi di antara buku bersampul biru. Tanganku ingin segera membuka buku itu, membaca kelanjutan kisah revolusi itu. Namun sesaat aku tersadar, bila aku membuka sebelum malam hari, keajaiban dalam buku itu akan lenyap. Terpaksa, aku mengurungkan niatku untuk membacanya dan menunggu waktu malam tiba.

*WHy-AhArI

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun