Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Manusia Pembelajar Berbasis Kearifan

9 Januari 2021   08:52 Diperbarui: 9 Januari 2021   08:57 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam bukunya yang berjudul The Maxwell Daily Reader, John C. Maxwell menegaskan bahwa kearifan adalah kemampuan menemukan akar masalah, dan tergantung pada intuisi dan pikiran yang sehat dan rasional. Bahkan, lebih dalam lagi dapat diuraikan bahwa kearifan adalah sebuah habitus atau kebiasaan mengolah rasa dan logika secara sinergis secara berkesinambungan dan kontekstual. Dalam kesinambungan itu tercermin ketekunan diri dalam mengembangkan hidup menuju manusia utuh dalam konteks kehidupan yang penuh dengan dinamika dan pergulatan batin.

Kearifan sebagai sebuah habitus semakin memperjelas bahwa tidak ada orang yang terlahir dengan penuh kebijaksanaan dan mampu memimpin diri sendiri dan orang lain. Semuanya itu dilatih dan diolah dalam berbagai pengalaman hidup yang secara bertahap mendewasakan diri dalam sikap, tutur kata, dan pikiran. Di samping itu, kearifan sesungguhnya mampu membawa orang pada tataran efektivitas untuk berbagai hal karena segala permasalahan hidup dihadapi dengan rasa yang matang dan pikiran yang rasional.

Dunia pendidikan pun tidak akan lepas dari kebutuhan untuk mengaktualisasikan dan menginternalisasikan kearifan dalam tataran praktis. Proses pendidikan tanpa kearifan adalah sebuah tragedi mengerikan bagi generasi muda penerus bangsa. Sekolah akan terasa neraka bagi para siswa sehingga mereka merasa malas, bosan, marah, sedih, dan terbebani. Lebih tragis lagi adalah sekolah penuh dengan penghakiman pada setiap ketidakberesan dan ketidakmampuan siswa dalam berbagai aspek belajar.

Sesungguhnya sekolah adalah tempat yang paling indah, menyenangkan, dan menginspirasi sehingga keceriaan, kebahagiaan, kegembiraaan, antusiasme, daya ekplorasi, dan kemauan berkembang dapat tumbuh seiring pengalaman menuntut ilmu sedalam-dalamnya. Sebuah harapan besar tatkala anak-anak di negeri ini selalu merindukan dan bersemangat untuk pergi ke sekolah sehingga menjelang usai libur(an) mereka sudah tidak sabar untuk segera bersekolah.

Kearifan merupakan bagian dari sebuah kepemimpinan yang memaksimalkan efektivitas. Pribadi yang mampu memimpin diri sendiri dan orang lain adalah pribadi yang mampu merancang dan melaksanakan efektivitas dalam berasa, berpikir dan bertindak.  Dengan efektivitas yang ada, segala sesuatu dapat berjalan dengan sangat taktis dan mampu mengoptimalkan proses untuk mencapai tujuan tertentu. Efektivitas ini erat kaitannya dengan cara cerdas dan praktis dalam berpikir dan bertindak, bahkan juga berhubungan dengan manajemen rasa dalam setiap masalah yang dihadapi.

Dunia pendidikan sudah seharusnya secara berkesinambungan mengembangkan kepemimpinan berbasis kearifan supaya segala proses pengembangan edukatif berjalan dengan efektif dan humanis. Segala masalah yang terjadi dalam proses pendidikan hendaknya dijadikan sebagai energi dan momen yang baik untuk melatih kepemimpinan yang edukatif. Masalah sejatinya merupakan media ampuh dalam mendewasakan diri dan lingkungan sekitar.

Pendidikan dengan segala dinamikanya merupakan proses yang bermakna dalam mendidik segala komponen yang ada secara holistik atau menyeluruh. Guru, siswa, karyawan, bahkan orang tua secara bersama-sama menjadi bagian dalam proses pendidikan. Semua orang harus belajar sepanjang masa sampai maut menjemputnya. Maka, tidak ada istilah berhenti belajar selama manusia masih hidup.

Robert Heller, seorang konsultan manajemen, menyarankan: "Jangan abaikan suara hati, tetapi suara hati saja tidak cukup." Kearifan memungkinkan kita menggunakan suara hati dan logika untuk menemukan opsi terbaik dalam hidup. Heller rupanya sangat menyadari pentingnya menjadi manusia yang utuh secara menyeluruh, yakni berkembang secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan, semuanya itu membutuhkan yang namanya komitmen diri sehingga dapat selalu belajar untuk hidup.  Maka, dunia pendidikan pun sudah seharusnya bertindak secara arif dengan mengedepankan suara hati dan logika seiring sejalan dalam keharmonisan.

Pendidikan terkadang lupa dengan esensi menjadi manusia pembelajar secara menyeluruh. Sekolah-sekolah mudah sekali terjebak pada rutinitas dan ambisi yang anarkis dengan mengedepankan pencapaian kematangan kognitif belaka. Para siswa didorong dengan sekuat tenaga untuk menguasai materi pelajaran dan mendapat skor yang tinggi sehingga dapat dianggap tuntas atau kompeten. Ironisnya, para siswa seringkali tidak pernah tahu pentingnya belajar materi-materi itu bagi hidup dan masa depan mereka. Semuanya dilakukan hanya karena formalitas dan paksaan kurikulum belaka. Inilah kekerasan psikis sesusungguhnya dalam dunia pendidikan, di mana anak-anak merasa tak berdaya menghadapi situasi sulit tersebut. Kearifan sangat jauh dari situasi pendidikan seperti itu. Miris.

Lebih hebat lagi, berbagai labelling di sekolah menjadikan anak-anak harus hidup dalam "penjara" kompetensi, seperti: anak bodoh, pintar, rajin, bandel, nakal, dan sebagainya. Label tentang kualitas semu anak tersebut sesungguhnya merupakan ketidakarifan orang dewasa dalam mendampingi anak-anak muda dalam belajar menjadi dewasa. Ketika logika dan suara hati berperan aktif dalam mensikapi keadaan tersebut, pastinya dapat diurai bahwa tidak perlu adanya labeling dalam dunia pendidikan karena semua anak pasti memiliki potensinya masing-masing.  Bisa jadi dunia pendidikan harus berjuang lebih keras dalam pendampingan untuk meyakinkan anak-anak pada potensi dan arah hidupnya.

Kadangkala orang yang kurang memiliki kearifan jarang ada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat pula. Mengusahakan dunia yang terdidik berarti mengusahakan setiap pribadi di dunia ini berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat pula. Kepemimpinan memegang peranan besar untuk mengusahakan kearifan untuk dunia yang terdidik. Oleh karena itu, setiap orang sudah seharusnya membangun habitus setiap saat untuk: mengolah akal budi dengan segala logika yang rasional dan daya berpikir yang mendalam, mengasah hati nurani lewat berbagai pengalaman kemanusiaan dalam hidup yang mengugah kepedulian pada sesama, dan memelihara komitmen diri pada kebenaran sejati dan kuasa ilahi. Saatnya menjadi manusia pembelajar, saat ini dan sepanjang masa.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun