Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Kritis yang Kronis: Sulit Mendengarkan

13 Januari 2021   11:05 Diperbarui: 13 Januari 2021   11:31 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di awal tahun ajaran baru, sebuah kelas sedang melakukan pemilihan ketua kelas untuk satu semester ke depan, dan akhirnya terpilihlah Bejo sebagai ketua kelas karena dinilai oleh teman-teman dan guru sebagai anak yang aktif dan bisa mengatur kelas dengan baik. Peristiwa ini lazim terjadi dalam pemilihan ketua kelas, di mana anak-anak yang aktif, pandai bicara, dan terkenal di kalangan teman-teman akan memiliki peluang besar dipilih daripada anak-anak yang pendiam dan biasa-biasa saja.

Kriteria menjadi pemimpin setidaknya ada standar umum, yakni aktif, pandai bicara, dan terkenal. Benarkah demikian? Setidaknya kita dapat melihat pada saat pesta demokrasi, baik legislatif maupun eksekutif, orang atau tim sukses akan begitu antusias untuk mempromosikan dirinya atau jagoannya dengan berbagai cara. Intinya adalah masyarakat harus mendengarkan atau membaca keunggulan-keunggulannya dan selanjutnya memilihnya.

Selangkah lebih maju dari proses pemilihan itu, ketika orang sudah menduduki jabatan, mungkin sebagai ketua kelas, wakil rakyat, atau jabatan tertentu, ada kecenderungan orang akan segera berlaku sesuai dengan jabatannya dan celakanya sebagian besar bekerja dengan mengandalkan kata-kata dari mulutnya. Ada kata-kata halus dan bijak dikatakan untuk memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya dengan harapan mereka mau mengikutinya. Ada kata-kata instruksi atau perintah disampaikan kepada orang-orang yang dipimpinnya agar mereka melakukan sesuatu yang diminta.

Dalam sebuah keluarga tidak akan lepas dari pola komunikasi dengan kata-kata ajakan, perintah, nasihat, atau yang lainnya. Orang tua akan banyak meminta kepada anaknya untuk berlaku baik, menata masa depan, membereskan banyak hal, dan memahami segala sesuatu yang dirasa penting. Anak pun tidak lepas dari banyak permintaan ke orang tua, harapan pada orang tua, dan bentuk-bentuk kesepakatan dengan orang tua demi mendapatkan kebebasan tertentu. Tak jarang konflik terjadi karena kedua belah pihak saling menuntut dan ingin dipahami lebih dahulu.

Sekolah sebagai tempat membangun komunitas pembelajar pun tak lepas dari benturan-benturan serupa seperti yang terjadi dalam keluarga. Guru atau dosen akan menuntut dengan fasih pada anak didiknya berkaitan dengan standar ketercapaian pemahaman materi tertentu. Dan, anak didik pun akan terjebak pada keluhan, kritik, dan gerutu karena berbagai kesusahan dan kesulitan dalam mengusakan standar yang harus dicapai. Belajar bukan lagi menjadi sebuah situasi yang penuh gairah untuk mengembangkan wawasan dan mengolah rasa, namun belajar menjadi sebuah relasi keterpaksaan yang melahirkan kekerdilan pikiran dan perasaan.

Peter Drucker percaya bahwa enam puluh persen dari persoalan manajemen adalah akibat dari komunikasi yang tidak lancar. Dan, Maxwell menambahkan bahwa sebagian besar masalah komunikasi adalah akibat dari ketidakmampuan untuk mendengarkan. 

Seperti konflik yang terjadi dalam keluarga dan sekolah di atas, permasalahan utama adalah kurangnya kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan satu sama lain. Padahal, mendengarkan sejatinya memiliki dua tujuan penting dalam hidup, yakni menjalin hubungan atau relasi dengan baik dengan orang lain dan belajar.

Siapapun yang hidup adalah seorang pemimpin, sekalipun dia tanpa jabatan, setidaknya dia adalah pemimpin atas dirinya dan hidupnya yang berada di tengah komunitas sosial. Woodrow Wilson, Presiden Amerika, pernah mengatakan bahwa telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak. Ketua kelas, legislatif, eksekutif, tim sukses, guru, orang tua, anak, murid, dan semua pribadi yang hidup perlu untuk banyak mendengarkan orang lain untuk menjalin relasi yang baik.

Kemampuan Oprah Winfrey untuk mendengarkan telah membuatnya sukses dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Winfrey adalah pendengar yang baik. Bahkan, kemampuan untuk mendengarkan telah menjadi karakteristik utama dalam hidupnya. Ia membiasakan diri untuk belajar dan mengembangkan kemampuan mendengarkannya dengan menyerap pengetahuan dan pengalaman para penulis. 

Ia sangat suka membaca cerita fiksi dan biografi, sehingga dengan demikian ia dapat mempelajari perasaan dan pikiran orang lain. Dia juga cukup bijaksana mendengarkan orang-orang di sekitarnya, walau kadang ia meragukannya namun tetap mendengarkannya. Karena mau mendengarkan ide-ide di sekitarnya, akhirnya ia juga berhasil membentuk sebuah klub buku yang memberi dampak positif untuk ribuan orang belajar dan bertumbuh dengan cara membaca.

Jelaslah bahwa mendengarkan adalah pendidikan dasar dalam diri setiap manusia untuk bisa memimpin dirinya dan orang lain. Mendengarkan adalah bukan aktivitas basa-basi dalam sebuah komunikasi, namun mendengarkan adalah pondasi penting dalam menjalin komunikasi yang mendalam dan saling mengembangkan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut. 

Keluarga sebagai komunitas komunikatif sangat perlu mengedepankan kebiasaan mendengarkan satu sama lain, bukan untuk dimengerti tapi justru pertama-tama berusaha untuk mengerti orang lain. 

Keluarga yang kondusif dan berkembang positif adalah keluarga yang setiap anggotanya mampu dan mau menghargai, memahami, membantu satu sama lain, bukan menutut lebhi dahulu untuk dihargai, dipahami, atau dibantu. Kerendahan hati inilah yang dapat mengembangkan pribadi-pribadi menjadi pribadi yang berkualitas.

Akan sangat menyenangkan dan menggembirakan jika keadaan positif tersebut juga terjadi dalam proses pendidikan. Habitus mendengarkan akan menjadikan sekolah sebagai tempat yang apresiatif, ekpresif, persuasif, dan kolaboratif. 

Ketika proses belajar banyak memberi kesempatan pada anak didik untuk membaca berbagai sumber bacaan dan menuliskan apa yang dirasakan dan dipelajari, tentunya ini akan menjadi sebuah situasi pengembangan diri yang positif seperti yang Winfrey alami.

Ketika belajar tidak didominasi oleh guru dengan segala teori dan kata-katanya sehingga anak-anak punya banyak kesempatan untuk bereksplorasi dan berekspresi, tentunya ini akan memberi kesempatan yang besar untuk anak-anak mengolah potensi terpendam dalam dirinya. 

Ketika sekolah bukan lagi sebuah transfer ilmu pengetahuan tapi sebuah komunikasi pikiran, perasaan, dan komitmen hidup, maka sangat menyenangkan sekali berada di sekolah layaknya sebuah keluarga yang damai, sejahtera, dan penuh kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun