Mohon tunggu...
Marlaf Sucipto
Marlaf Sucipto Mohon Tunggu... Penulis -

💼: Lawyer, Advokat, Penasihat Hukum 🏡: Sumenep & Surabaya 🖋: Citizen Journaliz'm 🌷: "Belajar, Bermanfaat & Berdoa"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Kerapan Sapi bagi Orang Madura

21 September 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:05 2584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kerapan Sapi, adalah entitas khusus budaya masyarakat Madura. Budaya ini tidak dimiliki oleh daerah lain. Bahkan didunia sekalipun, satu-satunya kerapan sapi hanya ada di Madura.

Sapi kerapan, hanya sapi asli Madura. Sapi Madura punya ciri khas tersendiri dan tidak sama dengan sapi diluar Madura. Sapi Madura lebih liar, lebih bringas, lebih sangar, ketimbang sapi luar Madura. Maka disitulah, salah satu alasan warga Madura dalam menyelenggarakan kerapan sapi.

Kerapan sapi dihelat sekali dalam setahun dengan beberapa tahap. Tahap pertama, kerapan sapi ditingkat desa. Pada tingkat ini sapi yang dikerap hanya dalam lingkup desa dan lima pasang pemenang kerapan sapi ditingkat desa ini, selanjutnya dikirim dalam tingkat kecamatan, lima pemenang yang menang ditingkat kecamatan, dikirim dalam tingkat kabupaten, dan sepuluh pemenang dalam tingkat kabupaten, dikirim dalam ajang kerapan Sapi se-Madura. Ini dari segi peringkatan.

Dari sisi aturan. Waktu kerapan sapi dihelat ditingkat desa, dikendalikan, diatur, dan dimobilisir oleh kepala desa dan perangkatnya. Termasuk dalam pengamanan acaranya sekalipun. Konsolidasi (paremphekhen: Madura) mulai dari kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan para pemilik sapi dilakukan. Semata-mata agar perhelatan kerapan sapi berjalan lancar sebagaimana rencana. Ini dilakukan, karena masyarakat Madura, tempramentalnya sangat peka dan mudah melakukan Carok[1] apabila terjadi ketidak sefahaman antar satu dan yang lainnya. Perundingan yang menghasilkan mufakat untuk mengamankan acara kerapan sapi ini dibuat hitam diatas putih dan ditanda tangani oleh pihak terkait. Berikutnya sebagai laporan untuk kecamatan dan kepolisian dalam permohonan surat izin pelaksanaan kerapan sapi.

Dari kometmen diatas, bila terjadi suatu hal diluar mufakat yang sudah ditanda tangani bersama, maka kecamatan dan kepolisian berhak menindak dan memintai pertanggung jawaban kepada pihak yang telah turut bertanda tangan tersebut untuk turut bertanggung jawab. Bilamana tidak, sangat mungkin dipermohonan izin kerapan sapi ditahun berikutnya. Tidak dikeluarkan oleh kepolisian dengan alasan keamanan.

Hal-hal yang sering terjadi, lagi-lagi adalah carok, bila carok terjadi, kadang kepolisianpun tak mempan untuk mengamankannya. Walaupun carok sering mewarnai perhelatan kerapan sapi, kerapan sapi tetap terus berlanjut sebagaimana rencana.

Kerapan sapi ditingkat kecamatan, dimobilisir langsung oleh camat dan perangkatnya, dibantu tokoh masyarakat, pemilik sapi dan orang-orang yang dibentuk oleh kecamatan. Biasanya ditingkat kecamatan ini, managemennya lebih baik dari tingkat desa. Dan resiko caroknya pun lebih kecil dari tingkat desa.

Ditingkat kabupaten, dimobilisir langsung oleh Bupati yang bersankatun, pengamanannya pun ekstra tegas dan ketat ketimbang tingkat desa dan kecamatan. Pengamananya di handle langsung oleh polres dan TNI. Dan resiko caroknya sangat tipis, bahkan nyaris tidak ada.

Nah, ditingkat akhir, kerapan sapi se-Madura, penanggung jawabnya adalah Empat Bupati yang berada di Madura. Pengamanannyapun langsung dari Polda Jawa Timur dengan resiko carok yang tidak ada. Kenapa, karena kerapan sapi ditingkat Kabupaten dan Se-Madura, penonton yang masuk, diperiksa terlebih dahulu bawaannya sebelum masuk kedalam stadion kerap. Dan cara menontonyapun tidak berdesak-desakan kayak ditingkat kecamatan dan desa. Sudah tertata lebih rapi, duduk diatas tribun dan pandangan mata menjangkau lapangan mulai start sampai finis.

Kerapan Sapi dan Identitas Sosial

Masyarakat Madura pecinta sapi kerap, berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan sapi kerapan yang terbaik. Karena dengan sapi kerap, harkat dan martabat seorang warga Madura menjadi tujuan klis yang ingin digapainya. Ketika sapi kerap menjuarai pertandingan, maka harkat dan martabat orang yang mempunyai tersebut menjadi terpandang. Tergantung kelas dimana sapi tersebut menjadi juara. Menang dalam lingkup desa, maka pemilik sapi pemenang tersebut menjadi terpandang di seantaro desa. Begitu seterusnya, tingkat kecamatan, kabupaten dan se-Madura. Yang bikin kuping panas dan bahu terangkat, ketika sapi kerapan tersebut menjuarai dalam pertandingan se-Madura. Menjadi orang terpandang se-Madura, bisa dilalui dalam memenangi pertandingan kerapan sapi di Madura. Kenapa demikian?, kerena ketika sapi tersebut lahir sebagai juara, secara tidak langsung, orang yang mempunyai sapi tersebut dikatakan sebagai orang yang berada diatas rata-rata. Mulai dari sisi ekonomi, dan kelas sosial.

Antara Harta dan Prestise

Biaya perawatan sapi kerap, sangat mahal. Harus kerja ekstra agar sapi benar-benar siap menjadi sapi kerap. Jamu yang terdiri dari rempah-rempah, telur menelan biaya jutaan rupiah. Cari mandinyapun lebih istimewa dari sapi biasa, bahkan dari pemilik sapi sekalipun. Ada ramuan-ramuan khusus sejenis SPA bagi orang dikota besar. Tiga bulan sebelum pertandingan, perawatan sudah mulai ditingkatkan. Mulai dari pemijatan, jamu, sampai ramuan-ramuan husus demi vitalitas agar menjadi sapi terbaik selama pertandingan. Sehari sebelum sapi diberangkatkan kelapangan untuk dilomba, biasanya sang pemilik sapi mengadakan doa bersama demi keselamatan dan kemenangan sang sapi yang akan diikutkan lomba. Sapi tersebut dipajang didepan rumah, dihadapkan pada undangan warga sekitar yang turut mendoakan sapi tersebut. Dan semalam suntuk sapi tersebut dipajang didepan rumah sampai mentari pagi menyinari hari. Semalam itu pulalah, warga sekitar, lebih-lebih pemilik sapi, juga turut tidak tidur sampai pagi, hal itu diyakini sebagai suatu tirakat untuk kebaikan dan kemenagan sapi pada waktu perlombaan. Setelah lomba usai, dan sapi benar-benar menjadi sang juara, sang pemilik sapi tersebut menyelenggarakan tasyakuran. Dan sapi tersebut, lagi-lagi dipajang didepan rumah semalam suntuk dengan warga sekitar yang tidak tidur karena turut bangga atas capaian prestise yang telah digapainya.

Bicara prestise/kebanggaan, bagi orang Madura, nilainya tidak bisa ditukar dengan uang/harta. Karena prestise tersebut akan menjadi identitas sosial yang akan dikenal sepanjang waktu. Bahkan ketika meninggal sekalipun. Sejarah kemenangan kerapan sapi menjadi cerita dan kabar yang turun temurun. Walaupun orang yang mempunyai sapi juara tersebut meninggal dunia, sejarah kemenagan itu tidak akan ikut terkubur. Anak cucu dan buyutnya akan turut membanggakan atas capaian sang kakek dalam merawat dan memenangi pertandingan kerapan sapi pada jamannya.

Jika dilihat dari sudut pandang materi, mempunyai sapi kerapan sungguh rugi. biaya perawatan sampai biaya sebelum dan sesudah lomba kerapan sapi menelan biaya yang tidak kecil. Toh walaupun memenangi juara sekalipun, harga hadiah tidak sebanding dengan biaya perawatan. Tapi karena nilai dan kebanggaan menjadi satu-satunya tujuan, maka biaya yang besar, tidak menghalagi semangat para pecinta sapi kerap untuk memenangi perlombaan. Menang bukan karena maksud merebut rupiah, tapi menang karena maksud kebanggaan dan harga diri sang pemilik sapi kerap.
Salam Budaya….

[1] Pertengkaran ala orang Madura, dengan senjata khasnya Clurit, golok, pisau, keris, dst.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun