Mohon tunggu...
Markus Fernando Siahaan
Markus Fernando Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Pengelana

Aktualisasi tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

RA Kartini, Contoh atau Mitos?

21 April 2021   08:56 Diperbarui: 22 April 2021   08:29 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Markus Fernando Siahaan

            Raden Adjeng Kartini adalah seorang wanita asal Jawa yang lahir pada 21 April 1879. Melalui keputusan Presiden Soekarno dalam Kepres No. 108 tahun 1964 R. A. Kartini resmi dinobatkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahir Kartini sebagai Hari Kartini, Hari Kemerdekaan Wanita Pribumi.

            Lahir dari keluarga bangsawan dengan ekonomi yang berada di atas rata-rata tidak menjadi alasan Kartini untuk hidup dalam kemewahan dan kemanjaan. Berusaha keluar dari zona nyaman, Kartini selalu menghalalkan segala cara yang halal untuk menembus garis batas yang sudah ditetapkan pandangan masyarakat.

            Wanita yang pada zaman itu hanya diberikan kekuasaan untuk menghandle dapur, kita telah membanting stirnya hingga akhirnya menjadi penguasa dunia. Ini semua berkat kegigihan Kartini yang bahkan setelah ia meninggal Sekolah Kartini mampu berdiri walau bukan atas prakarsa orang pribumi.

            Habis Gelap Terbitlah Terang. Sangat relevan dengan apa yang terjadi pada tangun 1900-an. Kegelapan yang masing melingkupi wanita dengan ketentuan hanya sampai di jenjang terendah telah lenyap oleh terang yang terlihat pada zaman ini dimana tidak sedikit wanita saat ini mempunyai pendidikan tinggi, seperti mempunyai gelar Profesor bahkan menempuh pendidikan hingga keluar negeri. Tidak hanya itu, tidak sedikit saat ini wanita-wanita hebat pribumi yang sudah menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga.

            Kisah kasih Kartini memang tidak menjadi suatu hal yang mencekangkan seharusnya bahkan pada zaman kehidupan Kartini. Mengapa? Karena dalam literatur tua telah diuraikan bahwa memang sebenarnya Wanita adalah penolong bagi pria. Ya, dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa pria nyatanya lebih lemah daripada wanita. Bahkan satu hal yang tidak boleh kita abaikan, seorang manusia yang akan meneruskan kehidupan manusia sebelumnya hanya akan berasal dari wanita.

            Lalu apakah kisah Kartini masih role model saat ini? Ya, sepertinya masih memiliki peranan penting, namun dalam arti yang berbeda. Saya mencoba melihat situasi negeri kita yang katanya negara demokrasi. Pemilihan umum yang diharapkan membunuh kegelapan sebelumnya atas janji-janji manis yang disecutuskan para calon ternyata hanya kegelapan semata. Menghilang layaknya ditelan bumi, banyak calon kepala daerah atau wakil rakyat yang pada masa kampanya turun hingga ke dasar laut akhirnya tenggelam setelah memperoleh kekuasaannya.

            Siapa yang akan kita salahkan? Tidak ada. Dirimu yang memilih mereka tidak salah, begitu juga dengan dirinya yang mengemis untuk dipilih. Inilah siklus yang masih dibudidayakan. Apakah budidaya ini mungkin untuk dimusnahkan? Tentu mungkin, tetapi sangat sulit. Jangan harapkan disaat ada satu individu yang ingin tulus berdemokrasi dengan takut akan Tuhan mampu berdiri dan mengibarkan berderanya, jangan harap.

            Habis gelap terbitlah terang kini telah menjadi mitos. Bisa saja motto dan falsafah itu dihidupkan, asalkan kita tidak takut atas hidup ini. Back to yourself. Hidup ini mahal jika kau mampu memberi harga, dan hidup ini berkat jika kau mampu bersedekah.

Selamat menunaikan ibadah puasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun