"Kekuasaan bukan untuk dipertahankan, tapi untuk dipertanggungjawabkan." -- Bung Hatta.
Di tengah harapan masyarakat untuk konsolidasi nasional pasca-pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sebuah manuver mengejutkan datang dari kelompok yang menamakan diri sebagai "Forum Purnawirawan Prajurit TNI". Mereka mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berisi permintaan agar lembaga legislatif memproses pemakzulan Gibran.
Surat tertanggal 26 Mei 2025 tersebut ditandatangani oleh empat purnawirawan TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Â
Pertanyaannya: kok bisa secepat itu?
Surat Kilat ke Paripurna: Prosedur yang Dipertanyakan
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, DPR memiliki mekanisme ketat dalam menerima dan memproses aspirasi masyarakat. Ribuan surat dan petisi dari warga sipil, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil masuk ke meja pimpinan DPR setiap tahun. Sebagian besar berakhir tanpa dibahas secara resmi, bahkan tak sempat masuk ke meja komisi.
Namun, dalam kasus surat dari Forum Purnawirawan ini, prosesnya terlihat sangat cepat. Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat tersebut dan telah meneruskannya ke pimpinan DPR. Â
Padahal, menurut Pasal 7B UUD 1945, proses pemakzulan presiden dan wakil presiden tidak bisa dimulai hanya dari aspirasi publik atau sekelompok warga, melainkan:
1. Harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR.
2. Disertai bukti bahwa presiden/wapres melakukan pelanggaran hukum berat (korupsi, pengkhianatan, penyuapan, dll.).
3. Kemudian diuji terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi.
4. Jika MK menyatakan terbukti, maka DPR mengajukan kepada MPR untuk pemberhentian.