Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Seeing Salvation: Salib di Ruang Antroestetik

29 April 2019   19:37 Diperbarui: 2 Mei 2019   18:44 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya juga mengoleksi berbagai macam versi ekspresif lukisan last supper mulai dari McDonald, Robocop, Disneyland, Rasta ala Bob Marley, Batman, hingga bintang Hollywod; atau saat pencekalan Madonna di suatu konser karena menggunakan simbol salib dan sang artis pun disalibkan di sana. Artinya, seni dalam mazhab manapun dan seni Kristianitas ini tidak berhenti di lampu merah kefanatikan, melainkan melaju karena perkembangan iman dan zaman.

Sambil menuliskan ini, saya membayangkan entah bagaimana lagi salib Kristus atau simbol-simbol agama lain, akan diekspresikan 1000 tahun lagi. Semuanya ini memiliki satu tujuan: merealisasikan simbol iman melalui media agar direfleksikan banyak orang.

Kita tentu percaya bahwa otak dan raga kecil kita tidak mampu menampung pesona Allah Yang Maha Besar. Karena keterbatasan itu, yang ilahi terjabar dalam horison kreativitas yang indah; dan keindahan yang ditransformasikan itu meluap dan menjadi gerak yang menghidupkan jiwa lain. 

Eugene Veron bertutur bahwa art is the manifestation of emotion, obtaining external interpretation, now by a series of gestures, sounds or words governed by particular rhythimic cadence. Tidak sebatas itu, seni tidak berarti menteror kesasaran rutin, tidak untuk mengguncang pikiran dan nurani dalam menimbang pemecahan masalah fisik manusia, tapi bersasar untuk menggerakkan orang mengambil dan mengayunkan cangkul, lalu menebarkan benih yang bernama kasih dalam peradaban dunia. 

Inilah kesanggupan manusia 'menjabarkan'  Allah yang Indah. Memang bahasa manusia terlalu miskin ketika berhadapan dengan kekayaan realitas, kata Leonardo Boff. Dengan kata lain, dalam seni kita dapat membaca realitas nyata, entah itu berupa salib atau bukan, yang berdaya mengungkap.

Dengan kata lain pula, seni salibiah atau simbol agama lain bukan dipandang semata-mata oleh pameran indah yang dangkal seperti kata Baumgarten, tetapi menyuarakan bonum, verum dan pulchrum. Dalam hal ini, seni yang keluar dari anthroposentris bukan lagi sebatas karya gampangan yang bisa disepelekan karena bertendensi materialis, melainkan kedalaman jiwa terpendam yang menyuarakan Allah.

Sebagaimana seni salib yang multi-interpretatif itu, pada dasarnya kita semua memiliki simbol tertentu yang kita percaya memiliki line khusus antara subyek dan alter subyek itu. Seni salib yang adalah seni pemerdekaan, masih kekal zaman karena sanggup mengekspresikan kisah manusia yang hidup dalam chaos sekaligus dalam kasih. Seni ini serentak menyuarakan pergerakan karena kematian, kehidupan yang mendalam, pengorbanan, dan nilai-nilai sebuah kesetiaan. 

Adanya keterbatasan telah mendorong manusia untuk memahami Allah secara baru dalam hidup. Itulah paskah sejati. Secara puitis dituangkan filsuf asal Indonesis, Ign. Bambang Sugiharto dalam syair karyanya, yakni "proses merangkak dari hablur demi untuk mengetuk pintu-Mu". Untuk mendekati Allah, pesona salib atau apapun boleh menjadi sarana. Itu hanya image, itu hanya simbol. Tapi jelaslah bahwa sasarannya adalah hidup dalam kubangan cinta Allah. Bukan sekedar hadir di depan sebuah simbol agama, tetapi menanggap keindahan ilahi ini lewat berdiam diri, menikmati, dan rendah hati. 

Salib, bukan berarti meniadakan kekritisan. Tapi menjadikan kekritisan itu tombak demi kemajuan dalam iman. Salib juga bukan berarti kekristenan semata, tapi secuil ekpresi ekslusif akan kebobrokan bangsa manusia atas tindakan Cinta dan Keindahan. Karena itulah, pesona Kristianitas (dan agama lain) yang tersentralisasi pada manusia Yesus (dan nabi lainnya) terus menjelajahi zaman, menggigit, dan membelai manusia yang dekat dengan-Nya. 

Mungkin saja --memang kenyataannya demikian -- salib atau simbol dari agama lain ditolak di mana saja, tetapi elemen-elemen kultural yang antroestetik diterima di manapun, karena menyentil nilai ultim kehidupan: secara sederhana: cinta kepada orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri.

Perjuangan simbol-simbol agama adalah perjuangan tanpa akhir. Seni berdiri disisinya karena menjadi salah satu aparat yang menemani kita mencari dan menggumuli makna keselamatan hingga pharusia. Selamat merayakan kehidupan dalam semangat Paskah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun