Mohon tunggu...
Muhammad  Arsyad
Muhammad Arsyad Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang kapiran dan serabutan

Seorang kapiran dan serabutan. Masih Kuli-ah di IAIN Pekalongan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertanyaan Klise: Bolehkah Muslim Masuk Gereja?

9 Juli 2019   17:51 Diperbarui: 10 Juli 2019   00:25 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Saya dimarahin ibu karena masuk gereja dan tanya-tanya tentang agama Katolik kepada teman saya. Katanya, saya tertarik masuk gereja. Hedeuh..

Perkenalkan, nama saya Muhammad Arsyad, orang-orang biasa memanggil saya dengan nama Arsyad. Tapi untuk lebih mudah, tetangga-tetangga saya justru menyingkatnya lagi, mereka memanggil dua huruf pada nama panggilan saya (baca: Ar), dan biar mudah disebut, jadi panggilan saya di kampung adalah Aar. Terserah deh, pembaca mau menyebut nama yang mana. Asalkan jangan sampai memanggil saya dengan memakai nama depan, karena taraf keimanan saya masih terlampau jauh dari Muhammad Saw.

Saya lahir di keluarga muslim, dan otomatis menjadi seorang muslim, yang berarti saya Islam tidak seperti Om Deddy Corbuzier. Ayah, ibu, kakek, nenek, hingga buyut saya semuanya adalah kaum Nahdliyin. Saya hidup di lingkungan NU tulen khas Kota Pekalongan, tetapi saya tidak. Dulu, ketika pertama kali dilahirkan saya tidak mafhum apa itu NU, Muhammadiyah, Wahabi, atau sejenisnya. Saya cuma tahu bahwa agama itu banyak, sedangkan ideologi Islam tidak.

Saya mengenyam pendidikan dengan ideologi Islam yang "gado-gado". Dari mulai saya masuk TK yang bernaung dibawah Yayasan Muhammadiyah, dan dilanjut tatkala saya bersekolah di SD Muhammadiyah juga. Jadi sudah sekitar 7 tahun saya berkecimpung di Muhammadiyah. Namun konsistensi ideologi Islam saya berubah ketika lulus dari Sekolah Dasar, dan masuk ke salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) kurang favorit pada zamannya. Semasa SMP saya belajar ideologi Islam ala Nahdliyin-Salafi.

Selepas tamat SMP, saya berubah haluan lagi, dan masuk di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta. Selama SMA saya diketemukan orang-orang keturunan Arab yang hidungnya mancung-mancung. Tapi saya nggak minder, karena ketika ngaca, ternyata wajah saya mirip sama keturuan Arab. Di SMA saya temukan corak Islam yang berbeda lagi, dan di jenjang inilah saya berkenalan dengan aliran Wahabi. Beruntungnya pas kuliah, saya masuk di kampus yang cukup "moderat".

Maaf pembaca, cukup segitu dulu perkenalannya, sekarang lanjut ke topik pembahasan. Barangkali ada diantara pembaca yang membaca tulisan saya karena judulnya, dan saya yakin pembaca pasti penasaran kira-kira apa jawaban dari pertanyaan sederhana yang saya ajukan di judul. Jika benar demikian, sekali lagi saya mohon maaf-maaf terus, kayak lebaran aja-pembaca belum tentu menemukan jawabannya disini, karena saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu. Andai pembaca kepingin tahu jawabannya secara lebih kongkret dan "berilmu" monggo bisa ditanyakan langsung kepada Ustaz Yusuf Mansur, Ustaz Abu Janda, Habib Rizieq, atau Ustaz Baiquni.

Pertanyaan di atas sebenarnya muncul sepulang Workshop Pers Mahasiswa di Semarang. Jadi ceritanya semoga kamu betah baca tulisan ini sampai bawah sekira awal Februari 2019 lalu saya diberi kesempatan untuk mengikuti sebuah Workshop Pers Mahasiswa di Semarang. Seleksi untuk masuk ke workshop ini cukup sulit, karena saya sendiri musti mencoba dua kali baru bisa lolos. Di workshop ini, saya punya kesempatan untuk meliput keberagaman agama di Kota Lumpia.

Bak anak kecil yang selalu ngoceh sepulang diajak pergi jauh dan dapat pengalaman, saya pun menceritakan pengalaman saya mengikuti workshop. Tak terduga, ibu justru memarahi saya. Katanya, saya sudah "berkhianat" dengan Islam, karena berani-beraninya masuk ke dalam kapel (seperti gereja tapi kecil) sewaktu workshop saya memilih ikut masuk kapel melihat saudara beda agama beribadahdan "ikut" misa. Tuduhan ibu memang tepat, karena saya masuk kapel pas jatahnya misa. Padahal kendati saya kelihatannya ikut misa, sumpah deh saya nggak ikut ibadah kok.

Kemarahan ibu semakin memuncak ketika saya berjumpa dengan tetangga cum kawan yang beragama Katolik. Saat itu saya menanyakan kembali segala sesuatu yang didapat dalam workshop, dan mencoba mencocokkan dengan ritus ibadah yang sering dilakukan kawan saya di gereja terlihat nggak penting ya? dan ternyata sama persis. Tetapi ibu justru menanggapinya sebagai upaya doktrinisasi umat Katolik kepada saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun