Mohon tunggu...
Marlianto
Marlianto Mohon Tunggu... Buruh - Apa...

Mencari titik akhir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Warisan Leluhur (Hal 14)

21 Desember 2019   06:19 Diperbarui: 21 Desember 2019   06:23 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah melewati pintu gerbang utara kota Yomastair, akan bertemu tiga jalan yang masing-masing menuju ke arah barat, utara dan timur. Kereta Bagasiwi meneruskan lajunya ke arah barat, tidak banyak pejalan kaki dan pengendara ke arah ini, terlihat hanya beberapa saja. Setelah menyeberangi sebuah jembatan kayu, dan tiba di padang ilalang, maka jalan yang dilalui agak menurun dan berkelok mengikuti aliran sungai. Tiba diujung jalan, kereta mereka berbelok semakin menjauhi anak sungai, dan hingga akhirnya mereka memasuki kerimbunan hutan. Terhampar dihadapan mereka, jalanan lebar dan lurus dengan dinaungi pepohonan di sisi kiri kanannya, dari sela-sela dedaunan itu sinar surya menerobos menerangi jalanan di hutan.

"Kita harus keluar dari hutan ini, sebelum senja." Kata Bagasiwi kepada Salwan, kusirnya.

"Jangan kuatir tuan, saya biasa melewati jalanan ke arah sini. Dengan laju kereta seperti ini, kita tidak akan bermalam di hutan." jawab Salwan. "Kita bisa bermalam di penginapan selepas hutan ini."

Tiba-tiba Salwan berseru, "Ada orang berdiri di tepi jalan, Tuan, dia melambai-lambaikan tangan minta kita berhenti..?"

"Jangan hiraukan, kita pura-pura tak melihatnya." sahut Bagasiwi

Jarak kereta mereka semakin dekat dengan orang yang berdiri di pinggir jalan. Semakin dekat...semakin dekat...hingga akhirnya semakin jelas, sosok itu. Ternyata dia seorang nenek berambut putih digelung, mengenakan pakaian serba hitam, disampingnya berdiri bocah laki-laki usia sepuluh tahunan berpakaian hitam pula.

Kereta kuda itupun melewatinya, tidak demikian dengan dua penunggang kuda, karena tiba-tiba tanpa sepengetahuan mereka, nenek dan bocah itu bergerak serempak dengan sebat menerkam mereka. Sepuluh jari runcing mirip cakar elang, mengarah ke dada masing-masing penunggang kuda.

Dua penunggang kuda itu ternyata sudah waspada, mereka menandanginya dengan tenang tapi mematikan. Ketika dua penyerang itu melayang di udara, dan satu tarikan nafas lagi, cakar-cakar itu akan merobek dada mereka, tiba-tiba terdengar bunyi mirip ranting patah dari lengan kiri yang tersembunyi dibalik lengan baju dua penunggang itu. Meluncurlah puluhan jarum maut berkecepatan tinggi, mengarah ke si penyerang. Bersamaan itu tubuh dua penunggang itu melentik dengan cepat pula dari punggung kuda, menjauhi serangan cakar-cakar maut.

Nenek dan bocah itu tentu tahu bahayanya jarum-jarum yang mengarah ke mereka. Disaat itu pula mereka melihat musuh telah meninggalkan kuda. Saat jarum-jarum sudah dalam jangkauan, maka mereka sentil semua jarum itu dengan cakarnya. Jarum hancur berkeping-keping. Tidak ada satupun yang lolos. Kemudian nenek dan si bocah itupun menjejakan kaki ke punggung kuda, menambah laju mengejar dua penunggangnya.

Tapi dua penunggang itu sudah berdiri di atas tanah jauh di seberang jalan. Bahkan sekali lagi menembakan ratusan jarum lebih banyak ke arah nenek dan bocah yang posisinya masih melayang di udara. Gempuran jarum-jarum itu sedikit merepotkan mereka. Terpaksa mereka menangkis sambil berjempalitan menghindar, lalu mendarat di tanah. Kini masing-masing pihak berada di ujung  jalan yang berseberangan, saling berhadapan dan menunggu.

Sambil tersenyum salah satu penunggang berkata, "Aki-aki dan nini-nini Waliki..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun