Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Manusia Pembelajar untuk Peradaban

13 April 2018   08:48 Diperbarui: 13 April 2018   09:26 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belajar adalah sebuah proses pengembangan diri dalam konteks kemasyarakatan yang luas untuk mencapai taraf insani. Menjadi manusia pembelajar sesungguhnya adalah sebuah keharusan yang absolut untuk dilakukan oleh seluruh manusia yang masih hidup di muka bumi ini. Dengan belajar terus-menerus dan berkesinambungan, manusia digerakkan pada tataran humanisasi pikiran, perasaan (nurani), tindakan, dan komitmen diri. Belajar benar-benar menghantar manusia pada pribadi yang utuh dan menyeluruh pada konteks hidup yang luas.

Belajar tidak sama dengan bersekolah karena belajar di sekolah hanyalah bagian kecil dari pembelajaran humaniora. Proses humanisasi dapat dilakukan dan dipengaruhi oleh dunia dengan tingkat kompleksitas hidup yang sangat menantang dan berguna. Inti dari belajar adalah pembentukan kepemimpinan diri yang berdampak luas pada kepemimpinan sosial. Ketika orang belum memiliki dampak yang baik bagi orang lain dan masyarakat luas, sesungguhnya dia harus belajar lebih keras lagi.

Kepemimpinan juga tidak sama dengan jabatan atau posisi karena jabatan/posisi hanyalah salah satu sarana membentuk kepemimpinan dalam ruang lingkup pribadi dan masyarakat yang humanis. Kepemimpinan terbentuk dari berbagai pengalaman hidup yang ada, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Kepemimpinan tidak akan lepas dari nilai-nilai humaniora karena manusia yang mampu memimpin diri dan orang lain adalah manusia yang mau dan mampu memanusiakan manusia selayaknya manusia yang patut dihargai dan dikembangkan.

Kebanyakan orang mengevaluasi suatu kejadian atau pengalaman dalam hidup berdasarkan efeknya secara pribadi. Mereka melihat pengalaman hidup dengan sudut pandang akibat tertentu, yakni menguntungkan atau merugikan pada diri sendiri.  Pribadi yang mampu memimpin dirinya secara baik justru melihat sebaliknya, mereka akan melihat dampak atau efek yang lebih luas dari kejadian/pengalaman itu. Mereka akan mulai bertanya pada diri sendiri: Bagaimana hal ini akan memengaruhi orang lain di sekitarnya? Mereka akan melihat segala aspek yang berkenaan dengan keseluruhan hidup di sekitarnya bahkan lebih jauh pada masa yang akan datang.

Pertama, pribadi yang mampu memimpin dirinya dalam konteks yang lebih luas akan selalu berusaha menyesuaikan dirinya di mana pun dan kapanpun. Kemampuan adaptasi sesungguhnya menjadi satu faktor penting dalam proses pengembangan kepemimpinan yang humanis. Seseorang yang bermasalah di keluarga, tempat kerja, masyarakat, atau komunitas tertentu menjadi indikasi penting bahwa orang tersebut memiliki tingkat adaptasi yang sangat rendah.

Kemampuan adaptasi yang rendah akan terungkap ke permukaan dalam bentuk: mengucilkan diri dari komunitas dan sangat menikmati kesendiriannya dengan kesibukkannya sendiri. Akibatnya adalah orang-rang seperti ini akan tidak nyaman untuk berkumpul sekadar untuk ngobrol ringan dengan penuh canda dan tawa. Kumpul-kumpul dianggap sebagai aktivitas menghabiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak penting. Padahal perjumpaan dengan orang lain dalam kondisi apapun sangatlah bermanfaat untuk mengembangkan diri dan menjalin jejaring kemasyarakatan.  Kepemimpinan erat kaitannya dengan relasi dan perjumpaan dalam membangun suatu komunikasi dan kharisma.

Kedua, pribadi yang mampu memimpin dirinya dalam konteks yang lebih luas juga mampu mendorong komunitas kecilnya pada lingkup yang lebih luas. Komunitas/lembaga/keluarga yang tidak mampu menyesuaikan pada tataran yang lebih luas dapat jatuh pada radikalisme sosial yang menganggap kebenaran adalah milik komunitasnya sendiri dan yang lain salah.

Inilah tanda-tanda kehancuran peradaban yang humanis karena persaudaraan dan kesatuan hati-budi mulai terpecah oleh kebenaran brutal yang tidak mengenal toleransi dan komunikasi. Kepemimpinan selalu mengedepankan komunikasi untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bersama akan segala kesamaan dan perbedaan yang ada. Kepemimpinan tidak pernah mempermasalahkan keragaman yang justru memperkaya humanisasi manusia , justru kepemimpinan menolak keseragaman yang dipaksakan.

Ketiga, pemimpin yang melihat dalam konteks yang lebih luas akan selalu mengedepankan refleksi dalam setiap pengalaman hidupnya dan menjadikan refleksi sebagai sebuah habitus harian. Refleksi merupakan media untuk melihat segala pengalaman yang sudah terjadi lalu mengambil makna lewat nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya dan akhirnya menggerakan dirinya untuk melakukan aksi nyata yang berguna bagi dirinya dan lebih luas lagi bagi orang lain.

Pengalaman hidup yang terjadi dari hari ke hari dan tidak pernah direfleksikan hanyalah menjadi "sampah" kehidupan belaka. Pengalaman hidup yang direfleksikan adalah permata hidup yang sangat berguna bagi diri dan orang lain. Pemimpin diri mampu mengumpulkan permata hidup itu setiap hari agar dapat berpartisipasi dalam pengembangan peradaban yang lebih baik. Refleksi diri bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi tetapi lebih luas lagi demi kemajuan dan humanisnya peradaban yang ada.

Jika sebuah peradaban adalah sebuah puzzle kehidupan maka kehidupan pribadi, kehidupan komunitas, masyarakat, dan bangsa adalah potongan-potongan dari peradaban yang utuh. Ketika potongan-potongan itu tidak selaras dengan gambaran utuh maka yang terjadi adalah puzzle kehidupan yang tak terselesaikan menjadi gambar yang utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun