Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Guru Profesional ala Kepemimpinan Edukatif

30 Maret 2018   09:40 Diperbarui: 30 Maret 2018   11:22 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik dengan standar pencapaian tertentu. Jika proses ini yang terjadi di sekolah-sekolah, dapat dipastikan bahwa rasa frustasilah yang selalu muncul dalam setiap dinamika pendidikan. Guru akan jatuh pada penghakiman pada tingkat kemampuan anak-anak dalam menyerap pengajaran dan anak-anak akan merasa terbebani dengan berbagai predikat kemampuan yang didapat sebagai hasil belajar.

Proses pendidikan yang disamakan dengan proses transfer ilmu semata adalah proses pengkerdilan dari sebuah filosofi pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan dengan model ini cenderung pendidikan yang bermain-main dengan statistik yang diakhir dengan kesimpulan tertentu. Celakanya, kesimpulan itu menghasilkan sebuah dikotomi yang jahat bagi para siswa dengan label anak berprestasi, anak biasa-biasa saja, atau anak bodoh/tertinggal. Jiwa dan rasa di dalam lubuk hati para siswa tidak pernah tersentuh dengan kebermaknaan dalam proses belajar. Bisa jadi karena jiwa dan rasa tidak bisa diukur dalam ulangan dan sulit diolah dalam data statistik.

Pendidikan sejatinya adalah sebuah siklus mengusahakan berbagai pengalaman hidup yang direfleksikan secara mendalam sehingga mampu melahirkan aksi nyata bagi kehidupan luas. Pendidikan selalu mengusahakan manusia yang menyeluruh dengan keseimbangan akal, rasa, dan tindakan. Dengan demikian, transfer ilmu adalah sekadar secuil dinamika dari menciptakan pengalaman belajar untuk menemukan esensi kehidupan.

Mengembalikan pendidikan pada filosofinya yang luhur dan mulia membutuhkan sebuah kepemimpinan yang persuasif. Guru yang bukan sekadar pengajar namun sekaligus pendidik sudah menjadi keharusan untuk mengembangkan kepemimpinan yang persuasif dalam konteks mendidik manusia menuju taraf insani. Hal ini dirasa penting bagi dunia pendidikan untuk diusahakan agar dunia pendidikan tidak terjebak pada profesionalisme semu yang hanya berfokus pada administrasi pengajaran belaka.

Profesionalisme pendidikan erat kaitannya dengan kepemimpinan edukatif yang persuasif. Pertama, karakter diri seorang pendidik menjadi sebuah keutamaan dalam kepemimpinan edukatif ini. Kebiasaan dan ketekunan sangat berpengaruh dalam membangun karakter sebagai pendidik yang baik. Mengembangkan diri setiap waktu merupakan proses membangun keteladanan diri bagi komunitas edukatif sehingga pendidik dapat dipercaya, dicontoh, dan dijadikan inspirasi bagi lingkungannya. Anak-anak selalu belajar dari contoh dan keteladanan sehingga pendidik dengan karakter yang baik dapat menjadi inspirasi belajar bagi anak didik.

Kedua, kepemimpinan edukatif yang persuasif juga terwujud dari relasi atau hubungan dalam komunitas edukatif. Memandang murid layaknya bawahan adalah awalan yang salah bagi seorang pendidik dalam membantu anak didik untuk belajar. Cara pandang positif dan relasi yang sejajar adalah senjata ampuh dalam membangun ekosistem belajar yang humanis dan saling percaya satu sama lain. Guru dan dan para siswa sejatinya adalah teman belajar yang saling mendukung dan membantu setiap saat.  Sebagai teman belajar, sudah seharusnya relasi harmonis dan menyenangkan menjadi suasana yang selalu diusahakan.

Ketiga, pengetahuan tetaplah penting sebagai sarana belajar kepemimpinan edukatif. Akan tetapi, pengetahuan bukan satu-satunya tujuan dalam pendidikan sehingga kualitas anak didiknya hanya ditentukan oleh pencapaian ketuntasan terhadap pengetahuan tertentu. Pengetahuan dalam dunia pendidikan dapat menjadi sarana yang ampuh dalam mengusahakan kedalaman intelektual. Menjadi mendalam secara intelektual berarti menjadi sadar bahwa ilmu pengetahuan dipelajari agar berguna bagi pengembangan diri dan sesama dalam kerangka kebijaksanaan dan kebajikan hidup.

Keempat, intuisi diri senantiasa harus diolah sepanjang masa dalam mengembangkan rasa. Belajar di sekolah juga mengolah rasa pada berbagai tanda-tanda zaman. Intuisi pendidik memiliki pengaruh yang besar pada kemauan dan kemampuan anak-anak belajar. Pendekatan personal pendidik terhadap anak didik menjadi metode yang sangat kondusif dalam membangun kesatuan hati dan budi. Belajar mengolah rasa benar-benar menjadi penting sebagai penyeimbang kekuatan rasionalitas manusia dalam berbagai aspek.

Kelima, komitmen menjadi pilar yang begitu kuat dalam kepemimpinan edukatif sehingga manusia menjadi pribadi yang dapat dipercaya sekaligus menjadi pembelajar setiap waktu dalam konteks apapun. Kadangkala menjadi guru atau pendidik sekadar sebuah profesi belaka, maka yang terjadi adalah menjadi seorang buruh bayaran saja. Mentalitas buruh bayaran sangat sulit untuk dijadikan keutamaan jiwa dalam mendidik anak-anak dengan penuh pelayanan dan pengabdian. Oleh karena itu, guru atau pendidik hendaknya menjadi sebuah panggilan jiwa untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan peradaban lewat generasi muda.

Ada sebuah peribahasa kepemimpinan yang ditulis Maxwell dalam buknya The 21 Irrefutable Laws of Leadership, "Orang yang mengira ia sedang memimpin, tetapi tidak memiliki pengikut, hanyalah seorang yang sedang berjalan-jalan." Jika kita tidak bisa memengaruhi orang, mereka tidak akan mengikuti kita. Dan jika orang tidak mau ikut, kita bukanlah seorang pemimpin. Guru adalah seorang pemimpin edukatif yang seharusnya mampu memengaruhi anak-anak untuk mengembangkan hidupnya. Jika para siswa tidak bersemangat untuk belajar mengembangkan dirinya, sesungguhnya seorang guru bukanlah seorang pemimpin alias gagal.

Dengan demikian, menjadi profesional bagi pendidik adalah sebuah keharusan dengan membangun karakter, menjalin relasi yang positif, mengusahakan kedalaman intelektual, mengolah rasa, dan memiliki komitmen kuat untuk belajar. Untuk semua itu, sangat dibutuhkan ketulusan hati dan keantusiasan jiwa untuk mendidik anak-anak zaman sekarang. Inilah keindahan yang tiada tara menjadi guru atau pendidik karena memiliki kesempatan mengembangkan diri seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Bravo untuk para guru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun