Mohon tunggu...
Martinus Rehan Uran
Martinus Rehan Uran Mohon Tunggu... Guru - Martinus Rehan Uran , seorang pendidik pada sekolah menengah pertama

belajarlah terus menjadi manusia berkualitas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Kognitivisme Jean Pieget dalam Kelas Pembelajaran Siswa

24 September 2021   14:48 Diperbarui: 24 September 2021   14:50 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

JEAN PEAGET, seorang pemikir yang berjasa dalam dunia pendidikan dengan sebuah konsep kognitivisme. Sebuah paradigma pembelajaran yang perlu mendapat perhatian dalam dunia pendidikan ketika sekolah sebagai tempat berlangsungnya interaksi antar siswa dan guru, antar siswa  dan lingkungan belajarnya, tidak berjalan karena situasi pandemi memaksa untuk pembelajaran dilaksanakan secara daring atau pembelajaran dari rumah dan bekerja dari rumah.

Realitas memprihatinkan namun harus dilaksanakan agar anak-anak terus belajar. Ada dorongan dari dalam diri bahwa belajar sebagai keharusan baginya karena ada konsekuensi yang akan dialaminya jika tidak mengikuti sistim pembelajaran secara daring atau belajar jarak jauh. Terkadang orang melihatnya bahwa dorongan untuk belajar karena ada ketakutan terhadap guru, terhadap orang tua dan terhadap hukuman-hukuman yang telah ditetapkan. 

Namun dalam paham kognitivisme Piaget, sebenarnya memberikan sebuah paradigma baru bahwa kesadaran anak untuk ikut belajar sekalipun dari rumah, ini bersumber dari dalam diri siswa. Dorongan ini terbentuk oleh karena di dalam diri setiap peserta didik telah terbentuk pengetahuan melalui tahapan-tahapan perkembangan kognitifnya.  

Kondisi belajar dalam situasi pandemi ini, sebenarnya kongnitivisme Peaget menjadi sangat kontekstual dalam dunia pendidikan. Menjadi kontekstual karena situasi pengontrol dari sekolah berubaha menjadi kebebasan dan kemandirian belajar siswa. Interkasi antar personal sebagai hakikat makluk sosial berubah pada individualis dalam dinamika pembelajaran daring.

Sejauh dalam pengalaman menunjukan anak-anak bisa belajar, bisa mengerjakan tugas, anak-anak bisa mengikuti ujian bahkan sampai lulus dalam situasi pembelajaran jarak jauh. Belajar tanpa ada guru di depannya. 

Belajar tanpa ada interaksi bersama teman dalam kelas secara tatap muka. Realitas positip dalam situasi keterbatasan ini sebenarnya menegaskan apa yang dikatakan oleh Peaget bahwa dalam diri setiap orang telah terbangun pengetahuan sejak 0 -- 2 tahun sampai tahap operasional formal ( 12 tahun ke atas). 

Segala perkembangan itu membentuk seorang peserta didik mampu mentransformasikan pengetahuannya dengan asimilasi, akomodasi, ekuilibrasi. Sangat membanggakan ketika seorang anak usia SD masuk ke jenjang SMP harus belajar sendirian dari rumah tanpa pendampingan orang tua. Ia mampu melampaui kecemasan orangtua ketika pendampingan total orangtuanya di SD berubah pada sikap kemandirian belajarnya. 

Anak bisa belajar sendiri, mengerjakan tugas sendiri, memperbaiki nilai-nilai sendiri. Ada kesadaran diri untuk menggunakan media digitalnya membangun jejaring komunikasi dengan gurunya dan dengan teman-temannya. Kemandiriaan ini sebagai produk dalam proses perkembangan pengetahuan siswa itu sendiri. 

Jadi paradigma kognitivisme ini sebenarnya memberikan pesan kepada setiap orang tua maupun para guru, bahwa setiap anak memiliki kemampuan pengetahuan yang telah terbentuk oleh dirinya sendiri dalam proses interaksinya bersama orang lain dan lingkungannya sejaan dengan perkembangan usianya. 

Perlu diberi kepercayaan karena dengan kepercayaan itu membangkitkan segala pengetahuan yang diperoleh selama dalam proses-proses interaksi yang dijalankannya. Dalam interkasi itu siswa menemukan dirinya sebagai pribadi yang mampu mengembangkan dirinya dan interkasi sosialnya sebagai keharusan untuk menjadi semakin pribadi yang berkualitas dalam hidup.

Memang harus diakui bahwa kesalahan terbesar pada orang tua dan guru adalah terlalu cepat memberikan penyataan-pernyataan yang menghakimi sehingga anak tidak memiliki ruang kebebasan untuk menyatakan diri dan kemampuannya. Anak sebenarnya sudah memiliki pengetahuan hanya saja membutuhkan bimbingan, dorongan dan kesempatan untuk berinteraksi. Karena itu stimulan-stimulan positip harus diberikan kepada seorang anak sehingga ia bertumbuh dan berkembang dalam pengetahuannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun