Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Politisasi Birokrasi di Indonesia

8 Mei 2013   21:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:53 10215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA

A.PENDAHULUAN

Birokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi digambarkan sebagai organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit, penganut slogan “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?” Komposisi pegawai yang semakin membengkak, dan korup. Sebuah gambaran yang membuat kita tidak respect dan takut untuk berhubungan dengan birokrasi. Daripada mencari masalah lebih baik berusaha tidak berurusan dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain, birokrasi digambarkan sebagai sebuah organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi siapa saja pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan. Dua gambaran yang kontradiktif, karena gambaran yang pertama disampaikan oleh masyarakat bawah dan gambaran kedua disampaikan oleh penguasa (elit).

Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komando penguasa negara. Mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru sampai saat ini. Orde Baru adalah cermin dari kuatnya penguasa negara dalam mencengkeram tubuh birokrasi, sehingga birokrasi tak dapat berbuat banyak bagi masyarakat.

Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi muatan-muatan politis oleh penguasa negara, jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibatnya, orientasi pelayanan publik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis. Pada masa Soeharto misalnya birokrasi dijadikan alat bagi pengumpulan dan penumpukan modal dari rakyat untuk kepentingan negara. Pada saat yang sama oleh karena birokrasi yang sudah didominasi oleh politik, telah menjadikan birokrasi tidak berdaya sama sekali ketika berhadapan dengan orang kaya, inilah awal mulanya gejalapraktek yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme antara penguasa dan pengusaha. Dalam Kondisi ini, jelas birokrasi tidak lagi akrab dan ramah dengan kehidupan masyarakat, namun justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelilingnya.

Melihat masalah-masalah yang muncul dalam tubuh birokrasi di atas, maka penulis melalui tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan, apakah makna politisasi birokrasi? Apakah penyebab munculnya politisasi birokrasi? Dan bagaimana seharusnya menyikapi kasus politisasi birokrasi?

B.PEMBAHASAN

1.Makna Politisasi Birokrasi

Politisasi birokrasi adalah membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada di dua sisi; berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.

Menurut Harold Crouch, bureucratic-polity di Indonesia mengandung 3 ciri utama. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.

Untuk memahami praktek politisasi birokrasi yang terjadi di Indonesia, akan mudah jika kita menilik masa pemerintahan Soeharto. Pada masa Orde Baru, proyek politisasi yang paling dominan didasari oleh ketakutan penguasa negara akan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dalam konteks ini, politisasi birokrasi cenderung diartikan sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan kekuatan birokrasi yang mampu memperkuat basis perekonomian penguasa negara agar bisa secara efektif mengendalikan warga masyarakat. Pada masa Soeharto birokrasi dijadikan alat bagi pengumpulan dan penumpukan modal dari rakyat untuk kepentingan negara. Kenyataan inilah yang melahirkan terciptanya gejala KKN antara penguasa dan pengusaha.

Praktek politisasi birokrasi pada masa Orde Baru hingga sekarang masih terjadi. Sama halnya dengan praktek politisasi birokrasi pada masa Soeharto, pada masa reformasi praktek tersebut masih hangat dalam pembicaraan publik. Misalnya pada saat rekrutmen pegawai negeri baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa (baca: memberi rekomendasi)”. Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik.

2.Penyebab Terjadinya Politisasi Birokrasi

Jika kita memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat, terutama di Dunia Ketiga, kita akan mendapati bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan. Artinya, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang – hampa politik” dan bukan aktor yang netral dalam politik.

Kemunculan birokrasi dalam kegiatan administratif pemerintahan dan politik telah membawa pengaruh yang luar biasa dalam perjalanan suatu negara. Lalu, sesungguhnya bagaimana sejarahnya munculnya birokrasi? Melihat konsepsi Weber, yaitu Ideal Type birokrasi lahir berdasar atas pengalaman Eropa Barat, dimana Weber menggambarkan perkembangan birokrasi yang seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat. Peningkatan monetisasi ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis, perkembangan rasionalitas dan demistifikasi dalam masyarakat, demokratisasi, dan modernisasi sosial-ekonomi pada umumnya menimbulkan masalah administratif yang semakin lama semakin banyak dan semakin kompleks. Akibatnya muncullah keharusan dilakukannya pembagian kerja yang jelas dalam masyarakat. Dalam konteks inilah kemudian muncul birokrasi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan jaman. Jadi, birokrasi negara muncul untuk menanggapai perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan.

Dalam buku Budi Setyono (2005) munculnya birokrasi dibagai atas 2 mazhab, yaitu: 1) Mazhab kebutuhan rakyat. Mazhab ini mengatakan bahwa eksistensi birokrasi ada karena memang rakyat menghendaki birokrasi untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, juga untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah disepakati bersama. 2) Mazhab Kekuasaan. Mazhab ini menyatakan bahwa seorang penguasa pastilah orang yang kuat, Penguasa yang kuat harus dilayani oleh pembantu (aparat) yang solid, kuat, loyal, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan mereka dalam mengatur kehidupan negara.

Munculnya birokrasi berdasarkan konsepsi Weber adalah atas dasar kebutuhan yang dianggap semakin mendesak karena perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan pada akhirnya tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan sekarang. Para pengkritik Weber menunjukkan bahwa munculnya birokrasi bukan hanya untuk menjalankan fungsi mengkoordinasikan berbagai unsur dalam proses pemerintahan atau proses produksi. Fenomena yang jauh lebih penting untuk diperhatikan adalah bahwa birokrasi sebenarnya diciptakan untuk menjalankan fungsi pendisiplinan dan pengendalian. Kalau menurut Weber perkembangan birokrasi seiring dengan perkembangan modernisasi, para pengkritiknya lebih menegaskan lagi bahwa birokrasi itu terjadi karena kebutuhan untuk mereproduksi dirinya sendiri.

Fungsi pengendalian dan pendisiplinan tersebut diwujudkan sebagai intervensi atau tindakan birokrasi secara langsung atas masyarakat. Dalam hal ini negara menggunakan sumberdaya untuk langsung menangani kegiatan ekonomi maupun militer. Hal ini menjadi mudah karena birokrasi disini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber-sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Menurut Weber, unsur-unsur ini diperlukan demi efektivitas fungsi koordinasi itu, sedangkan menurut pandangan pengkritiknya, unsur-unsur itulah yang justru mendasari fungsi pengendalian atas masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya, intervensi birokrasi secara langsung dalam bentuk pengendalian dan pendisiplinan atas masyarakat menjadi tidak lepas dari politik. Sesuai dengan konsep “bureaucratic polity” menggambarkan sistem politik dimana: 1) birokrasi menjadi arena utama permainan politik; 2) yang dipertaruhkan dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik; dan 3) dalam permainan itu, massa tidak relevan. Dalam politik seperti ini, birokrasi itu betul-betul “encaplusated” dan tidak tanggap terhadap kepentingan di luar dirinya. Ini dimungkinkan karena birokrasi mengendalikan hampir semua sumberdaya yang diperlukan untuk kelestarian kekuasannya. Inilah yang melahirkan politisasi birokrasi.

Analisis konsep “bureaucratic polity” menjelaskan bagaimana sepak terjang politik tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Misalnya saja, terjadinya praktek komersialisasi jabatan, yaitu tindakan memperoleh jabatan dan mempertahankannya secara politis. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan jabatan baru. Dampak yang muncul adalah seorang birokrat bukannya berusaha mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan tetapi melakukan usaha politisasi untuk memperoleh perlindungan (pengamanan) atas posisi jabatannya agar tidak tergeser oleh pihak lain.

Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah alternatif untuk melicinkan jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.

Konsep awal birokrasi ada untuk melayani kepentingan publik. Pada faktanya birokrasi digunakan untuk kepentingan pribadi atau kroninya. Misalnya, pada masa Orde Baru fokus dari pembangunan adalah strategi pertumbuhan ekonomi. Hal ini bukan tanpa alasan karena didasari oleh terabaikannya sektor ekonomi pada masa Orde Lama yang lebih memperhatikan persoalan politik. Logikanya, strategi petumbuhan sangatlah membutuhkan modal yang besar untuk dapat melaksanakan pembangunan ekonomi, sementara pada saat itu bangsa ini tengah mengidap krisis ekonomi yang parah. Dalam pandangan Denny B.C. Hariandja dalam buku yang ditulis oleh Moeljarto (2004), strategi pembangunan yang menitikberatkan perhatiannya pada ukuran-ukuran yang kasar juga mendorong birokrasi akhirnya berlaku pilih-kasih terhadap suatu elemen masyarkat tertentu, dalam hal ini pemilik modal. Ini artinya, pemerintah sangat membutuhkan modal bagi terealisasinya pembangunan, dan untuk itu menjadikan birokrasi sebagai alat memanjakan para pemilik modal adalah tawaran yang sulit dihindari. Implikasinya adalah kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada pemilik modal atas dasar kepentingan saling menguntungkan.

Konsep “bueraucratic polity” yang ketiga adalah massa bersifat pasif, atau tidak relevan. Konsep ini dapat dijelaskan dengan ketidakpercayan publik kepada birokrat. Secara umum, masyarakat beranggapan bahwa siapa pun yang duduk pada posisi birokrat tidak memiliki pengaruh langsung pada kehidupannya. Hal ini adalah implikasi dari kebijakan pemerintah yang tidak pro pada kepentingan rakyat. Hal ini mengakibatkan rakyat memilih untuk diam atau pasif dan apatis.

Konsep “bueraucratic polity” di atas paling tidak telah memberikangambaran implikasi dari praktek politisasi birokrasi di Indonesia. Dalam buku Moeljarto (halaman 125-129), terdapat 4 dampak negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan politisasi birokrasi.

Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukkan orang-orang partai politik yang sesuai dengan selera Menteri yang bersangkutan, jelas mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promosi jabatan pada jabatan karier yang ada dalam struktur pemerintahan. Untuk jabatan Eselon I (Sekjen, Dirjen, Irjen, Asmen, Deputi dan Staf Ahli) pada sebuah Departemen atau Kementerian misalnya, seyogianya haruslah diisi oleh pejabat karier dari Departemen Keuangan atau Kementerian bersangkutan atau pejabat karier dari Departemen lain. Proses rekruitmen disini juga mutlak harus memperhatikan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) dan kedudukan eselonisasi dari pejabat karier yang bersangkutan. Hal ini mengandung makna bahwa sangat tidak tepat jika secara tiba-tiba Menteri pada sebuah Departemen atau Kementerian justru mengangkat kader dari partai politiknya untuk duduk pada jabatan karier tersebut.

Kedua, kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan menciptakan rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yang sama. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, terutama jika alasan utama yang melandasi rekruitmen pada jabatan karier itu adalah “rasa kecocokan” dan “bisa diajak kerjasama”. Faktor alasan inilah yang pada gilirannya bisa menimbulkan sikap like and dislike dalam sebuah organisasi pemerintahan. Akibat dari kondisi ini tak lain adalah terabaikannya fungsi utama birokrasi sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam kondisi ini birokrasi tidak butuh orang-orang yang separtai politik, tapi memerlukan orang-orang yang konsisten dalam bekerja dan mengutamakan kepentingan bersama (bukan kepentingan partai politik).

Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak mengindahan bekerjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas birokrasi sehari-hari. Prinsip untuk menempatkan seseorang pada sebuah jabatan yang sesuai dengan keahliannya, jelas mutlak diterapkan di lingkungan pemerintahan. Dalam perspektif ini, memposisikan atau merekrut orang-orang partai politik yang notabene lebih menguasai intrik-intrik politik praktis ketimbang keahliannya di bidang tugas-tugas khusus pemerintahan, tentu merupakan langkah yang tidak bijaksana. Birokrasi mesyaratkan pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki prinsip meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang-orang yang benar-benar profesional (ahli) di bidangnya, yang dapat menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati atau setidaknya tidak efisien.

Keempat, trauma politik masa lalu harus benar-benar kita jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang. Penampilan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru yang “terlalu berkuasa”, mau tidak mau harus kita jauhi. Sebab, pada masa itu birokrasi tidak hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, tetapi juga sebagai pembuat sekaligus pengawas dari kebijakan itu sendiri. Dan karenanya orang-orang birokrasi jugalah yang paling banyak menikmati hasilnya.

Tentu dapat dibayangkan, jika seandainya orang-orang partai politik diberi jabatan penting di pemerintahan, maka kecenderungan untuk membuat kebijakan yang menguntungkan partai politiknya akan semakin besar pula. Memang kondisi Orde Baru berbeda dengan Era Reformasi sekarang. Kalau dulu birokrasi berfungsi sebagai pembuat, pelaksana, dan pengawas kebijakan, tetapi sekarang dengan kehadiran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lebih berdaya, faktor pengawasan terasa lebih ketat. Tetapi sekali lagi, jika orang-orang partai politik di beri jabatan pada posisi Eselon I atau Dirut BUMN, bukankah mitra kerja mereka di DPR adalah teman-teman se-partai politik mereka juga?

Kita tentu tidak pernah membayangkan Departemen atau Kementerian ini milik partai politik “A”, atau BUMN ini milik partai politik “B”. Sebab, yang kita impikan adalah semua Departemen dan BUMN itu bekerja demi kemakmran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

3.Menyikapi politisasi birokrasi

Politisasi birokrasi di negara kita melihat fenomena-fenomena yang terjadi benar-benar dekat dengan aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak aspek kehidupan kita yang dikendalikan oleh politik yang tumbuh subur dalam tubuh birokrasi, bukannya membawa kebaikan malah memperburuk keadaan. Maka sangat manusiawi jika banyak orang tidak ingin berurusan dengan birokrasi. Tetapi, pilihan untuk tidak berurusan dengan birokrasi bukanlah tindakan yang sepenuhnya dapat dibenarkan, meskipun itu merupakan pilihan yang sulit dan hampir jarang terjadi. Politisasi yang terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari seharusnya bukan kita hindari melainkan berusaha untuk membuka arah keterbukaan pada setiap aspek urusan kita dalam birokrasi.

Sebuah sikap yang menurut penulis paling penting adalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memang sudah dimulai sejak tahun 1998, namun hingga sekarang belum kita temukan konsep birokrasi yang matang di negeri ini. Kenapa? Senada dengan pernyataan Kristian Widya Wicaksono (2006), Penulis juga melihat bahwa tidak adanya keinginan yang serius dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk mereformasi birokrasi adalah persoalan pokok politisasi birokrasi. Hal ini kita bisa saksikan dari berbagai kampanye calon presiden maupun kepala daerah di Indonesia lebih menonjolkan sisi pembenahan ekonomi melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye politik mereka. Tidak ada satu pun dari para kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya birokrasi, atau simplifikasi prosedural saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya, tidak ada komitmen yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam.

Oleh karena itu, menjadi sikap yang bijak jika kita tidak lagi terlalu menutut para kandidat presiden atau kepala daerah untuk berfokus pada peningkatan kesejahteraan, tetapi lebih menuntut mereka untuk memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam, mengobati penyakit-penyakit yang sudah membengkak di dalam tubuh pemerintahan. Karena dengan sembuhnya tubuh pemerintahan akan secara tidak langsung memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakat daripada menutut kesejahteraan itu tanpa reformasi dari dalam (birokrasi). Sehatnya tubuh birokrasi akan mempermudah segala urusan warga negara. Kematangan sistem birokrasi adalah seharusnya mimpi sebuah negara berkembang yang harus dengan penuh kepercayaan dapat tercapai dalam waktu yang tidak lama. Bukannya pergantian sistem setiap terjadi pergantian pemimpin.

Seperti juga dikemukakan Adig Suwandi dalam bukunya Moeljarto Tjokrowinoto yang berjudul “Birokrasi Dalam Polemik” yang mengatakan bahwa menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi ditubuh birokrasi adalah agenda utama yang perlu direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi. Ada tiga hal yang berkenaan dengan upaya menghilangkan jejak politisasi birokrasi itu.

Pertama, birokrasi harus steril dari orang-orang partai politik, khususnya untuk posisi jabatan karir mulai dari eselon tertinggi (I.A) sampai eselon terendah (V.B). Alasannya adalah jabatan-jabatan karir ini merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja birokrasi adalah memaksimalkan efisiensi administratif, maka birokrasi yang steril dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka keharusan aparat birokrasi yang capable (ahli) dibidangnya serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin terpuruk dimata masyarakat.

Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu dibandingkan masyarakat yang dilayaninya. Tidaklah mungkin karakter birokrasi yang cenderung lamban dan tidak terspesialisasi itu dapat bertahan dizaman yang sedang bergerak cepat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Adig Suwandi, refomasi birokrasi sudah harus berkomitmen untuk meninggalkan watak lama dan warisan sebagai birokrasi tukang pungut untuk didorong menjadi birokrasi yang memberdayakan lingkungan (empowering bureaucratic). Secara eksplisit, argumen ini bisa mewakili banyaknya pandangan sekaligus tuntutan masyarakat yang seringkali mengeluh terhadap layanan birokrasi.

C.KESIMPULAN

Birokrasi adalah institusi pelayanan publik yang tidak pernah mengenal pilih-kasih dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administratif, birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.

Birokrasi yang netral dan tidak memihak pada kepentingan politis partai politik, merupakan idaman masyarakat dalam sebuah negara yang mengaku modern, atau tengah menuju modren. Ketika birokrasi sedikit saja bersentuhan dengan politik atau struktrur birokrasi dimasuki orang-orang partai politik, maka saat itu juga tujuan birokrasi akan mulai melenceng dari arah semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan orang banyak. Birokrasi yang telah ditumpangi oleh kepentingan partai politik, lambat laun cenderung akan dimanfaatkan pula oleh penguasa negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada saat itulah, birokrasi telah berubah wujud menjadi pelayan penguasa negara yang tentu saja meninggalkan kepentingan masyarakat banyak.

Politisasi birokrasi bukanlah jawaban yang tepat dalam memperbaiki kinerja birokrasi keseharian kita. Birokrasi yang ditumpangi oleh kekuatan partai politik tidak hanya menjadikan ia semakin politis dan bisa jadi dijauhi masyarakat, tapi juga rentan terhadap pengabaian aspek kualitas dari personilnya.

Politisasi birokrasi di Indonesia masih banyak terjadi. Politisasi ini bisa datang dari legislatif maupun dari eksekutif. Tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari fenomena-fenomena politisasi birokrasi dalam dunia yang dekat dengan kita, seperti penggunaan fasilitas negara, mobilisasi pegawai negeri sipil, kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, rekruitmen pegawai baru, sampai pencopotan sekretaris daerah karena alasan politis.

Politisasi birokrasi ini menjadi mudah untuk bergerak, karena sistemnya yang masih labil. Mengapa tidak? Tak satu pun calon presiden maupun kepala daerah yang berkomitmen untuk memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam. Oleh karena itu, tindakan bijaksana yang harus dilakukan warga negara adalah menutut dan memaksa agar kandidat presiden atau kepala daerah mengutamakan reformasi birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk. Birokrasi dalam Polemik. 2004. Pustaka Pelajar:

Malang

Jurnal Ilmu Politik POLITIKA, Vol. I,No. 1, April 2010, (67-74) ditulis oleh Rina

Martini. Jurnal ini diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu Politik

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Mas’oed, Mohtar. Politik, Birokrasidan Pembangunan. 2003. Pustaka Pelajar:

Yogyakarta.

Wicaksono, Krisstian Widya. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. 2006.

Graha Ilmu: Yogyakarta.

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk. Birokrasi dalam Polemik. 2004. Pustaka Pelajar: Malang. Halaman 120

Jurnal Ilmu Politik POLITIKA, Vol. I ,No. 1, April 2010, (67-74) ditulis oleh Rina Martini. Jurnal ini diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Mas’oed, Mohtar. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. 2003. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Halaman 67.

Ibid. Halaman 69

Ibid. Halaman 70-71

Ibid. Halaman 82, (dalam buku Riggs, 1966)

Op Cit.

Tjokrowinoto, Moeljarto dkk, Birokrasi dalam Polemik. 2004. Pustaka Pelajar: Malang. Halaman 115

Ibid. Halaman 125-128

Wicaksono, Krisstian Widya. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. 2006. Graha Ilmu: Yogyakarta. Halaman 23

Op Cit. Menuju Reformasi Birokrasi. Halaman 131-132

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun