Akhirnya kita mulai menerka bahwa SoB hanya acara musik tahunan yang meminjam latar Borobudur.
Namun, kenyataanya kita salah besar. SoB unik dan berbeda dari konser musik kebanyakan. Agenda besar ini bukan sekadar konser musik lalu selesai. Lebih dari itu. SoB lahir melalui proses yang sangat panjang dan penuh pendalaman kebudayaan.
Ir. Purwa Tjaraka dalam Seminar dan Lokakarya Borobudur Pusat Musik Dunia tanggal 8 April 2021 menyatakan, Sound of Borobudur merupakan gerakan kebangsaan yang berakar kuat pada budaya. Ini adalah bentuk upaya anak bangsa mengenali lebih dalam kebesaran peradaban masa lampau, dengan menggunakan budaya dan ilmu pengetahuan, yang diinterpretasikan melalui seni, khususnya musik.
Gerakan Sound of Borobudur bermula saat Jaringan Kampung Nusantara (Japung Nusantara) yang beranggotakan Trie Utami, Rully Fabrian, Redy Eko Prastyo, KRMT Indro Kimpling Suseno, dan Bachtiar Djanan berdiskusi mempelajari literatur buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga.
Pada literatur tersebut terdapat foto-foto alat musik yang bentuknya cukup jelas. Akhirnya, tercipta gagasan untuk dapat menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Karmawibhangga ini dalam wujud fisik dan membunyikannya kembali.
Kala itu disepakati untuk merekonstruksi tiga instrumen musik dawai, yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151. Ali Gardy Rukmana, seniman asal Situbondo, Jawa Timur mendapat kepercayaan mengerjakan alat musik ini.
Dari relief hingga menjadi alat musik bukanlah hal yang mudah. Merekonstruksi alat musik sudah, tetapi bagaimana mereka-reka bunyi dari alat musik yang sudah 13 abad tak pernah ada wujudnya? Tugas ini diserahkan pada Dewa Budjana dan teman-teman. Mereka harus membuat standar notasi atau tuning agar alat musik ini bisa memiliki harmoni yang indah.
Hingga akhirnya ketiga buah dawai yang bernama Gasona, Gasola, dan Solawa ini siap ditampilkan pertama kali pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur, Borobudur. Kemudian juga diluncurkan dalam acara pembukaan Pesta Budaya Borobudur pada tanggal 17 Desember 2016, di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur.Â
Trie Utami dan tim tidak berhenti di acara tersebut. Mereka berinisiatif untuk terus bergerak bereksplorasi dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang terpahat di relief Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha di Candi Borobudur.