Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Segera: Pendidikan Kebhinekaan

5 Maret 2018   11:00 Diperbarui: 5 Maret 2018   11:00 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan adalah roh fundamental dalam proses membangun sebuah peradaban yang beradab dan humanis. Pendidikan sudah seharusnya selalu mengedepankan proses memanusiakan manusia menuju taraf insani lewat segala praktik pembiasaan yang kontekstual dan bermakna.  Ralph W. Tyler  (1949) dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction menegaskan bahwa pendidikan membutuhkan konsep dasar menyeluruh untuk menjawab kebutuhan anak didik dan dunia sehingga terjadi internalisasi nilai-nilai kehidupan yang terwujud dalam karakter sebuah generasi.

            Berangkat dari konsep pendidikan ala Tyler tersebut, pendidikan di Indonesia saat ini dihadapkan pada konteks dunia masyarakat Indonesia akhir-akhir ini dengan adanya krisis toleransi dan kebhinekaan. Gejolak perpolitikan dan kemasyarakatan begitu kental dengan segala dikotomi pikiran, perasaan, dan relasi yang terus-menerus terombang-ambing dalam persaingan semu yang sesungguhnya mulai menomorduakan kesatuan hati dan budi sebagai satu bangsa dan tanah air. Inilah tantangan dunia pendidikan untuk menyikapi, merefleksikan, dan menginternalisasikan konteks pluralitas masyarakat yang sedang berlangsung.

            Pendidikan Indonesia tidak bisa lepas begitu saja pada kenyataan dan dinamika masyarakat yang ada. Pendidikan bukan sekadar proses belajar di ruang kelas dengan berbagai materi dan tesnya. Pendidikan juga bukan sekadar menterjemahkan kurikulum nasional maupun lokal yang hanya mengarah pada keilmuan kaku belaka. Bahkan pendidikan bukan sekadar relasi sekolah dan keluarga untuk mendidik anak menjadi pribadi yang baik. Keadaan masyarakat dan bangsa adalah materi pembelajaran teraktual dan fundamental yang harus disadari, direfleksikan, dan dimodifikasi menjadi budaya nyata dalam bersikap dan berelasi yang lebih humanis dan kontekstual.

Membangun Habitus

            Kadangkala mudah sekali mengatakan bahwa perbedaan apapun adalah modal yang hebat untuk membangun kesatuan karena dengan perbedaan justru dapat saling melengkapi satu sama lain. Hal itu mutlak indah didengar dan teduh dirasakan. Namun, dalam tataran praktis tidak seindah dan seteduh itu karena perbedaan seringkali menjadi alasan utama menciptakan konflik dan dikotomi sosial. Bahkan, seringkali sebuah komunitas terpecah-belah karena perbedaan dalam banyak hal. Fase ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia tercinta ini. Perbedaan di masyarakat sedang tumbuh kembang menjadi konflik langsung dan tidak langsung. Bangsa ini sedang mengalami krisis kebhinekaan yang dapat mengancam kesatuan negara. Salah satunya, dunia pendidikan harus mengambil bagian secara besar untuk merajut kembali kebhinekaan dan kesatuan itu.

            Stolp dan Smith (1995) dalam Transforming School Culture menekankan pentingnya membangun budaya edukatif yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan sebagai roh pendidikan yang menyeluruh dan berkinambungan. Budaya edukatif bukanlah sekedar jargon atau juga bukan sejenis kegiatan seremonial belaka. Budaya edukatif adalah habitus menjadi manusia seutuhnya melalui berbagai proses pembiasaan yang humanis dan kontekstual. Glatthorn (1992) dengan sangat yakin menyatakan bahwa eleman paling fundamental dalam pendidikan adalah budaya edukatif. Sebuah sekolah hanyalah sebuah gedung dengan manusia formalitas belaka tanpa budaya edukatif yang menjadi semangat dan roh dalam belajar.

            Menjawab konteks krisis kebhinekaan dan kesatuan akhir-akhir ini, penting bagi dunia pendidikan untuk mengembangkan budaya edukatif dalam habitus yang humanis, yakni: habitus berpikir, habitus bernurani, habitus berbela rasa, dan habitus berkomitmen. Keempat habitus tersebut senantiasa dapat menjadi harapan bagi terbangunnya masyarakat dan bangsa yang lebih menghargai kebhinekaan.

            Dengan mengembangkan habitus berpikir, dunia pendidikan dapat melahirkan manusia-manusia yang mampu berpikir mendalam dan menyeluruh. Ruang kelas hendaknya bukan lagi menjadi dinamika "doktrinisasi" berbagai dalil  dan penyeragaman ide tetapi justru ruang kelas menjadi tempat untuk mengembangkan kemampuan kognitif dengan mempertimbangkan perbedaan pendapat dan kebutuhan anak didik. Bahkan, proses pembelajaran menjadi proses berpikir kritis tetapi bukan anarkis sehingga segala ide dan keilmuan dapat dipertanggungjawabkan dari sisi humanisme dan logika berpikir.

            Keunggulan kognitif dalam keragaman berpikir yang tercermin dalam habitus berpikir belum cukup sebagai manusia yang holistik. Habitus bernurani hendaknya menjadi keseimbangan dalam proses pendidikan. Seringkali kita jumpai, banyak orang pintar namun sikap dan karakternya tidak manusiawi sehingga siap menghalalkan segala cara demi obsesinya tercapai. Proses pembelajaran sudah pastinya mengarah dan mengembangkan kejujuran dan integritas. Covey (2010) menekankan bahwa manusia dengan integritas tinggi menghasilkan kepercayaan dari lingkungannya. Akhirnya, habitus nurani diharapkan membawa pada kebiasaan manusia untuk menerima dan menghargai kebhinekaan sebagai kekayaan kehidupan. Hati nurani (Conscience) harus terus-menerus diasah dalam dunia pendidikan.

            Manusia seutuhnya semakin terwujud dengan adanya habitus berbela rasa dalam proses pendidikan di negeri tercinta ini. Dunia menjadi semakin hebat bukan karena kehebatan individu per individu tetapi karena adanya rasa peduli satu sama lain sebagai satu kesatuan hati dan budi. Keunggulan kognitif penting diusahakan, bukan untuk menjadi manusia superior yang egois tetapi justru dengan keunggulan itu dapat membantu meningkatkan harkat dan martabat sesama atas dasar nurani. Habitus berbela rasa ini mengarahkan manusia pada keberadaban, bukan kebiadaban. Pendidikan sudah seharusnya mengedepankan kebhinekaan masyarakat sebagai semangat untuk mengembangkan kepedulian sosial (compassion).

            Akhirnya, habitus berkomitmen (Commitment) menjadi semangat fundamental dalam mengusahakan konsistensi dan kesinambungan pada proses memanusiakan manusia menuju taraf insani. Humanisasi berbagai aspek kehidupan adalah spirit terbangunnya peradaban dengan keadilan sosial tanpa membeda-bedakan. Dunia pendidikan benar-benar menjadi komunitas humanisasi menuju keadilan sosial, bukan sekadar tempat untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Pendidikan yang humanis dan kontekstual menjadi senjata ampuh membangun bangsa yang menjunjung tinggi kebhinekaan dalam kesatuan hati dan budi.

            Pendidikan kebhinekaan sudah waktunya dikembangkan terus-menerus dan berkesinambungan dengan berfokus pada empat habitus penting. Michael Fullan (1993) dalam Change Forces menegaskan bahwa tujuan terpenting dari pendidikan adalah menciptakan masyarakat pembelajar dalam pembelajaran pada masyarakat. Pendidikan tidak bisa hanya bergulat dengan keilmuan internal, tetapi sudah layak dan sepantasnya untuk membuka selebar-lebarnya pada dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendidikan kebhinekaan pada waktunya nanti pasti mampu menciptakan masyarakat dan bangsa yang mengedepankan harkat dan martabat dalam kebhinekaan. Selamatkan Indonesia Tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun