Mohon tunggu...
Marqus Trianto
Marqus Trianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Penikmat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejenak, Menilik Dialektika Kampus

2 April 2019   01:26 Diperbarui: 2 April 2019   06:59 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kata formal akan selalu identik dengan tuntutan. Sesuatu bisa disebut dengan tuntutan apabila membuat kita menjadi orang yang merasa tertuntut. Saya kira apabila kita melakukan sebuah tuntutan, namun sedikitpun tidak menganggapnya demikian, maka kita bukanlah orang yang tertuntut. Ini cuma soal paradigma. Yang membuat kita menjadi tertuntut dan tidak tertuntut adalah diri kita sendiri. Meski begitu, terkadang formal bisa memaksa kita menjadi orang yang tidak orisinil.

Menurut saya, tuntutan itu seperti zat kimia. Dengan adanya percampuran zat kimia, suatu tanaman pangan tidak akan bisa disebut organik. Begitupun dengan kita. Jika hidup kita hanya diisi dengan tuntutan dan tuntutan, maka kita bukanlah orang yang organik. Apa yang formal belum tentu tidak organik, sedangkan tuntutan sudah pasti tidak organik.

Saya berangkat dari kegiatan, lalu formal, dan berujung pada tuntutan. Dalam "berkegiatan" apakah kita bertingkah laku sebagai seorang formalis? Atau, sebagai pihak yang tertuntut?

Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua hal yang dikemas dalam bentuk formal itu salah. Saya tidak bilang kalau diskusi ketika jam kuliah, rapat organisasi, atau mengerjakan tugas itu tidak tepat. Tidak! Justru disini masalahnya.

Dengan mengatasnamakan "kegiatan" kita cenderung memiliki pandangan yang rendah terhadap apa yang bukan kegiatan. Saat sudah sering rapat, kita langsung merasa aman. Seolah tidak merasa perlu lagi membuka interaksi di luar kegiatan tersebut. Parahnya, mungkin waktu kita sudah habis untuk rapat. Bukankah yang demikian justru terbalik?

Saya memiliki pandangan jika diskusi yang riil adalah diskusi di luar rapat, jam kuliah atau ketika mengerjakan tugas. Dengan kata lain, obrolan sehari-hari. Hal tersebut bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Di keluarga, di kantin, di angkirngan, di taman kampus, di burjo, dan sebagainya. 

Dan sebagainya itu bisa di ruang kelas, perpustakaan, atau di kantor sekretariat organisasi kita. Sayangnya, obrolan sehari-hari kita yang lebih nyata dan sudah selayaknya dilakukan oleh  manusia pada umumnya (dan mahasiswa pada khususnya) itu, telah dirampas oleh rapat, kuliah, dan tugas.

Saya banyak menjumpai jika orang akan lebih suka banyak bicara ketika sedang ngobrol di angkringan daripada di kelas. Masalahnya di kelas ada embel-embel kuliah dan nilai, sedangkan di angkringan tidak. Di kelas ada tuntutan, tetapi di angkringan tidak ada tuntutan. Tuntutan-tuntutan itu seringkali mempengaruhi kita menjadi orang-orang yang tertuntut. 

Kita menjadi orang-orang yang tidak riil, anorganik, dan munafik. Akhirnya yang sering terjadi adalah ketegangan dan ketidaknyamanan. Bukannya menjadi medium, untuk mengubah yang tidak nampak menjadi nampak, apa yang formal justru seringkali telah membatasi ide atau gagasan-gagasan brillian kita.

Karena adanya paradigma semacam itu, kita jadi kehilangan esensi dari obrolan sehari-hari. Seolah kita menjadi intelek, hanya pada waktu berada di ruang kelas. Berfikir akademis hanya pada saat mengerjakan tugas. Dan berlaku menjadi aktivis, hanya ketika sedang rapat organisasi. Saat kita berada di luar lingkaran tersebut, kita sudah menjadi orang yang berbeda.

Padahal, hidup kita haruslah diisi dengan obrolan-obrolan yang berkualitas dan berbobot. Tidak perlu menunggu ketika rapat, kuliah, atau mengerjakan tugas. Di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun, sudah sewajarnya kita mengadakan obrolan-obrolan yang demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun