Ini sungguh terlaaluuu, dan dirasakannya barang miliknya yang sudah melemas dan kembali ke ukuran normal dengan cepat mulai membesar, mengeras, tegak dan kaku mirip bambu, sangat menyakitkan rasanya...jaremnya minta ampun, pembuluh darahnya seperti meledak-ledak.
Tidak tahan dengan cobaan ini, tiba-tiba Daksa Ardhana berdiri, kursi yang di dudukinya jungkir balik. Kemudian dia memekik, sambil menutupi pisang besar di selangkangan dengan kipas bergambar melati...sekali loncat, dirinya telah sampai di ujung tangga, meloncat lagi, sampai di lantai bawah, kemudian meloncat sambil menutul sebuah meja, tubuhnya melayang menerjang melewati pintu keluar, lalu ngacir sekencang-kencangnya...diiringi gelak tawa keras ke dua wanita.
Sakitnya tuh disini...
Pertunjukan itu membuat Runa Kamalini perutnya sakit menahan tawa, air keluar dari mata, hingga tubuhnya terjungkal dari kursi.
"Mengapa kau lepaskan pria putih tampan itu?" tanya Runa Kamalini sambil mengusap air mata.
"Kini aku beralih ke brondong putih. Pucuk lidah mereka ahli merajalela, liar di daerah sasaran." jawab Dewi Kembang. Jubah miliknya telah diikat kembali, rapi dan tertutup rapat, kini tak ada setitik auratpun yang tampak.
"Wkkwkwk...dan cincin itu, apa masih kau pakai, lihatlah...sepuhan emasnya sudah mulai luntur."
"Ahh...aku hampir lupa dengan cincin keparat ini. Sungguh berani-beraninya dia memberi aku dengan barang mainan, apa dipikirnya kita ini masih anak gadis ingusan, yang bisa diperdayai."
Dewi Kembang kemudian melepas cincin itu dari jari tengahnya, menjepit menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dia meremas-remasnya menjadi bundar seukuran biji ketumbar, lalu menyentilnya ke tiang kayu, hingga benda itu tenggelam didalamnya.
Pelayan pun akhirnya datang membawa makanan yang dipesan. Menyajikan di atas meja. Setelah lebih dulu memberi tip lima rup (mata uang perak) kepada pelayan, dua wanita itu langsung menyantap hidangan.
Waktu pun berlalu, dua wanita itu masih asyik menikmati makanannya, namun setiap kedatangan pengunjung di lantai dua tidak akan lepas dari perhatiannya. Runa Kamalini mengangkat keningnya saat melihat tiga lelaki berpakaian bak bangsawan berjalan ke meja di pojok utara. Langkah mereka ringan, sikap mereka tenang, tidak ingin menarik perhatian. Seorang pelayan buru-buru datang meladeni mereka.