Mohon tunggu...
Muhammad  Arsyad
Muhammad Arsyad Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang kapiran dan serabutan

Seorang kapiran dan serabutan. Masih Kuli-ah di IAIN Pekalongan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dukun Terakhir

6 Januari 2020   16:27 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:51 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mana mungkin saya membunuhnya, dia keluarga saya."

"Lantas?" Pardun penasaran.

"Aku akan mengiriminya mantra."

Semua orang terkejut, tak terduga perempuan itu hendak menyakiti Mahmudin lewat jampi-jampi. Rawis meminta mangkok pada pemilik warung, ia merogoh tas selempang lusuh, segenggam bunga kamboja diambilnya dari dalam tas dan memasukkannya ke mangkok. Rawis meminta teh pada pemilik warung dan menuangnya ke dalam mangkok. Mulutnya komat-kamit merapal mantra.

Mahmudin selesai Salat Ashar, ia memasukkan tangan kanan ke dalam saku kanan baju kokonya. Sekalung tasbih ia ambil dan memulai berdzikir. Lafaz demi lafaz ia rapalkan urut. Di warung, bibir Rawis tak mau diam, terus merapalkan mantra. Ia membaca mantra itu lama sekali, sementara Mahmudin selesai berdzikir. Ia letakkan tasbih di atas sajadah dan menengadahkan tangan, berdoa. Doanya singkat, Mahmudin pun bergegas berdiri.

Rawis masih terlihat bergeming merapalkan mantra, matanya terpejam. Tangannya tak berhenti bergerak-gerak di atas mangkok berisi teh dan bunga kamboja. Tiga orang lainnya hanya terpaku memandangi Rawis. Cukup lama ia merapalkan mantra dana akhirnya berhenti, Rawis terdiam, wajahnya mendadak pucat pasi, matanya terbuka tapi agak sayu. Pyarr! Mangkok terjatuh dan pecah, Rawis pun jatuh tersungkur ke tanah di depan warung, ketiga lelaki sedari tadi memandanginya bergegas menolong Rawis.

"Kenapa perempuan ini?" kata Rasman memegang tangan Rawis. Pardun memeriksa leher perempuan itu.

"Ia masih hidup, kemungkinan dia pingsan," kata Pardun.

"Cepat bawa ke dalam," kang Tinus menyuruh dua temannya membopong Rawis, ia sendiri melesat pergi dari warung. Tak ada yang tahu kemana kang Tinus pergi, karena tak ada pula yang berani bertanya. Rawis yang tak sadarkan diri dibopong masuk oleh kedua lelaki itu, beruntung pemilik warung sangat baik, ia mempersilakan Rawis untuk dibawa masuk.

Mahmudin hendak keluar rumah sejenak, ia sudah merencanakan sesuatu sore ini. Pintu rumah setinggi satu setengah meter dibukanya. Satu pukulan mengejutkan tiba-tiba melayang ke pipinya sebelah kanan. Ia menoleh, ternyata kang Tinus pelakunya. Mahmudin mencoba mengajak kang Tinus berdialog, ada apa gerangan memukulnya? Tak sempat ia bertanya, satu tinju lagi dilesatkan ke pipi sebelah kirinya.

Mahmudin tak punya kesempatan melawan, kaki kang Tinus melesat ke perutnya dan membuat masuk kembali ke dalam rumah, dan tersungkur. Kang Tinus menindihnya, dan menghajarnya habis-habisan. Hidung Mahmudin keluar darah menetes, kang Tinus tak peduli, ia terus menjotosnya. Giliran mulut Mahmudin yang mengeluarkan darah. Masa bodoh, kang Tinus terus menghajarnya, sampai-sampai Mahmudin tak sadarkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun