Dalam buku What to Do Between Birth and Death, Charles Spezzano mengatakan bahwa orang tidak membayar barang dan jasa dengan uang mereka karena mereka membayarnya dengan waktu. Jika kita berkata pada diri sendiri, Dalam waktu lima tahun, saya akan memiliki cukup uang untuk membeli rumah itu, sebenarnya kita sedang berkata bahwa harga rumah itu adalah waktu lima tahun, bukan sejumlah uang. Segala target kecil maupun besar dalam hidup diukur dengan waktu, maka banyak orang berusaha keras mengatur waktunya untuk sesuatu yang mau dicapai dengan optimal.
Waktu tak akan pernah mengurangi maupun menambahi kuantitasnya karena waktu sangat konsisten dan setia. Dalam satu hari selalu bergerak dua puluh empat jam, setiap jam diyakinkan dengan 60 menit berjalan, dan dalam satu menit berdetik enam puluh kali. Semua itu itu adalah konsistensi dari sebuah kuantitas waktu. Apapun yang terjadi di dunia ini, waktu tak akan bergeming sedetik pun untuk mengubah ukuran waktu itu.
Waktu akan selalu konsisten dan kita tak dapat mengubahnya. Justru sebaliknya, kitalah yang dapat mengubah diri kita dalam menjalani hidup seiring waktu yang selalu bergerak sesuai ukurannya. Dalam perjalanan waktu yang terus mengalir, waktu bersama keluarga kita bisa saja tak bermakna apapun. Masing-masing anggota keluarga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing sehingga keluarga menjadi sebuah komunitas dengan individu-individu yang sangat egois.
Sebuah kesadaran mestinya terbangun bahwa waktu dan keluarga adalah sebuah kesatuan hati dan budi. Seorang anak terus berkembang seiring waktu yang terus berjalan yang akan menambah usia manusia. Perkembangan dan pendidikan anak dalam keluarga sangat tergantung pada bagaimana orang tua mendidiknya dengan segala tradisi dan filosofinya.Â
Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Orang tua adalah guru yang paling tepat bagi anak-anak di rumah karena rumah atau keluarga adalah pendidikan/sekolah paling dasar sebelum anak-anak masuk sekolah formal.
Dorothy Law Nolte menulis puisi dengan judul "Children Learn What They Live" yang dapat dijadikan pedoman dalam mendidik anak menjadi lebih baik.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Puisi tersebut memberikan pedoman yang sangat baik dalam mendidik, di mana cara mendidik sangat mempengaruhi hasil atau karakter anak. Ketika anak dididik dengan cara negatif, maka ada kemungkinan besar terbentuk karakter anak yang negatif pula. Begitupula sebaliknya, ketika anak dididik secara positif, maka hal-hal postif pula yang akan berkembang dalam pribadi anak.
Perjalanan waktu sebenarnya bukanlah sekadar pergantian jam atau hari belaka, tetapi perjalanan waktu seharusnya menjadi perjalanan pengalaman hidup yang baik dan bermakna untuk meningkatkan kualitas  hidup manusia. Seringkali kita jumpai, ada orang dengan usia yang sudah lanjut namun dia merasa belum melakukan apa-apa dalam hidup. Bisa jadi, sepanjang perjalanan hidupnya tidak dijalani dengan kesadaran penuh akan makna hidup.
Proses pendidikan di sekolah kadangkala juga berjalan begitu saja sehingga orang kadang merasa tidak mendapat apa-apa. Di lain sisi, pendidikan seringkali jatuh pada kesibukan akademik yang membuat stres dan frustasi.
Perjalanan waktu di sekolah serasa sebagai siksaan dan derita yang tak kunjung henti. Sekolah tidak menjadi tempat yang menyenangkan, menggembirakan, dan bermakna. Padahal sekolah semestinya menjadi waktu-waktu yang sangat berharga untuk mengembangkan diri seperti dalam puisinya Dorothy, yakni: kesempatan mengembangkan rasa percaya diri, sikap menghargai, keadilan, rasa percaya, dan cinta pada kehidupan.